Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | aisyah khurin
Film uglies (imdb.com)

Film "Uglies" adalah adaptasi dari novel karya Scott Westerfeld, menghadirkan kisah distopia futuristik di mana kecantikan fisik ditentukan oleh prosedur bedah plastik wajib pada usia 16 tahun.

Cerita berfokus pada Tally Youngblood (Joey King), seorang remaja yang menantikan giliran untuk menjalani operasi tersebut, namun kemudian bergabung dengan kelompok pemberontak yang menentang sistem tersebut.

Meskipun premisnya menjanjikan eksplorasi mendalam tentang standar kecantikan dan identitas, namun film ini gagal menyampaikan pesan tersebut dengan efektif. Penyutradaraan oleh McG terasa datar dan tidak mampu menghidupkan potensi cerita.

Visual yang dihadirkan terkesan generik, dengan penggunaan CGI yang kurang meyakinkan dan desain produksi yang tidak mendalam. Hal ini membuat dunia futuristik yang seharusnya menarik menjadi terasa kosong dan tidak meyakinkan.

Penampilan para pemeran utama, termasuk Joey King, Keith Powers, dan Brianne Tju, meskipun solid, tidak cukup untuk mengangkat kualitas film secara keseluruhan. Karakter-karakter yang mereka perankan tidak berkembang dengan baik, dan interaksi antar karakter terasa kurang mendalam. Hal ini membuat penonton sulit untuk terhubung secara emosional dengan cerita yang disajikan.

Salah satu aspek yang paling disayangkan adalah kurangnya eksplorasi tema-tema penting seperti body positivity, kritik terhadap standar kecantikan, dan dampak sosial dari prosedur bedah plastik.

Meskipun film ini berusaha untuk menyentuh isu-isu tersebut, penyajiannya terasa dangkal dan tidak menggugah. Alih-alih menjadi refleksi kritis terhadap masyarakat, "Uglies" justru terjebak dalam klise-klise yang sering ditemui dalam genre distopia remaja.

Dari segi alur cerita, film ini mengikuti formula yang sudah sering digunakan dalam film-film sejenis, seperti "The Hunger Games" dan "Divergent". Cerita bergerak maju dengan cepat tanpa memberikan ruang bagi pengembangan karakter atau eksplorasi dunia yang lebih mendalam. Konflik yang dihadirkan terasa klise dan tidak menawarkan kejutan atau kedalaman yang diharapkan dari sebuah film dengan premis seperti ini.

Meskipun "Uglies" berhasil menarik perhatian penonton dengan premisnya yang unik, eksekusinya tidak mampu memenuhi ekspektasi. Film ini gagal memanfaatkan potensi cerita untuk menyampaikan pesan yang kuat dan relevan. Alih-alih menjadi tontonan yang menggugah dan penuh makna, "Uglies" justru menjadi contoh lain dari adaptasi buku yang tidak berhasil diangkat ke layar lebar.

Dengan segala kekurangannya, "Uglies" tetap memiliki nilai sebagai bahan diskusi tentang bagaimana film-film adaptasi buku dapat lebih baik dalam menyampaikan pesan dan mengembangkan cerita. Semoga di masa depan, genre ini dapat menghasilkan karya-karya yang lebih berkualitas dan menggugah.

Pada akhirnya, "Uglies" adalah contoh dari bagaimana sebuah premis yang menarik dapat gagal dieksekusi dengan baik. Dengan potensi yang dimilikinya, film ini seharusnya bisa menjadi lebih dari sekadar klise distopia remaja. Namun, dengan penyutradaraan yang kurang kuat dan pengembangan cerita yang terbatas, "Uglies" tetap menjadi tontonan yang tidak mudah untuk dilupakan.

Secara keseluruhan, "Uglies" adalah film yang menjanjikan namun gagal memenuhi harapan. Dengan penyutradaraan yang kurang memadai, karakter yang tidak berkembang, dan tema yang tidak dieksplorasi dengan baik, film ini terasa seperti kesempatan yang terlewatkan. Bagi penggemar genre distopia remaja, "Uglies" mungkin terasa familiar dan kurang menawarkan sesuatu yang baru.

Bagi mereka yang mencari film dengan kedalaman tema dan pengembangan karakter yang kuat, "Uglies" mungkin bukan pilihan yang tepat. Namun, bagi penonton yang hanya mencari hiburan ringan tanpa terlalu banyak ekspektasi, film ini masih dapat dinikmati sebagai tontonan yang tidak terlalu menuntut.

aisyah khurin