Lintang Siltya Utami | Athar Farha
Ilustrasi Cerpen Gentong yang Ingin Gantung diri (Desain by Athar Farha)
Athar Farha

Cerpen Oleh: Athar Farha

Menyepi dari hiruk pikuk desa menjelang magrib membuatku gundah gulana. Lagipula, untuk apa membaur dengan orang-orang yang tidak bisa menerima keberadaan diriku? Yah, setidaknya itu lebih baik karena aku kesulitan mengutarakan banyak hal kepada orang-orang. 

Mengapa Tuhan tidak adil padaku? Pertanyaan itu mengetuk hatiku berulang kali. Namun, tidak pernah ada jawaban. Barangkali belum. Mungkinkah pertanyaan itu, tanda diriku kurang bersyukur? 

Ayah membenciku. Bagaimana tidak? Tadinya pun tak percaya. Setelah dihina dengan mengumpamakan tubuhku ibarat gentong, barulah aku yakin bahwa beliau sangat membenci kelahiran anak semata wayang ini, yang katanya beban keluarga. 

Ibu pun begitu. Pernah mengumpat ketika aku banyak makan. “Sehari habis sekilo beras. Dasar Gentong!”

Sumpah, perlakuan dan tiap kata yang mereka lontarkan membuatku mencoba diet. Agar apa? Supaya orangtuaku tidak terlalu terbebani urusan dapur, biar jadi kurusan, dan agar dicintai selayaknya anak kandung. Namun, usaha menguruskan badan malah membuatku masuk rumah sakit seminggu kemudian. 

“Anak sialan. Kita itu miskin, kamu malah sakit,” ujar Ibu dengan tatapan judes. 

Aku bergeming di atas ranjang rumah sakit. Mencoba mengabaikan kekesalan dirinya. Menahan tangis meski telah berkaca-kaca. 

Pada malam ketiga dan masih di rumah sakit, aku menangis sambil becermin di dalam toilet. Aku menjambak-jambak rambut sendiri, menampar lalu mencakari pipi, dan membenturkan kening pada cermin hingga retak. Wajahku kelihatan hancur—penampakan dari kaca-kaca yang retak. 

Masih di dalam toilet, dan tatkala hati begitu sulit tenang, mendadak peristiwa beberapa minggu lalu menyembul dari ingatan di bawah tempurung kepalaku.

***

“Gendut! Kulit hitam. Lengkap banget jadi manusia terjelek di SMP!” ejeknya, teman sekelasku.

Semua murid tertawa di ruang kelas. 

“Kamu menghinaku sama saja menghina ciptaan Yang Mahasuci tauk!”

Semua kembali tertawa lepas. Si Penghina, temanku itu, makin terbahak-bahak. 

“Cowok jelek hitam gendut, mana ada yang suka? Paling disukai kucing!” Aku tak melihat langsung siapa yang berucap demikian.

Penghinaan demi penghinaan mereka teramat menyakitkan. Membuatku ingin bunuh diri. Pada malam hari di kebun milik ayah, aku membawa tangga bambu. Aku menaiki anak tangga menuju tangkai pohon yang terulur sekian meter. Tali pangkal milik ayah yang biasanya digunakan mengikat karung berisi rumput, aku curi. Tali telah melingkar di leher. Ujung talinya sudah kujeratkan pada tangkai yang sejak tadi aku duduki. 

Sesaat aku memejamkan mata. Setelah itu, aku pun menjatuhkan diri. Tali berukuran sekian meter mencekik leherku. Ketika menjatuhkan diri dan tercekik, kali pertama rasanya sangat menyakitkan sebab leher seperti putus. Aku merasakan nyeri paling ngilu. Jantung berdebar kencang. Semakin kencang. Beberapa detik kemudian, melambat. Pandanganku menghitam. 

Ketika hitam berganti putih kontras, aku terbangun. Leherku sangat sakit sampai bicara pun tak sanggup. Cuma bisa menggumam. Saking lirihnya, tidak terdengar jelas. Aku terkejut melihat tempat diriku terbaring, lalu aku mengubah posisi jadi duduk selonjor di atas tempat tidur. Seketika aku tersentak ketika air dari gelas dilempar tepat ke wajahku. 

“Mau mati? Bikin malu saja mau bunuh diri!” Ibu melotot. 

Aku tertunduk. 

“Lagian, siapa yang peduli kamu mati atau hidup? Bisanya cuma bikin susah. Ibu malu!”

Aku memberanikan diri menatapnya. "Aku anakmu, kan, Bu?"

Ibu menamparku. Pedih sekali. Aku sesenggukan. Demikian pun dengan dirinya. Ketika Ibu bercerita dengan letupan emosi, ingin sekali mencabut jantung di dadaku untuk diserahkan kepadanya, agar ia puas karena selama ini terpaksa merawat anak yang tidak pernah diinginkan. Aku adalah benih yang berkembang dari sosok ibu yang ditinggalkan pria yang dicintai karena kepincut perempuan lain. 

Begitulah. Ibu dahulu hendak membunuhku di dalam perut. Berkali-kali mengonsumsi obat penggugur kandungan, tapi gagal. Mungkin perawakanku menggambarkan keteguhan kala masih berbentuk janin; kuat. Aku kuat dalam beberapa hal, tapi lemah dalam keteguhan hati. Untuk apa aku hidup jika hanya menjadi beban semata? Semua orang pun tahu cerita kelam itu.

