Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Tangkapan layar poster yang diambil dari trailer film Narik Sukmo (youtube.com/Wiguna P Alkuncir)

Film Karunrung 1995 bikin bulu kuduk berdiri sekaligus hati ikut terenyuh. Disutradarai Sony F. Rimba dan diproduksi Binasol Pictures, film horor-thriller ini resmi rilis di bioskop Indonesia pada 10 Juli 2025.

Diangkat dari tragedi nyata pembantaian satu keluarga di Jalan Karunrung, Makassar, pada 12 Maret 1995, film ini bukan cuma soal jumpscare atau hantu-hantuan, tapi juga menyentuh isu sosial yang bikin kita mikir keras.

Dengan durasi 84 menit, Karunrung 1995 berhasil menyuguhkan pengalaman sinematik yang intens, emosional, dan penuh makna. Yuk, simak langsung ulasan berikut!

Cerita Karunrung 1995 berpusat pada tragedi kelam di pasar tradisional Makassar. Uli (Cahya Ary Nagara), pemimpin geng preman, dikenal suka menebar teror di kawasan tersebut. Bersama anak buahnya, dia menguasai retribusi ilegal dan bikin warga ketar-ketir.

Suatu hari, seorang pengusaha kaya bernama Hendra (HM Isnan Dahir) menawarkan “pekerjaan kotor” dengan imbalan besar.

Tapi, apa yang awalnya cuma urusan bisnis berubah jadi pembantaian brutal terhadap keluarga Burhan (Mahesa Dinsi), termasuk istri hamilnya, Farida (Puput Aulia Putri), anak-anak mereka, dan seorang asisten rumah tangga. Tragedi ini nggak cuma merenggut nyawa, tapi juga membangkitkan amarah dari alam lain.

Kisahnya nggak berhenti di situ. Seorang jurnalis ambisius, Alana (Fatimah Azahra), bersama kekasihnya, Andi (Agogo Violin), berusaha mengungkap kebenaran di balik pembantaian itu.

Di sisi lain, para pelaku mulai dihantui rasa bersalah, ketakutan, dan teror gaib yang bikin mereka kehilangan kendali. Film ini cerdas menggabungkan elemen horor supernatural dengan drama kriminal, sehingga aku sebagai penonton nggak cuma deg-degan, tapi juga ikut merenungkan soal keadilan dan kemanusiaan.

Review Film Karunrung 1995

Tangkapan layar salah satu adegan di trailer film Karunrung 1995 (youtube.com/Wiguna P Alkuncir)

Salah satu kekuatan Karunrung 1995 adalah latar budaya urban Makassar yang begitu kental. Dari pasar tradisional yang ramai, logat lokal, sampai gestur khas warga Makassar, semuanya terasa autentik.

Sony F. Rimba berhasil menangkap vibe “Kota Daeng” dengan apik, bikin aku seolah-olah ikut masuk ke dalam dunia premanisme di era 90-an. Apalagi, tim produksi melakukan riset mendalam, termasuk wawancara dengan pelaku dan warga sekitar, untuk memastikan cerita ini nggak asal-asalan.

Meski begitu, ada tantangan dalam menghadirkan logat lokal yang natural. Tapi, kru dan aktor lokal Makassar menunjukkan totalitas luar biasa. Mereka berhasil bikin dialog dan interaksi terasa hidup, meski kadang ada momen aksennya terasa sedikit dipaksakan. Tapi, ini nggak terlalu ganggu, karena atmosfer keseluruhan film tetap kuat.

Cahya Ary Nagara sebagai Uli mencuri perhatian. Dia memerankan preman berdarah dingin yang kompleks—bukan sekadar penutup, tapi juga korban manipulasi dan iming-iming kekuasaan.

Karakternya punya lapisan emosional yang bikin kita benci sekaligus kasihan. Mahesa Dinsi dan Puput Aulia Putri juga tampil memukau sebagai Burhan dan Farida, berhasil menyampaikan kepiluan keluarga yang jadi korban.

Sementara itu, Fatimah Azahra dan Agogo Violin sebagai Alana dan Andi membawa dinamika segar, meski chemistry mereka kadang terasa kurang nge-blend di beberapa scene.

Oh iya, ada juga peran dukun (Ir. M. Hamka P.) yang menambah bumbu mistis. Meski porsinya nggak terlalu besar, kehadirannya cukup bikin merinding, apalagi dengan cerita bahwa karakter ini terinspirasi dari sosok nyata!

Karunrung 1995 nggak cuma soal horor, tapi juga bicara tentang isu sosial yang relevan. Film ini mengkritik kekerasan terstruktur, ketimpangan moral, dan dampak keserakahan dalam masyarakat.

Lewat kisah Uli dan Hendra, kita diajak melihat bagaimana uang dan kekuasaan bisa merusak kemanusiaan. Ditambah lagi, cerita ini jadi pengingat bahwa kejahatan manusia sering kali lebih menyeramkan daripada hantu.

Namun, film ini juga punya sisi kontroversial. Beberapa pelaku asli keberatan kisah ini diangkat ke layar lebar, khawatir berdampak pada keluarga mereka. Ini menunjukkan bahwa Karunrung 1995 bukan cuma hiburan, tapi juga membuka luka lama yang sensitif.

Meski secara keseluruhan solid, ada beberapa kekurangan. Beberapa jumpscare terasa klise dan kurang ngena, mungkin karena terlalu mengikuti formula horor konvensional.

Selain itu, pacing di paruh kedua film agak melambat, terutama saat fokus pada investigasi Alana, yang kadang terasa kurang terhubung dengan elemen horor utama. Tapi, ini nggak terlalu mengurangi intensitas keseluruhan cerita.

Karunrung 1995 adalah paket lengkap: horor yang bikin merinding, drama yang menyentuh, dan kritik sosial yang menggugah. Dengan akting yang kuat, latar Makassar yang autentik, dan cerita yang diangkat dari kisah nyata, film ini sukses menghadirkan pengalaman yang nggak cuma menghibur, tapi juga bikin kita mikir.

Buat kamu yang suka film horor dengan kedalaman emosional dan budaya lokal yang kental, Karunrung 1995 wajib masuk watchlist. Tapi, siap-siap ya, karena film ini bakal bikin kamu deg-degan sekaligus sedih! Rating dari aku 8/10.

Oh iya kalau mau nonton, pastikan kamu siap mental, karena kisah nyata di balik film ini benar-benar pilu dan bikin nyesek. Yuk, nobar bareng temen biar bisa diskusi abis nonton!

Ryan Farizzal