Weapons adalah film horor terbaru karya sineas Zach Cregger, yang sebelumnya sukses lewat Barbarian. Kali ini, Zach kembali memegang kendali penuh sebagai penulis, sutradara, sekaligus produser bersama Roy Lee, Miri Yoon, J.D. Lifshitz, dan Raphael Margules.
Film tersebut menjadi salah satu rilisan paling dinanti tahun ini, terutama karena sempat memicu persaingan sengit di Hollywood saat proses lelang hak produksi.
Naskah garapan Zach Cregger ini memancing minat banyak studio besar seperti Netflix, TriStar Pictures, Universal Pictures, dan New Line Cinema.
Pada akhirnya, New Line keluar sebagai pemenang setelah mengajukan penawaran sekitar 38 juta dolar. Angka tersebut sudah mencakup biaya produksi, honor Zach Cregger sebagai penulis, sutradara, sekaligus produser, serta kebebasan artistik penuh termasuk hak final cut.
Film berdurasi sekitar dua jam delapan menit ini digarap dengan sentuhan sinematografi Larkin Seiple (yang sebelumnya mencatat karya gemilang di film Everything Everywhere All at Once), penyuntingan oleh Joe Murphy, serta musik garapan Ryan Holladay, Hays Holladay, dan Zach Cregger sendiri.
Deretan pemeran utamanya meliputi Josh Brolin, Julia Garner, Alden Ehrenreich, Austin Abrams, Cary Christopher, Benedict Wong, dan Amy Madigan, diitambah sejumlah aktor pendukung seperti Toby Huss, Sara Paxton, Justin Long, June Diane Raphael, hingga Whitmer Thomas.
Dengan jadwal rilis di Indonesia pada 6 Agustus 2025 dan di Amerika Serikat pada 8 Agustus 2025, Weapons sukses menuai respons positif dari kritikus, bahkan sempat meraih skor sempurna di Rotten Tomatoes. Tak heran film ini disebut sebagai salah satu horor terbaik tahun 2025.
Sinopsis Film Weapons
Weapons membuka kisahnya di kota fiksi Maybrook, Pennsylvania, dengan sebuah peristiwa aneh yang terjadi pada dini hari.
Tepat pukul 2:17, tujuh belas murid SD dari kelas yang sama secara bersamaan berlari keluar dari rumah masing-masing dengan tangan terentang, lalu menghilang tanpa jejak di tengah kegelapan. Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi atau apa yang mendorong mereka bertindak demikian.
Peristiwa itu segera memicu kepanikan dan penyelidikan besar-besaran, namun ketiadaan petunjuk membuat kasus ini semakin misterius.
Kisah kemudian terpecah menjadi enam babak yang menyoroti sudut pandang berbeda, masing-masing menyajikan potongan peristiwa yang perlahan membentuk gambaran besar.
Salah satunya mengikuti Justine Gandy (Julia Gardner), wali murid dari anak-anak yang hilang, yang secara tak terduga menjadi sasaran tuduhan meski tak ada bukti.
Ada pula Archer Graff (Josh Brolin), ayah salah satu anak hilang, yang terobsesi membongkar misteri ini. Ia mengumpulkan potongan informasi, termasuk rekaman kamera CCTV yang menunjukkan pola aneh dalam cara anak-anak berlari meninggalkan rumah.
Perspektif lain datang dari Paul Morgan (Alden Ehrenreich), seorang polisi yang berusaha mengungkap kebenaran di balik peristiwa ganjil itu sambil bergulat dengan masalah pribadinya.
Lalu ada Marcus Miller (Benedict Wong), kepala sekolah yang berupaya meredam kepanikan para orang tua dan menjaga reputasi sekolah di tengah gelombang rumor, serta James (Austin Abram), sosok pecandu narkoba yang tanpa sengaja terlibat dengan peristiwa tersebut.