Usai percobaan bunuh diri itu, aku berniat menggantung diri lagi di sekolah. Kali ini agar banyak orang tahu dan paham betapa tersiksa batinku. Mereka yang aku anggap teman, toh ternyata tidak pernah menganggap demikian. Mereka melukaiku dari luar dan dalam. Penghinaan yang terakumulasi di dalam batin, dan candaan berlebih yang terkadang membuatku terluka fisik. 

Saat itu masih sangat pagi. Pintu kelas sudah dibuka oleh penjaga. Aku masuk kelas lebih awal, lalu menggeret kursi tempatku duduk menuju ambang pintu. Aku mengambil tali milik ayah yang kusimpan di dalam tas. Lantas menaiki kursi itu. Saat kakiku telah menjejak kursi, aku merasa keempat kaki kursi bergoyang. Dan itu membuatku agak sulit memasukkan tali ke bingkai atas pintu yang didesain bercelah. 

Beberapa detik berlalu, tali pun berhasil masuk. Segera tanganku meraih ujung tali pada sisi luar pintu, dan mengikatnya erat, kemudian membentuk lingkaran pada ujung satunya—melingkar di leherku—dan aku siap mempertontonkan kepada khalayak. 

Iya, aku menunggu sekian menit. Beberapa siswa mulai berdatangan dan terkejut melihatku siap gantung diri. Mereka berlari mendekat seraya berteriak, “Jangan lakukan itu!”

Aku tersenyum. Sesaat aku berlagak menuruti permintaan mereka yang telah berada di depanku—berdiri acak. Aku memisahkan lingkar tali dari leher. 

“Ayo turun, Gembrot!”

Aku merengut mendengar itu. “Namaku Awal!” 

Mereka tertawa. Aku muak dan siap untuk untuk bunuh diri. Namun, sebelum ujung yang melingkar itu kembali melingkari leher, kursi bergoyang hebat dan tubuhku terbanting ke lantai. Ternyata kaki kursi patah. Mereka tertawa terbahak-bahak. 

Tawa dan ejekan itu membuat kesadaranku di toilet rumah sakit kembali lagi. 

***

Aku menangis. Perlahan-lahan aku meraba cermin yang retak itu, lalu mencomotnya dari dinding, dan dengan hati-hati mencongkel retakan berbentuk segitiga yang kurang presisi. 

Paginya, aku masih hidup dan menunggu orangtua menjenguk. Ingin sekali mendengar kata-kata terakhir dari mereka, berharap akan mengubah niatku mengakhiri hidup. Ibu datang memasang wajah muram. Aku menunggu beliau berbicara, tapi malah membisu. 

“Ibu,” sapaku. 

“Iya?” Alis mata kanannya dinaikkan. “Buruan sembuh! Ibu malas di rumah sakit!”

“Kukira ke sini karena ....”

“Kenapa diam? Lanjutkan saja ucapanmu! Kamu itu cuma dosa Ibu! Jangan mengharapkan cinta!”

“Tidak lagi, Bu ....”

Ibu memandangku dengan agak tercengang. 

Niat mengakhiri hidup akhirnya terealisasi. Aku keluar dari kamar pasien dengan darah menetes dari kedua tanganku. Melangkah menyusuri koridor. Sebelumnya, aku berbalik memandang pintu kamar tempatku di rawat. Ibu tidak keluar menyusulku. Aku tertawa. Rasanya teramat bahagia karena penderitaanku lepas. 

Di koridor sebagian orang terkejut, tapi juga takut. Hingga suster cantik mendekat dengan tatapan was-was. Dia menepuk-nepuk dadaku, lalu memeriksa tanganku yang berdarah-darah. Suster itu terkejut ketika mengecek dan mendapati tidak ada satu pun luka. 

“Apa yang terjadi?” tanyanya. 

“Aku membunuh Ibu. Mengakhiri penderitaannya karena menganggap hidupku ini adalah beban. Menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Dan menghentikan tangisnya karena menyesali perbuatannya terdahulu yang membuatku terlahir ke dunia.”

Wajahnya tampak ketakutan, padahal tidak terbesit mencelakai dirinya. Suster itu lari.

***

Esoknya, aku melihat gambar wajahku di koran lokal dan pada tayangan di dalam berita televisi. Seseorang tiba-tiba memasuki ruangan tengah di rumah mewah. Sebenarnya, dia pemilik rumah ini. Dia mengaku sebagai Ketua Perlindungan Anak. Sekian menit kemudian, pelayan rumah menyajikan segelas susu hangat dengan camilan berupa biskuit. 

Aku melahap biskuit itu.

“Nak,” sapa beliau. “Mengapa kamu membunuhnya? Tidak sayang dengan orangtua yang selama ini merawatmu?”

“Aku sayang, kok.”

Beliau tersenyum. “Terus, mengapa tega begitu?”

Aku bergeming dan menangis. 

Beliau memelukku. Sungguh, ini kehangatan dari dekapan orangtua yang selama ini aku idamkan. Sungguh! Namun, karena menyadari sikapnya bukan bentuk ketulusan paling tulus, aku pun memintanya melepas dekapan. Dengan sengaja aku menyenggol cangkir berisi susu hingga melesat ke lantai dan pecah. Lantas aku melesat mengambil salah satu pecahan cangkir, kemudian mencoba menikam leherku. 

Namun, beliau tangkas, menahan pergelangan tanganku dengan telempapnya seraya berkata, “Cukup ibumu yang kau bunuh. Jangan kau bunuh dirimu sendiri. Masa depanmu berharga, Nak. Cukup.” []