Siapa sangka, makhluk mitos yang selama ini kita kenal lewat gambar-gambar manis di notebook anak sekolah, kini muncul dalam wujud menyeramkan di layar lebar.
Ya, itulah yang ditawarkan Film Death of a Unicorn yang bisa Sobat Yoursay tonton 15 Mei di Prime Video. Film ini perdana tayang di SXSW Festival 2024, dan rilis bioskop sejak Maret 2025.
Film ini dibesut Alex Scharfman, yang juga menulis naskahnya sendiri. Diproduksi A24 (rumah produksi yang kerap bermain-main di wilayah film indie dengan cerita unik), ajaibnya film ini sukses mengawinkan dark comedy dengan horor monster ala era ‘80-an.
Dengan durasi ±107 menit dan rating R (Dewasa), ‘Death of a Unicorn’ muncul sebagai tontonan yang nggak hanya brutal, tapi juga menyelipkan satir sosial yang cukup tajam kalau ditelusuri lapisannya lebih dalam.
Semenarik apa kisahnya? Yuk, join di sini dan baca sampai tuntas!
Sekilas tentang Film Death of a Unicorn
Film yang tayang perdana di SXSW Film Festival 2025 mengikuti perjalanan Elliot Kintner (diperankan Paul Rudd), si pengacara yang mendapat tugas baru sebagai penghubung hukum buat seorang taipan farmasi bernama Odell Leopold (Richard E. Grant).
Dalam perjalanan ke estate megah milik Leopold yang terletak di pegunungan Rocky, Elliot Kintner membawa serta putrinya, Ridley (Jenna Ortega), yang masih berduka atas kematian ibunya.
Di tengah perjalanan, perdebatan ayah-anak ini terganggu sama bersin keras Elliot karena alerginya. Dan mendadak tabrakan nggak terduga pun terjadi.
Apa yang mereka tabrak? Bukan rusa atau beruang, melainkan seekor unicorn! Ya, unicorn sungguhan, lengkap dengan darah berwarna ungu yang tampak ganjil.
Elliot panik dan berpikir cepat, memutuskan untuk menyingkirkan mayat unicorn itu sebelum orang lain tahu.
Namun, rencana sederhana itu segera berubah kacau saat mereka menyadari darah si makhluk ternyata punya kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Mulai dari menyembuhkan sinus Elliot hingga menghilangkan jerawat Ridley.
Saat keluarga Leopold mengetahui potensi ajaib dari darah unicorn itu, mereka langsung melihat peluang bisnis besar. Odell, yang tengah berjuang melawan kanker, nggak segan menggunakan makhluk mitos itu untuk menyelamatkan nyawanya dengan apa pun konsekuensinya.
Namun mereka mengabaikan satu hal, unicorn yang mereka kira sudah mati ternyata masih hidup, dan lebih buruk lagi, keluarganya yang lain datang mencari.
Mantap dan sangat unik ya?
Impresi Selepas Nonton Film Death of a Unicorn
Aku langsung terpikat dengan penceritaan ‘Death of a Unicorn’ dalam memutar balik citra unicorn yang biasanya lembut dan polos, menjadi sosok predator yang buas.
Alex Scharfman jelas menggarap film ini sebagai penghormatan pada film monster klasik seperti Jurassic Park. Bahkan ada adegan yang secara terang-terangan terasa seperti anggukan kepada serangan raptor di film Spielberg itu. Namun, Scharfman juga menambahkan bumbu satir soal kerakusan kapitalisme, bagaimana kaum elit selalu memandang segala hal, termasuk makhluk mitologi sekalipun, sebagai peluang bisnis yang bisa dieksploitasi.
Paul Rudd tampil pas sebagai Elliot, berperan sebagai sosok ‘normal’ yang terseret ke dalam kekacauan, sementara Jenna Ortega ibarat ngasih energi segar sebagai Ridley, karakter muda yang justru jadi penentu dalam konflik besar ini.
Namun, buatku, bintang sejati film ini adalah Will Poulter yang berperan sebagai Shepard Leopold, pewaris keluarga kaya yang arogan, oportunis, dan nggak tahu malu. Setiap kali dia muncul, aku nggak bisa menahan senyum karena betapa efektifnya Poulter menghidupkan karakter dengan potret sempurna dari privilese yang nggak tahu batas.
Tentu, ‘Death of a Unicorn’ bukan film yang tanpa cela. CGI-nya di paruh pertama terasa kurang matang, bahkan kadang membuat aku bertanya-tanya apakah efek visualnya sudah benar-benar rampung atau masih tahap kasar.
Anehnya, aku tetap terhibur. Mungkin karena sutradara tahu persis, daya pikat film ini bukan semata pada visual, melainkan pada energi gila yang dibangun dari para karakternya.
Bagian emosional yang mencoba mengulik luka batin Ridley dan Elliot memang terasa agak tipis, seolah-olah hanya diselipkan agar film punya kedalaman cerita, meski nggak pernah benar-benar diolah sampai tuntas.
Namun ketika film ini memasuki babak akhir. Di mana unicorn yang haus darah menyerbu estate Leopold dan semua orang terjebak dalam situasi survival ala film slasher, semua kekurangan itu terasa nggak lagi penting. Aku menikmati kekacauan yang lucu sekaligus tegang, sambil sesekali meringis karena adegan pembantaian yang cukup brutal.
Buat Sobat Yoursay yang penasaran dan mau nonton di bioskop, harap bersabar karena belum jelas kapan rilis di Indonesia. Namun, buat yang nggak sabar, aku percaya kalian cerdas dalam berselancar internet. Selamat nonton.
Skor: 3,9/5
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE
Baca Juga
-
Review Film Nobody 2: Saat Liburan Keluarga Jadi Kacau Banget
-
Ada Harga Mahal di Balik Citra Keluarga yang Tampak Harmonis di Luar
-
Review What Does That Nature Say to You: Calon Mertua yang Bikin Canggung
-
Review Film An Officer and a Spy: Skandal di Balik Seragam Militer Prancis
-
Review Film Memories of a Burning Body: Luka yang Dulu Padam Dibuka Lagi
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Nobody 2: Saat Liburan Keluarga Jadi Kacau Banget
-
Luka dan Tangis Pengampunan dalam Cerpen Mengarungi Samudra Kehidupan
-
Ulasan Novel Den of Liars: Jebakan Ilusi yang Menguji Cinta dan Kepercayaan
-
Ulasan Novel Dari Arjuna untuk Bunda: Kisah Angst Keluarga Berbalut Trauma
-
Keping-Keping Cinta ala Tere Liye di Buku Sepotong Hati yang Baru
Terkini
-
Segarkan Musim Panas, Joy Ungkap Highlight Clip Album 'From Joy, with Love'
-
Rumor Marc Marquez ke Honda, Bos LCR: Percuma, Motornya Tak Memadai
-
Chanyeol EXO Bahas Cinta dan Persahabatan di Album Terbaru 'Upside Down'
-
Lolos ke AFC Champions League Two, Persib Bandung Masuk Pot 4 dalam Drawing
-
Wajib Punya! 4 Lip Liner Warm Undertone untuk Tampilan Natural dan Fresh