Satu perspektif terakhir yang sangat krusial adalah Alex Lilly (Cary Christopher), satu-satunya siswa yang tidak ikut menghilang di malam itu. Sikapnya yang tertutup menimbulkan kecurigaan, seolah ia menyimpan sesuatu yang mampu membuka tabir misteri tersebut.
Dengan format penceritaan bergaya non-linear, Weapons merangkai drama psikologis, misteri, dan ketegangan yang kian menebal di setiap babak.
Atmosfernya yang suram, ditambah karakter-karakter dengan rahasia masing-masing, membuat penonton terus terikat dan bertanya-tanya hingga semua kepingan cerita mengarah pada satu kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Review Film Weapons
Weapons merupakan sebuah sajian horor misteri yang berhasil memadukan kompleksitas narasi dengan atmosfer mencekam secara efektif.
Dibawah arahan Zach Cregger, film ini menonjol berkat struktur cerita yang tidak linear dengan sudut pandang yang silih berganti. Setiap fragmen membuka lapisan baru, menghadirkan potongan informasi yang perlahan terjalin menjadi sebuah petunjuk utuh.
Uniknya, setiap sudut pandang ini dibingkai dengan cliffhanger yang menggugah rasa penasaran, yang kemudian dijawab dengan rapi di pertengahan cerita, sehingga penonton tetap terpikat tanpa merasa digantung terlalu lama.
Pendekatan ini menciptakan ritme yang tidak monoton, menjaga ketegangan secara konstan dari awal sampai akhir. Penonton juga dituntut untuk terus aktif mengurai kaitan antarperistiwa.
Perpindahan perspektif juga memperluas jangkauan cerita, memperlihatkan bagaimana satu peristiwa dapat menimbulkan dampak yang berlapis—mulai dari pergolakan batin individu hingga kegelisahan kolektif masyarakat.
Meski demikian, narasi yang terfragmentasi ini memang bisa terasa menantang. Ada bagian di mana fokus penonton berpotensi terpecah, atau karakter tertentu terasa kurang mendapat pendalaman yang setara.
Salah satu contoh yang cukup terasa adalah ketiadaan sudut pandang dari sang antagonis. Mengingat perannya yang krusial, minimnya eksplorasi terhadap latar belakang atau motivasinya membuat sosok ini sedikit kehilangan dimensi.
Padahal, satu atau dua adegan dari POV-nya, bisa memberi dampak besar pada kedalaman narasi. Minimal taruh lah di ujung cerita—setelah bagian Alex, agar kita sebagai penonton dapat sedikit mengetahui tentang motivasi yang mendasari tindakan gilanya ini.
Untungnya, Weapons mampu menutup celah itu melalui atmosfer horor yang diolah secara presisi. Zach Cregger tidak hanya mengandalkan jumpscare konvensional, melainkan memanfaatkan tata visual dan pergerakan kamera untuk menanamkan rasa waswas.
Visi tersebut diterjemahkan secara efektif oleh sinematografer Larkin Seiple lewat pencahayaan kontras, framing yang menekan ruang gerak karakter, serta komposisi gambar yang kerap memancing imajinasi penonton terhadap ancaman yang tidak terlihat. Kamera sering membatasi ruang pandang, menciptakan sensasi seolah ada sesuatu yang mengintai dari luar frame.
Jumpscare juga disajikan dengan porsi yang pas, penempatannya efektif, dan yang terpenting, tidak terasa dipaksakan sehingga tetap mempertahankan atmosfer tegang tanpa kehilangan kesan.
Aspek lain yang membuat film ini lebih menarik adalah keberanian Zach Cregger dalam menyelipkan bumbu humor di tengah ketegangan.
Bukan humor receh yang dibuat-buat, melainkan kelakar tipis yang tumbuh secara organik dari absurditas situasi atau perilaku salah satu karakter yang bertolak belakang dengan kondisi mencekam di sekelilingnya.
Alih-alih merusak suasana, humor ini justru berfungsi sebagai katup pelepas ketegangan yang membuat gelombang teror berikutnya terasa lebih intens.
