Memang ada hubungan apa antara kambing dengan hujan sampai-sampai penulis memilih judul tersebut sebagai tajuk novel ini?
Pertanyaan itu jelas muncul saat melihat judul novel yang terkesan unik. Apalagi novel ini termasuk dalam novel roman, sementara kambing dan hujan tidak terhitung sebagai dua unsur yang romantis. Namun, di balik ketidakbiasaan judulnya, novel ini ternyata menyuguhkan cerita cinta yang luar biasa menariknya.
Singkatnya, Mahfud Ikhwan menulis kisah cinta rumit antara dua sejoli yang terhalang ormas agama. Miftahul Abrar atau Mif yang tumbuh dalam tradisi keluarga Islam modern, mencintai Nurul Fauzia atau Zia yang merupakan putri dari tokoh Islam tradisional. Seagama tidak lantas membuat hubungan keduanya berjalan mulus. Ada tantangan yang harus mereka lewati agar bisa mendapat restu sekaligus menyatukan dua keluarga yang berbeda ideologi agama itu.
Dalam usaha mereka merayu restu orang tua, terkuak fakta dari masa lalu tentang hubungan orang tua Mif dan Zia saat muda dulu. Hubungan persahabatan yang pada akhirnya menjadi permusuhan karena perbedaan pandangan agama. Is atau Iskandar, ayah Mif menjadi tokoh pembaruan agama Islam di desanya yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah di Desa Centong. Sementara itu, Moek atau Fauzan yang merupakan ayah Fauzia merupakan tokoh penting berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di desa itu.
Keberadaan dua ideologi Islam di Desa Centong akhirnya melahirkan dua wilayah. Wilayah selatan menjadi area bagi pengikut Islam tradisional, sementara wilayah utara adalah area untuk pengikut golongan pembaruan. Masing-masing wilayah ditandai dengan berdirinya masjid besar bagi umat mereka.
Pada awalnya, aku kira kisah Mif dan Zia akan mendominasi jalan cerita. Namun, kisah keduanya ternyata menjadi gerbang pembuka dari persoalan sosial, agama, dan budaya yang lebih kompleks. Bahkan aku tidak bisa menebak alur cerita akan dibawa ke mana, terutama tentang peristiwa masa lalu antara Is dan Moek yang bisa dibilang memengaruhi dinamika sosial dan budaya di Desa Centong.
Pada zaman dulu, Desa Centong merupakan perkampungan para petani. Selain menggarap sawah dan tegalan, mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu biasanya akan menjadi gembala kambing. Begitulah Is menjadi gembala kambing milik seorang juragan dan setiap bekerja, ia selalu ditemani oleh sahabatnya yang bernama Moek.
Latar belakang keluarga yang berbeda membuat Is dan Moek memiliki nasib yang juga berbeda. Setelah lulus Sekolah Rakyat, Is memutuskan tidak melanjutkan pendidikan, sedangkan Moek menjadi santri di salah satu pesantren di Jombang. Dari sinilah awal mula semoga gejolak itu terjadi.
Is yang dikenal pintar itu akhirnya banyak berkumpul dengan Cak Ali dan kawan-kawan. Mereka menjadi tokoh penting Islam pembaruan di desa itu. Secara bertahap, mereka berusaha untuk menghilangkan kebiasaan lama yang dianggap bid'ah dan menerapkan peraturan tertentu saat ada acara hiburan agar sesuai syariat Islam. Sayangnya, langkah mereka selalu mendapat pertentangan dari golongan tua. Oleh karena itulah, golongan tua yang merasa khawatir lantas meminta Moek untuk kembali ke desa dan memimpin keagamaan di sana.
Dari perjalanan hidup Is dan Moek, lantas kita bisa memandangnya sebagai gambaran transisi kebudayaan. Gejolak yang terjadi di Desa Centong merupakan bentuk singgungan budaya yang kerap terjadi ketika masuk paham baru dan terjadi peralihan zaman. Kelahiran dua ormas agama rupanya dapat menguraikan bentuk konflik kaum muda dengan kaum tua dalam memandang ideologi masing-masing.
