Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ryan Farizzal
Poster Serial The Sandman S2 (IMDb)

Usai resmi jadi penutup petualangan epik Morpheus alias Dream, serial The Sandman kembali mengguncang layar Netflix di tahun 2025 dengan musim kedua.

Diadaptasi dari komik legendaris karya Neil Gaiman, serial ini tetap mempertahankan aura fantasi gelap yang bikin penonton terpukau sejak musim pertamanya.

Lewat visual yang memanjakan mata, cerita yang dalam, dan karakter yang penuh lapisan, The Sandman Season 2 berhasil membawa pengalaman yang lebih emosional dan kompleks. Yuk, langsung aja simak ulasan berikut!

Musim kedua The Sandman mengambil dua arc ikonik dari komiknya: Season of Mists dan Brief Lives. Cerita dimulai beberapa minggu setelah akhir musim pertama, di mana Morpheus (Tom Sturridge) sudah berhasil menghancurkan mimpi buruk Corinthian dan Vortex Mimpi yang mengancam semesta.

Kali ini, fokusnya ada pada reuni keluarga The Endless yang bikin deg-degan. Pertemuan ini bukan cuma nostalgia, tapi juga membawa konsekuensi besar buat Morpheus, termasuk menghadapi masa lalunya yang kelam dan kesalahan yang masih membayangi kerajaan mimpinya, The Dreaming.

Salah satu highlight adalah interaksi Morpheus dengan Lucifer (Gwendoline Christie), yang bikin bulu kuduk merinding. Plot twist soal Lucifer menyerahkan kunci Neraka ke Morpheus adalah momen yang bikin penonton ternganga.

Cerita nggak cuma soal petualangan antar dunia, tapi juga menyelami konflik batin Morpheus yang mulai terlihat lebih manusiawi. Enggak heran kalau serial ini disebut sebagai perpaduan sempurna antara mitologi modern, drama sejarah, dan fantasi gelap yang kaya makna.

Review Serial The Sandman Season 2

Bicara soal visual, The Sandman Season 2 nggak main-main. Setiap frame terasa seperti lukisan hidup, dari dunia mimpi yang surreal sampai Neraka yang mencekam.

Pengambilan gambar di lokasi seperti Woking, Inggris, termasuk Dukes Court dan Brookwood Cemetery, menambah vibes kelam yang estetis. Efek visualnya juga makin ciamik, apalagi saat Morpheus berinteraksi dengan dunia mimpi atau saat adegan di Neraka yang penuh detail.

Desain produksi dan kostum juga patut diacungi jempol. Morpheus dengan rambut jigrak ikoniknya tetap jadi pusat perhatian, tapi karakter lain seperti Death (Kirby Howell-Baptiste) dan Desire (Mason Alexander Park) juga punya penampilan yang mencuri perhatian.

Gwendoline Christie sebagai Lucifer berhasil menghidupkan karakter yang berwibawa sekaligus menyeramkan, jauh lebih setia pada versi komik dibandingkan adaptasi lain.

Tom Sturridge kembali memukau sebagai Morpheus. Di musim ini, dia berhasil menunjukkan sisi emosional Morpheus yang lebih kompleks, dari sosok dingin dan penuh kuasa jadi karakter yang mulai memahami kemanusiaan.

Kirby Howell-Baptiste sebagai Death tetap jadi favorit dengan karisma dan kebijaksanaannya, sementara Mason Alexander Park dan Donna Preston sebagai Desire dan Despair bikin dinamika keluarga Endless makin seru.

Oh ya, jangan lupakan Matthew, burung gagak yang disuarakan Patton Oswalt. Karakternya yang kocak dan setia jadi penyeimbang sempurna buat Morpheus yang serius. Setiap karakter, baik utama maupun pendukung, punya peran yang bikin cerita terasa hidup dan nggak cuma numpang lewat.

Kelebihan The Sandman Season 2 jelas ada pada narasi yang kuat dan setia pada komik aslinya. Showrunner Allan Heinberg berhasil menyeimbangkan adaptasi yang loyal dengan sentuhan segar yang bikin cerita tetap relevan buat penonton baru.

Pacing-nya memang agak lambat di beberapa episode, tapi ini justru bikin dunia yang dibangun terasa lebih hidup dan mendalam. Visual dan akting juga jadi nilai jual besar, apalagi buat penggemar yang suka cerita dengan vibes filosofis dan emosional.

Tapi, nggak bisa dipungkiri, serial ini punya kekurangan. Buat penonton yang nggak familier dengan komiknya, beberapa subplot mungkin terasa membingungkan atau kurang fokus.

Ada momen di mana plot bercabang ke arah yang agak nyimpang dari cerita utama, seperti di musim pertama, yang bisa bikin penonton awam kehilangan arah. Selain itu, meskipun visualnya ciamik, ada kritik soal beberapa efek yang terasa kurang maksimal, mungkin karena keterbatasan anggaran.

The Sandman Season 2 adalah bukti bahwa cerita fantasi bisa punya kedalaman emosional dan intelektual. Serial ini bukan cuma soal petualangan antar dunia, tapi juga tentang makna mimpi, kemanusiaan, dan konsekuensi dari pilihan.

Buat yang suka cerita dengan nuansa gelap tapi penuh makna, serial ini adalah must-watch. Apalagi, musim ini jadi penutup, jadi semua misteri dari musim pertama akhirnya terjawab.

Dengan rilis dalam tiga volume (Volume 1: 3 Juli 2025, Volume 2: 24 Juli 2025, dan episode bonus: 31 Juli 2025), The Sandman Season 2 memberi pengalaman yang nggak cuma menghibur, tapi juga bikin kita mikir.

Skor 88% di Rotten Tomatoes dan 7.7 di IMDb menunjukkan betapa serial ini disukai, meski ada kritik soal pacing. Buat penggemar komik, ini adalah adaptasi yang setia. Buat penonton baru, ini adalah perjalanan yang penuh keajaiban.

The Sandman Season 2 adalah perjalanan epik yang nggak cuma memanjakan mata, tapi juga hati dan pikiran. Dengan cerita yang kaya, visual yang estetis, dan akting yang solid, serial ini berhasil menutup kisah Morpheus dengan cara yang memuaskan.

Meski ada sedikit kekurangan, seperti pacing yang lambat dan subplot yang kadang bikin bingung, pesona The Sandman tetap nggak bisa dilupain. Jadi, siap-siap masuk ke dunia mimpi dan Neraka bareng Morpheus. Nonton sekarang di Netflix, dan rasain sendiri keajaibannya!

Ryan Farizzal