Zach Cregger yang memang punya latar belakang dari dunia komedi (sebelum menjadi sutradara horor, ia dikenal sebagai komedian sekaligus pendiri grup sketsa The Whitest Kids U' Know serta aktor di berbagai sitkom), mampu mengatur ritme ini dengan presisi. Ia tahu kapan harus memberi jeda lewat humor, dan kapan harus menekan gas penuh untuk membangun teror.
Saat memasuki tiga puluh menit terakhir, film ini meledak jadi kombinasi horor dan komedi gelap yang brutal. Bagi saya pribadi, ini adalah salah satu bagian yang paling memuaskan.
Saya bahkan sempat tertawa kala menyaksikan adegan tersebut. Rasanya jarang ada film horor modern yang berani menghadirkan momen se-absurd ini, tapi tetap tidak kehilangan daya gigitnya.
Tentu saja, perpaduan nada seperti ini tidak akan cocok untuk semua penonton. Bagi mereka yang mengharapkan horor murni tanpa distraksi, humor absurdnya bisa terasa mengganggu.
Namun, bagi saya, justru di situlah letak keberanian Weapons. Ia sengaja mengacaukan ekspektasi untuk menciptakan pengalaman menonton yang lebih berlapis.
Seluruh pencapaian teknis ini juga diperkuat oleh performa akting yang solid. Josh Brolin dan Julia Garner tampil solid, menghadirkan karakter penuh konflik dan pergulatan batin. Penampilan mereka berhasil membawa film ini keluar dari ranah horor biasa dan masuk ke wilayah drama psikologis yang kuat.
Sementara itu, Alden Ehrenreich turut memperkaya dinamika cerita dengan perannya sebagai polisi yang ikut menyelidiki misteri anak-anak yang hilang. Chemistry antar pemain dan penyampaian emosionalnya sangat terasa, membuat penonton mudah terhubung dengan perjalanan karakter.
Secara keseluruhan, Weapons adalah bukti bahwa premis sederhana sekali pun bisa berkembang menjadi karya sinematik yang kompleks dan memikat, jika diolah dengan visi yang jelas dan keberanian untuk keluar dari pakem.
Zach Cregger berhasil membangun dunia yang tegang, absurd, dan terkadang lucu—sebuah kombinasi yang jarang berhasil dieksekusi sebaik ini di ranah horor modern.
Baca Juga
-
Ikon Metal Legendaris Ozzy Osbourne Meninggal Dunia di Usia 76 Tahun
-
7 Film dan Serial yang Dibintangi David Corenswet sebelum Jadi Superman
-
Review Film Havoc: Suguhkan Aksi Super Brutal tapi Naskah Terlalu Datar
-
Review Film F1: Aksi Balap Mendebarkan dengan Atmosfer Autentik Khas Formula 1
-
Review Film The Phoenician Scheme: Rekonsiliasi Ayah dan Anak di Tengah Proyek Ambisius
Artikel Terkait
Ulasan
-
Santap Sambal Mangga dan Bebek Gurih di Dapur Makcik, Bikin Ketagihan
-
Ulasan Novel The Game is Murder: Perjalanan Memecahkan Misteri di Tahun 1974
-
Novel Sang Penyusup (Only Daughter), Thriller Psikologis Penuh Jebakan
-
Bikin Optimis! Ulasan Buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya
-
Ulasan Novel Novella About Us: Akhir yang Indah pada Halaman Cerita
Terkini
-
Dua Kali Kena Kejar, Timnas Indonesia U-17 Perlu Matangkan Manajemen Pertahankan Keunggulan
-
Good Boy: Film Horor Unik dari POV Seekor Anjing Selamatkan Pemiliknya
-
5 Pilihan Combo Serum Hanasui untuk Kulit Glowing, Cerah dan Bebas Masalah
-
5 Rekomendasi Drama China HIgh School Terbaru Tayang 2025, Ada Fell upon Me
-
Nggak Harus Sedarah, Keluarga Bisa Lahir dari Tempat yang Tidak Terduga