Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ardina Praf
Novel Brothers (goodreads.com)

Bagaimana jadinya jika dua orang tumbuh bersama dalam satu rumah, tapi berjalan menuju arah hidup yang sama sekali berbeda? Dalam novel Brothers (Dua Bersaudara), Yu Hua merangkai kisah tentang keluarga, cinta, ambisi, dan absurditas zaman dalam sebuah cerita yang liar, menggelitik, sekaligus menyayat.

Dua tokoh sentral dalam kisah ini adalah Baldy Li dan Song Gang, dua saudara tiri yang tumbuh di kota kecil Tiongkok. Mereka memulai hidup dengan ikatan kuat sebagai anak-anak yang ditinggalkan oleh ayah, dicemooh lingkungan, dan harus bertahan di tengah kekacauan sosial.

Namun seiring waktu, jalan mereka menyimpang jauh. Yang satu tumbuh menjadi pengusaha sukses yang penuh tipu muslihat, sementara yang lain memilih hidup sederhana, jujur, dan penuh kepedihan.

Apa yang membuat Brothers begitu menggugah bukan hanya kisah dua tokohnya, tetapi bagaimana Yu Hua menghadirkan kontras zaman dengan begitu jelas: dari era Revolusi Kebudayaan yang keras dan membatasi, hingga masuknya kapitalisme yang absurd dan tanpa batas.

Di awal cerita, kita dibawa ke masa kecil yang penuh kekurangan, di mana tubuh bisa dihukum karena membaca buku atau sekadar bermimpi. Tapi saat cerita berlanjut ke bagian kedua, dunia berubah drastis.

Uang menjadi raja, operasi keperawanan menjadi tren, dan moralitas seolah tak lagi penting. Di titik inilah Yu Hua menyindir keras modernisasi Tiongkok yang kadang terlalu cepat dan terlalu membingungkan untuk dicerna secara manusiawi.

Melalui sosok Baldy Li, kita seperti disadarkan bahwa keberuntungan terkadang berpihak pada orang yang berani. Karakter ini memang seringkali membuat kita gemas, tapi juga sulit untuk membencinya.

Sementara melalui Song Gang, kita menyaksikan bagaimana orang baik bisa tergilas oleh dunia yang tak lagi mengenal nilai-nilai lama.

Gaya bercerita Yu Hua dalam Brothers sangat khas, karena memadukan humor gelap dan kepedihan.

Banyak momen dalam buku ini yang akan membuatmu tertawa getir. Tertawa karena absurditas situasinya, lalu seketika sadar bahwa yang sedang kamu baca adalah refleksi kehidupan nyata.

Salah satu kekuatan novel ini adalah kemampuannya untuk membuat pembaca terjebak dalam emosi yang bertabrakan.

Kamu bisa dibuat tertawa dengan kalukan konyol Baldy Li, tapi setelah itu seperti dibungkam dengan keheningan dengan luka yang ada dibaliknya.

Di tengah kritik sosial dan kekacauan moral, novel ini tetap menyimpan inti yang sangat manusiawi: hubungan dua saudara yang saling mencintai, saling menyakiti, dan pada akhirnya tidak bisa benar-benar melepaskan satu sama lain.

Brothers bukan hanya tentang bagaimana dunia luar berubah, tapi juga bagaimana perubahan itu menguji ikatan terdalam antar manusia.

Meski banyak tragedi dan kebodohan dalam cerita ini, kita tahu bahwa keduanya, dengan caranya masing-masing, hanya ingin bertahan.

Melalui Brothers, Yu Hua tidak mencoba memberikan jawaban apa pun. Ia justru memotret kehidupan apa adanya, menyisipkan tawa getir, lalu membiarkan kita merenung sendiri.

Ia memperlihatkan betapa cepatnya dunia bisa berubah, dari masa yang melarang buku hingga era yang memperdagangkan moralitas.

Secara keseluruhan Brothers menjadi novel yang menggambarkan sosok manusia yang selalu ingin dicintai, dipahami, dan ditemani dalam dunia yang rumit ini.

Jika kamu sedang mencari novel yang kompleks namun tetap menyentuh sisi paling dasar dari kehidupan manusia, Brothers adalah bacaan yang layak untuk dijelajahi.

Sebuah kisah besar tentang keberuntungan, kehilangan, dan keberanian untuk tetap menjadi manusia di tengah absurditas dunia.

Ardina Praf