Kisah-kisah perempuan yang diangkat dalam sebuah cerita novel hampir selalu memiliki alur cerita yang pedih, menyakitkan, dan tak jarang membuat kita sadar bahwa kehidupan ini begitu kompleks.
Salah satunya adalah kisah perempuan yang terdapat dalam Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el - Saadawi. Novel ini pertama kali diterbitkan dengan menggunakan bahasa Arab, dengan cetakan pertanya pada Agustus 1989.
Di Indonesia, novel ini dialihbahasakan oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Obor Indonesia. Novel ini berdasarkan pengalaman nyata Saadawi ketika menjadi psikiater di Penjara Qanatir, Mesir.
Bercerita tentang kisah hidup seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan dalam masyarakat patriarki, hingga menyebabkan dirinya menjadi seorang pelacur kelas atas di kotanya.
Firdaus, seorang wanita yang hidup di penjara karena melakukan sebuah kesalahan besar yaitu membunuh seorang laki-laki yang tak lama lagi akan dieksekusi mati.
Pada saat itu, seorang psikiater mencoba untuk mewawancarai Firdaus yang sedang berada di dalam sel tahanan. Dari sanalah cerita-cerita tentang lika-liku kehidupannya ia ceritakan kepada psikiater tersebut.
Novel ini ditulis dengan gaya monolog, layaknya sedang bercerita dengan alur yang ditampilkan adalah alur kilas balik dari kehidupan seorang Firdaus dari ia kecil hinga dewasa.
Diketahui bahwa sejak kecil Firdaus telah diperkenalkan dengan berbagai bentuk kekerasan dan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan, bahkan dirinya adalah korban dari kekerasan tersebut.
Kekerasan tersebut justru ia dapatkan tidak hanya dari orang yang tidak ia kenal sama sekali, justru dari orang terdekatnya yang pun yang masih memiliki ikatan keluarga ia alami.
Dalam novel ini kehidupan Firdaus penuh dengan luka dan air mata. Dirinya tidak pernah merasa benar-benar menemukan orang yang tepat dan bisa dipercaya.
Firdaus selalu dipertemukan dengan orang-orang yang bermuka dua, yang awalnya memberikan bantuan tetapi lama-lama bisa berubah menjadi seekor serigala buas yang kelaparan.
Hal yang paling disorot dalam novel ini adalah terkait kekerasan seksual terhadap perempuan. Firdaus telah mengalami itu sejak kecil bahkan dari kerabat dekatnya seperti teman, dan pamannya sendiri.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Firdaus ketika telah menikah juga menjadi suatu kritik sosial terhadap dominasi laki-laki dan budaya patriarki khususnya yang berkembang di Arab.
Namun, isu ini juga sangat relevan dengan kondisi yang berkembang di negara Indonesia tentang sistem sosial yang kadang kurang adil dan kurang berpihak terhadap perempuan.
Firdaus adalah representasi perempuan yang mengalami penindasan dan ketidakadilan sosial sejak kecil hingga dewasa, yang terus berjuang melawan dominasi laki-laki dan budaya patriarki yang sangat kuat.
Titik nol ini juga dapat diartikan sebagai titik terendah di mana perempuan seperti Firdaus harus bertarung untuk mendapatkan eksistensi, kebebasan, dan martabatnya.
Di sisi lain, titik nol ini juga memberikan harapan simbolis tentang kemungkinan kelahiran kembali dan pembebasan, sebab Firdaus melalui perjuangannya menunjukkan keberanian untuk menantang sistem yang menindasnya sampai akhir hidupnya.
Dengan kata lain, novel ini berusaha untuk menggambarkan perjuangan perempuan yang benar-benar dimulai dari nol, dari posisi terendahnya dalam masyarakat patriarki, dan berusaha menuntut haknya sebagai manusia yang bebas dan bermartabat.
Kalau kamu memiliki ketertarikan dengan isu-isu feminism, novel ini bisa menjadi rekomendasi bacaan. Selain itu, novel ini tidak terbatas hanya untuk perempuan, namun laki-laki juga disarankan membaca novel ini untuk memperluas perspektif lebih dalam terhadap perempuan.
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
Artikel Terkait
-
Perempuan di Lapangan Futsal: Menembus Stereotip Lewat Prestasi
-
Nanda Hervina Widowati: Teladan Pemberdayaan Perempuan dan Inspirasi Pengusaha Muda Malang
-
Ulasan Novel Rara Mendut: Riak Ombak Mengusung Kemerdekaan Perempuan
-
Alarm Bahaya! Fakta Mengerikan Terungkap: 1 dari 2 Anak Jadi Korban Kekerasan, Tapi Tak Berani Lapor
-
Ternyata, Feminitas Toksik Masih Membelenggu Kebaya hingga Saat Ini
Ulasan
-
Review Film Dilanjutkan Salah, Disudahi Perih: Drama Romansa Penuh Dilema
-
Ulasan Novel Take Me for Granted: Menemukan Rasa Bahagia di Antara Luka
-
Review Film Dia Bukan Ibu: Saat Teror Bukan dari Hantu, tapi dari Orang Terdekat di Rumah
-
Buaian Coffee Jogja: Kisah 'Rumah' Hangat yang Lahir dari Ruang Kosong di Gang Sempit
-
Review Film One Battle After Another: Pusaran Dendam yang Nggak Pernah Padam
Terkini
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sinopsis Romantic Killer, Film Jepang yang Dibintangi Moka Kamishiraishi
-
7 Drama Korea Seru akan Tayang Oktober 2025, Catat Tanggalnya!
-
4 OOTD Stylish Vanesha Prescilla yang Bikin Daily Look Auto Kece!
-
Tak Banyak Polah, Calvin Verdonk Balas Cemoohan Fans Lille dengan Cara Berkelas