Di samping itu, kita juga bisa melihat representasi kondisi masyarakat dan sistem kekerabatan yang dituliskan dengan detail. Kondisi masyarakat yang berkelompok itu lahir dari sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda sehingga bisa menciptakan rasa kolektif yang berbeda juga. Begitu pun dengan sistem kekerabatan yang sangat erat antara keluarga, saudara, dan masyarakat desa itu ditunjukkan secara mendalam oleh penulis melalui sekelumit kisah keluarga sebagai pelengkapnya.
Tidak melulu soal cinta, novel ini juga menawarkan berbagai metafora yang istimewa. Berakhir dengan happy ending, kisah cinta Mif dan Zia menjadi analogi bahwa di setiap perbedaan pasti ada jalan untuk menyatukan. Sama halnya dengan hubungan Is dan Moek menjadi cerminan bahwa ideologi yang berbeda tidak sepatutnya jadi pemecah persaudaraan.
Namun, tidak lengkap rasanya jika tidak melihat gaya penulisan Mahfud Ikhwan yang begitu apik. Novel ini ditulis dengan alur maju mundur dan sudut pandang yang berubah-ubah. Perlu ketelitian dan fokus saat membaca novel ini agar kita bisa memahami dari sudut pandang siapa cerita ini dikisahkan. Meski begitu, pemilihan kata dan susunan kalimatnya ditulis dengan bagus sehingga menjadikan setiap halaman di novel ini terkesan page turner.
Dan mengenai judul, pemilihan Kambing dan Hujan akhirnya bisa dipahami setelah menyelesaikan satu buku penuh. Keduanya ternyata erat berkaitan dengan dinamikan hubungan Mif dan Zia serta Is dan Moek. Oleh karenanya, aku beri apresiasi untuk keberhasilan penulis memilih judul yang unik dan memantik rasa penasaran ini.
Identitas buku
Judul: Kambing dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2015
Tebal buku: 388 halaman
Baca Juga
-
Serba-Serbi Kisah Cinta dan Nostalgia di Buku Kumpulan Cerpen Jeruk Kristal
-
Problematika Remaja dalam Bingkai Sepak Bola di Novel Bandar Bola, Cuy!
-
Belajar Menerima Diri dan Merangkul Perbedaan dari Buku Flo si Gadis Bunga
-
Ulasan Novel Light in a Maze: Cinta Bersemi dalam Kabut Ingatan yang Kelam
-
Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI, Saat Budaya Pop Jadi Simbol Perlawanan dan Kritik Sosial
Artikel Terkait
-
Satire Komikal yang Menyakitkan dalam Buku Lebih Senyap dari Bisikan
-
Luka dan Tangis Pengampunan dalam Cerpen Mengarungi Samudra Kehidupan
-
Ulasan Novel Den of Liars: Jebakan Ilusi yang Menguji Cinta dan Kepercayaan
-
Ulasan Novel Dari Arjuna untuk Bunda: Kisah Angst Keluarga Berbalut Trauma
-
Keping-Keping Cinta ala Tere Liye di Buku Sepotong Hati yang Baru
Ulasan
-
Satire Komikal yang Menyakitkan dalam Buku Lebih Senyap dari Bisikan
-
Review Film The Sparrow in the Chimney: Bara Bergolak di Pesta Keluarga
-
Review Film Nobody 2: Saat Liburan Keluarga Jadi Kacau Banget
-
Luka dan Tangis Pengampunan dalam Cerpen Mengarungi Samudra Kehidupan
-
Ulasan Novel Den of Liars: Jebakan Ilusi yang Menguji Cinta dan Kepercayaan
Terkini
-
Mahasiswa KKN UMBY Dorong Pemuda Kalidadap 1 Bangun Branding dan Marketing
-
HOT! Esensi Lagu Justin Bieber Walking Away: Ada Komitmen Tersembunyi?
-
Publikasi Kisah Perjuangan jadi Ajang Bangun Eksistensi Petani Kopi Lanjan
-
5 Kontroversi Bupati Pati Sudewo yang Bikin Geger! Apa Saja yang Bikin Warga Ngamuk?
-
Intip Fitur Canggih Lenovo Xiaoxin Pro GT, Tablet Gaming Telah Debut dengan Harga Terjangkau