Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ade Feri
Cuplikan trailer film Gowok: Kamasutra Jawa (IMDb.com)

Hanung Bramantiyo siap menayangkan film terbaru bertajuk Gowok: Kamasutra Jawa pada tanggal 5 Juni 2025 mendatang. Film ini diproduseri oleh Raam Punjabi melalui MVP Pictures dan Dapur Fim.

Jajaran aktor dan aktris kenamaan terlihat membintang film ini, mulai dari Raihaanun, Lola Amaria, Reza Rahadian, Devano Danendra, hingga Donny Damara, dan sejumlah pemain lainnya.

Film ini berlatarkan kebudayaan Jawa pada waktu antara tahun 1965–1965, yang mengisahkan tentang balas dendam seorang gowok kepada mantan kekasih dengan cara menggoda anak laki-lakinya saat pelatihan seksual pranikah.

Pada awalnya, Ratri yang merupakan murid gowok legendaris bernama Nyai Santi terlibat asrama yang rumit dengan pemuda bernama Jaya. Keduanya jatuh cinta dan Jaya menjanjikan pernikahan kepada Ratri. 

Namun, Nyai Santi percaya kalau Jaya yang merupakan anak bangsawan tidak akan pernah menikahi Ratri. Begitu saja hubungan Ratri dan Jaya harus berakhir karena tidak diizinkan oleh Nyai Santi.

Setelah Ratri dewasa, ia telah menggantikan Nyai Santi sebagai gowok. Ia mendapat tugas untuk memberi pendidikan pranikah kepada Bagas, putra Jaya. Interaksi yang terbangun di antara mereka berubah menjadi hubungan yang rumit dan berpotensi mengancam hidupnya.

Hanung Bramantyo rupanya terinspirasi dari naskah Serat Centhini yang merupakan salah satu karya sastra terkenal di Jawa. Dalam naskah itu, memuat informasi tentang seluk-beluk kehidupan, termasuk pendidikan seksual.

Lalu, bagaimana sebenarnya tradisi gowokan yang diangkat dalam film ini berkembang di wilayah Jawa? Simak ulasannya berikut ini!

Sejarah Tradisi Gowokan

M. Koderi dalam buku Banyumas: Wisata dan Budaya (1991) menyebutkan bahwa di masa silam, tepatnya di pelosok Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah terdapat sebuah tradisi yang disebut sebagai gowokan.

Gowokan merupakan salah satu upaya memberikan pendidikan berumah tangga bagi calon suami, termasuk di dalamnya adalah pendidikan tentang seksualitas.

Dasar filosofi tradisi ini adalah masyarakat Banyumas tradisional menganggap laki-laki sebagai "guru laki" yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga sehingga mereka perlu bekal agar menjadi suami yang mumpuni.

Di masa itu, perempuan yang sudah menginjak umur 13 tahun atau sudah ada tanda-tanda dewasa akan dipingit atau dibatasi pergaulannya oleh keluarga. Oleh karena banyak perempuan yang lebih sering tinggal di rumah, sulit pagi para lelaki untuk mulai berhubungan dengan para gadis.

Apalagi mengingat saat itu, pendidikan seksual menjadi topik yang tabu dibicarakan sehingga pengetahuan soal rumah tangga dan perkawinan sulit sekali didapatkan. Hal ini rupanya menimbulkan kekhawatirkan bagi keluarga kalau-kalau anak mereka tidak cakap saat menjadi suami nantinya.

Dari situlah lahir gagasan bahwa seorang lelaki yang akan berumah tangga harus dididik lebih dulu oleh orang yang lebih berpengalaman.

Sementara itu, guru gowokan sendiri dipanggil dengan sebutan gowok. Ia adalah seorang wanita, biasanya ronggeng atau penari tradisional yang berusia antara 25 hingga 30 tahun.

Namun, tidak semua wanita bisa menjadi seorang gowok karena tugas seperti ini memerlukan keahlian tersendiri. Sebelum pendidikan dimulai, biasanya baik gowok atau murid telah diberi daya magis yang membuat mereka bisa tahan dari godaan sehingga tak terjadi hal-hal di luar batas. 

Proses pemilihan gowok hingga pendidikan pun tidak asal-asalan. Mula-mula, orang tua akan mencari gowok yang akan menjadi guru anaknya. Setelah menemukan yang cocok, orang tua akan menghubungi gowok untuk menjalin transaksi.

Apabila pihak gowok telah menyetujui, pihak keluarga pria akan memberikan sejumlah mahar selayaknya yang akan mereka berikan ke calon pengantin wanitanya.

Namun, khusus untuk gowok, mereka akan menambahkan "bebungah" atau imbalan hadiah berupa uang atau benda lain sesuai kesepakatan, lalu calon pengantin pria diserahkan sepenuhnya ke gowok untuk memulai pendidikan.

Proses pendidikan dapat dilakukan di rumah gowok atau rumah keluarga si pria yang menjadi murid. Mereka akan mempelajari seluk-beluk kehidupan rumah tangga, mulai dari bagaimana cara memperlakukan istri dengan baik, cara mengajak istri pergi menghadiri hajatan, hingga pendidikan seks.

Durasi pendidikannya pun terbilang sebentar, yaitu hanya beberapa hari hingga satu minggu saja. Meskipun begitu, selama gowokan berlangsung, gowok dan murid akan tinggal serumah layaknya suami istri.

Tradisi gowokan ini memang menekankan pada pendidikan seksual agar pria sebagai calon suami tidak malu-malu saat menjalani malam pertama nantinya. Selain itu, dari pendidikan gowokan ini juga diharapkan kalau nanti suami bisa mengajari istri cara melakukan hubungan seksual yang memuaskan.

Oleh sebab itu, hubungan pendidikan yang singkat ini tidak akan terlepas dari risiko guru dan murid saling jatuh cinta. Gowokan tidak menutup kemungkinan kalau si murid akan menyukai gurunya yang lebih tua, atau gowok itu sendiri yang ingin menjadi istri.

Jika pendidikan telah selesai dilakukan, maka gowok akan melaporkan hasilnya kepada orang tua murid. Selain mendapat imbalan uang, gowok juga bisa memperoleh beras, kelapa, dan lainnya sebagai tanda terima kasih. Barulah setelah itu, orang tua si lelaki akan mengirimkan undangan pinangan kepada keluarga calon istri.

Gowokan rupanya tidak hanya sebatas mengenalkan perihal seksualitas kepada laki-laki, tetapi melalui pendidikan ini calon suami akan diperkenalkan dengan kehidupan sosial yang menyangkut pernikahan.

Meskipun disebut sebagai "pendidikan pranikah", praktik gowokan jika dilihat dari kacamata sosial merupakan salah satu fenomena prostitusi karena pekerjaan utamanya adalah mengedepankan interaksi seksual dengan imbalan sesuatu.

Seiring berkembangnya zaman, praktik ini pun mulai ditinggalkan. Kini, daerah Jawa khususnya wilayah Banyumas hampir tidak mengenali lagi yang namanya gowokan. Oleh sebab itu, gowokan menjadi tradisi yang dilupakan oleh masyarakat Jawa modern.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ade Feri