Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Athar Farha
Poster Film Io Capitano (IMDb)

Ada film-film yang rasanya memang lahir untuk memikat juri festival, dengan kisah berat dan sinematografi elegan yang membuatnya tampak ‘prestise’ di antara tumpukan judul lain. Dan Film Io Capitano, besutan sutradara asal Italia, Matteo Garrone, termasuk salah satunya. 

Diproduksi sama Archimede, Rai Cinema, Pathé, Tarantula, Logical Content Ventures, RTBF, VOO, BE TV, Proximus, dan Shelter Prod, ‘Io Capitano’ merupakan film petualangan sosial berdurasi ±121 menit yang menjadi wakil resmi Italia, Belgia, dan Prancis, untuk ajang Academy Awards ke-96 dalam kategori Film Internasional Terbaik. Kerennya, film ini bisa Sobat Yoursay tonton di KlikFilm. 

Skrip film ini ditulis Matteo Garrone bersama Massimo Gaudioso, Massimo Ceccherini, dan Andrea Tagliaferri. Dan dibintangi Seydou Sarr dan Moustapha Fall yang memerankan dua tokoh utama.

Film ini juga dibintangi Issaka Sawadogo (Martin), Hichem Yacoubi (Ahmed), Doodou Sagna (Charlatan), Khady Sy (ibu Seydou), Venus Gueye (adik perempuan Seydou), dan Cheick Oumar Diaw (Sisko). 

Di Festival Film Venesia 2023, ‘Io Capitano’ meraih Silver Lion untuk Sutradara Terbaik dan Penghargaan Marcello Mastroianni untuk Aktor Muda Terbaik. Dan nggak bisa dipungkiri, film ini memang punya banyak hal yang layak diapresiasi. 

Sekilas tentang Film Io Capitano

Ceritanya mengikuti dua remaja Senegal, Seydou (diperankan Seydou Sarr) dan Moussa (Moustapha Fall), yang memutuskan meninggalkan kota asal mereka di Dakar untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa. 

Harapan mereka sederhana, semoga bisa bekerja dan mengirim uang untuk membantu keluarga. Namun, perjalanan mereka bukanlah jalan mulus menuju harapan, melainkan medan berbahaya penuh penderitaan, penipuan, dan eksploitasi manusia.

Mulai dari disiksa di penjara ilegal di Libya hingga menghadapi kerasnya alam gurun. Di titik itu, ‘Io Capitano’ menggambarkan migrasi bukan sebagai kisah heroik, melainkan tragedi yang dibungkus keteguhan hati. Di tengah semuanya, keinginan Seydou untuk tetap hidup dan bertahan menjadi nyawa utama film ini.

Impresi Selepas Nonton Film Io Capitano

Aku lho sempat merasa kayak lagi diceburkan langsung ke dalam pengalaman yang dialami Seydou dan Moussa. Ya, pengambilan gambar kamera yang terkesan menempel pada wajah-wajah yang penuh luka dan kelelahan, bikin diriku seolah-olah terlibat langsung. 

Tak hanya itu, bahkan ada saat-saat di mana aku merasa film ini terlalu sering menyorot kesengsaraan, yang seakan-akan ingin memastikan penonton merasakan betapa beratnya cerita ini. 

Untungnya, ‘Io Capitano’ nggak sepenuhnya tenggelam dalam realisme yang kelam. Di beberapa bagian, terutama dalam perjalanan laut menjelang akhir, ada nuansa magis dan surealis yang mengingatkanku pada El Norte (1983) buatan Gregory Nava. Sayangnya, unsur ini nggak digarap sekuat referensinya, sehingga kadang terasa seperti tempelan artistik ketimbang bagian dari dunia yang dibangun film.

Betewe, ada pertanyaan yang terus mengganggu benakku sepanjang film: Siapa sebenarnya audiens utama Film Io Capitano? Apakah film ini dibuat untuk para imigran Afrika yang kisahnya jarang terdengar, sebagai bentuk penghormatan? Ataukah untuk penonton Eropa, khususnya akademi Oscar, agar merasa tercerahkan? Jawabannya, mungkin keduanya. 

Dengan berbagai ajang yang sudah dilaluinya, mungkin benar, film ini menyentuh banyak hati kritikus. Namun, rasa itu, yang kurasakan sebagai penikmat film, barangkali masih jauh menggapai rasa yang mereka rasakan. Bukan berarti film ini buruk, hanya (mungkin) aku yang belum menemukan keindahan di dalamnya secara lebih rinci. Pada akhirnya, skor hanya soal selera dan subjektivitas diriku sebagai penikmat film. 

Skor: 3/5

Athar Farha