A Desert, film debut panjang dari Sutradara Joshua Erkman, mencoba mengajak kita menelusuri jalanan panas dan sunyi di barat daya Amerika.
Eits, jangan dikira perjalanannya cuma pemandangan gurun. Di balik atmosfernya, ‘A Desert’ lebih ke perjalanan menuju kekacauan psikologis yang kendatipun samar tapi begitu menghantui.
Film A Desert yang tayang perdana di Tribeca Film Festival 2024, menyatukan aktor-aktor berbakat lho, di antaranya:
- Kai Lennox
- Sarah Lind
- David Yow
- Zachary Ray Sherman
- Ashley B. Smith
- Dan masih banyak bintang pendukung lainnya
Dengan naskah buatan Joshua Erkman bersama Bossi Baker, film ini berdurasi ±103 menit dan mengusung genre horror-noir yang mengingatkan diriku pada film-film gaya surealis milik David Lynch. Penuh kegelisahan tapi juga nggak selalu tuntas.
Kisahnya kayak apa sih? Sini merapat dan kepoin bareng!
Sekilas tentang Film A Desert
Cerita bermula dari Alex Clark (Kai Lennox), fotografer yang keliling dari satu kota hantu ke kota lain di wilayah barat daya Amerika.
Dengan kamera di tangan, dia memotret sisa-sisa peradaban; pemakaman yang ditinggalkan, motel-motel reyot, sampai bioskop drive-in yang entah mengapa parkirannya tetap bersih terawat meski bangunannya runtuh.
Namun, perjalanan Alex berubah jadi mimpi buruk saat dia berurusan dengan dua orang asing berbahaya: Renny (Zachary Ray Sherman) dengan kumis tapalnya yang mencolok, dan Susie Q (Ashley B. Smith) yang gemar mendesis seperti ular.
Kekacauan yang menimpa Alex memaksa istrinya, Sam (Sarah Lind), ikut turun tangan. Bersama seorang detektif bayaran yang masa lalunya kelam, Harold Palladino (David Yow), Sam menelusuri jejak suaminya di gurun yang nggak ramah sama sekali.
Sepanjang perjalanan, Sam nggak hanya mencari Alex, tapi juga mengungkap sisi gelap dari orang-orang yang dia pikir dia kenal, termasuk Alex sendiri. Ught! Ngeri deh!
Impresi Selepas Nonton Film A Desert
Sebagai penonton, aku nggak bisa memungkiri setiap frame disusun dengan cermat, pencahayaannya lembut tapi mencekam, dan komposisinya seperti goresan pena yang hidup.
Ditambah dengan scoring yang mencekam karya dan suara-suara ambient yang merayap pelan, film ini berhasil menciptakan suasana yang membuat bulu romaku berdiri.
Misalnya, sepatu yang menyeret di lantai berdebu, suara rokok yang terbakar pelan, hingga dentingan gagang telepon yang diletakkan. Semua itu terasa intim dan mengganggu banget.
Namun, semakin lama aku mengikuti perjalanan Alex, Sam, dan Harold, aku mulai merasa,keindahan visualnya seperti fatamorgana. Semakin didekati, esensinya makin kabur.
Karakter-karakternya terasa tipis, seperti bayangan yang samar di gurun luas. Alex dan Harold memang tampil cukup simpatik, terutama lewat gestur tubuh dan ekspresi wajah yang kuat, tapi dialog yang mereka ucapkan seringkali terdengar kayak ingin jadi dialog yang smart, tapi malah terasa klise.
Renny dan Susie Q, dua antagonis yang harusnya jadi sumber ancaman nyata, justru terjebak dalam stereotip: Pria kotor dengan kumis mencolok dan wanita beraksen mendesis. Pasaran banget nggak sih? Mereka memang menambah tensi, tapi nggak ngasih banyak ruang untuk misteri.
Salah satu adegan yang paling menegangkan sebenarnya sederhana: Saat Harold berusaha memaksa Susie duduk dan bicara, hanya dengan iming-iming uang.
Momen ini, yang seharusnya penuh ketegangan, sayangnya jadi mudah ditebak arahnya. Bahkan saat film memasuki klimaksnya yang biasanya bakal seperti "meletuskan balon" (mengejutkan), eh teori tentang identitas ganda dan kehidupan rahasia si karakter penting, justru aku sudah setengah langkah menebak ke mana semuanya mengarah.
Film ini memang menunjukkan potensi besar Joshua Erkman sebagai sutradara yang peka pada visual dan suasana. Sayangnya, ‘A Desert’ seperti padang gurun itu sendiri. Luas, menggoda, tapi pada akhirnya terasa kosong jika dicari-cari isinya.
Skor: 2,5/5
Baca Juga
-
Review Film The Fishbowl: Hening yang Menggetarkan Hati
-
Review Film Being Maria: Kisah Pilu Aktris Muda yang Dunia Lupa
-
Review Film Korban Jatuh Tempo - Pinjol: Ada yang Lebih Horor dari Setan
-
Akankah Film Jumbo Menumbangkan Film KKN di Desa Penari?
-
Review Film Final Destination - Bloodlines: Nggak Cuma Daur Ulang Formula
Artikel Terkait
-
Terjun Jadi Penulis, Gandhi Fernando Siap Luncurkan Novel Penunggu Rumah: Buto Ijo
-
Tanpa Sensor! 3 Alasan Kamu Wajib Nonton Film Final Destination: Bloodlines
-
Review Film Korban Jatuh Tempo - Pinjol: Ada yang Lebih Horor dari Setan
-
Netflix Bagikan 6 Rekomendasi Film Lokal tanpa Reza Rahardian, Apa Saja?
-
Ulasan Film Pusaka: Horor Sadis yang Bakal Bikin Kamu Jantungan!
Ulasan
-
Review Film Christmas Carol, Kisah Balas Dendam Penuh Luka di Malam Natal
-
Review Film The Fishbowl: Hening yang Menggetarkan Hati
-
Review Film Tabayyun: Drama Emosional yang Mengaduk Hati dan Pikiran
-
Review Buku Reach Your Dreams: Jalan Terang Menuju Mimpi Besar ala Wirda Mansur
-
Berwisata di Pulau Pisang Lampung, Punya Pantai Pasir Putih yang Cantik
Terkini
-
Swipe Suka, Hati Luka: Menelisik Lelah Emosional dari Dunia Kencan Digital
-
Misi Selamat dari Zona Degradasi, Thom Haye Harus Berharap Tuah Indonesian Connection
-
Sinopsis Film Gundik, Ketika Perampokan Berujung Menjadi Teror Mistis
-
Thom Haye, Almere City dan Laga Penentu Hidup-Mati Melawan Fortuna Sittard
-
Twisted Paradise oleh Yuta NCT: Keinginan Dicintai di Tengah Rasa Sakit