Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Erlita Novitania
Novel Pelangi Waktu Malam (Dok. Pribadi/Erlita Novitania)

Pelangi Waktu Malam merupakan sebuah karya kolaboratif dari empat penulis: Bayu Permana, Anindya Frista, Flara Deviana, dan Innayah Putri.

Dalam satu buku, mereka menghadirkan empat kisah berbeda yang masing-masing berbicara tentang luka, kehilangan, cinta yang tak selesai, dan keberanian untuk menghadapi masa lalu.

Buku ini berisi empat cerita berjudul To be Tobias, Kita Pernah Hampir Bahagia, Kilasan, dan Pagi yang Tak Pernah Datang. Meski ditulis oleh tangan yang berbeda, keempat cerita ini saling melengkapi dan terasa menyatu dalam satu benang merah: malam yang kelam dan harapan yang tak sempat datang.

Di cerita pertama, To be Tobias, pembaca diajak masuk ke dunia seorang laki-laki yang harus menghadapi kenyataan bahwa sahabat karibnya memilih mengakhiri hidup.

Sahabat yang selama ini dikenal ceria ternyata menyimpan rahasia dan luka yang tidak pernah terlihat. Lewat surat-surat peninggalan, luka itu terungkap, membuka mata pembaca bahwa banyak orang menyimpan duka di balik senyuman.

Cerita kedua, Kita Pernah Hampir Bahagia, menceritakan seorang perempuan yang melarikan diri dari rumah dan pernikahannya yang retak.

Di kota pelarian itu, ia justru bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Pertemuan itu membuka luka lama yang belum sembuh. Bukan tentang ingin kembali, tetapi tentang menghadapi diri sendiri yang dulu belum sempat utuh.

Kemudian di Kilasan, kita diajak menyelami kisah sepasang kekasih yang sudah lama bersama namun tak sanggup menyelamatkan hubungan mereka. Semua kenangan indah masa lalu tak cukup untuk mencegah perpisahan. Ini adalah potret dari cinta yang tidak berhasil meski telah diperjuangkan setengah mati.

Cerita penutup, Pagi yang Tak Pernah Datang, mengangkat keberanian seorang perempuan yang memilih untuk menceritakan malam paling kelam dalam hidupnya di depan kamera.

Malam yang merenggut bagian penting dari dirinya, meninggalkan trauma mendalam yang sulit sembuh. Ini adalah kisah tentang keberanian, tentang suara yang akhirnya diperdengarkan setelah lama dipendam.

Keempat cerita ini menggambarkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh siapa pun. Mereka yang pernah merasa kehilangan, pernah hampir bahagia, atau sedang mencoba bangkit dari luka, pasti akan merasa terhubung dengan tokoh-tokohnya. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti, namun tidak mengurangi kekuatan emosinya.

Yang membuat buku ini istimewa adalah gaya penulisan masing-masing penulis yang berbeda tapi tetap terasa menyatu. Bayu Permana menulis dengan intensitas emosi yang dalam, sementara Anindya Frista menyajikan nuansa romansa dan trauma dengan elegan. Flara Deviana dan Innayah Putri juga berhasil menyuarakan kisah cinta dan keberanian perempuan yang menyentuh hati.

Menurut saya, Pelangi Waktu Malam adalah bacaan yang meninggalkan jejak di hati. Membuat saya sadar banyak pesan-pesan tentang mengingatkan diri sendiri dan juga jauh dari validasi-validasi buruk, tapi lebih mengedepankan kita bisa mengenal diri sendiri dan tidak menyalahkan apa pun pada keadaan.

Setiap cerita mengajarkan bahwa luka tidak selalu harus sembuh, tapi bisa dipeluk agar kita bisa berdamai dengannya. Ini bukan buku untuk mencari kebahagiaan instan, tapi untuk merenung dan menerima bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai rencana.

Buku ini cocok untuk siapa saja yang sedang atau pernah merasa patah, karena di dalamnya, kita akan menemukan bahwa kita tidak sendiri. Sebuah karya menyentuh yang patut dibaca dengan hati terbuka.

Refleksi buat kamu yang sedang dalam perasaan gelisah bisa mencoba baca ini bahwa kita tidak pernah sendirian di siang maupun malam, disaat hujan maupun kemarau.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Erlita Novitania