M. Reza Sulaiman | Eki Rofiq Almujahid
Ilustrasi transformasi penampilan Jenika (Sumber: Gemini AI)
Eki Rofiq Almujahid

"Sha, aku buka jilbab bukan karena pengen keliatan cantik. Tapi karena... aku ngerasa kosong."

Chat itu muncul tengah malam. Dari Jenika.

Aisha membacanya dengan napas berat. Ia memejamkan mata. Dada kirinya seperti diremas. Bukan karena kecewa, melainkan karena takut kehilangan. Bukan kehilangan fisik, melainkan kehilangan arah—arah menuju-Nya.

Jenika. Sahabatnya sejak SMP. Partner lomba, teman curhat, teman sevisi. Dulu mereka duduk berdampingan saat kajian, saling mengingatkan soal hafalan, hingga saling menahan tawa ketika guru ngaji lupa ayat.

Kini? Dunia mereka seperti terpaut jauh. Jenika kuliah di kampus bergengsi, jurusan Hubungan Internasional. Aisha, tetap di jalurnya, jurusan Bahasa Arab di universitas Islam ternama.

Suatu hari, viral video dance cover—cewek berambut highlight pink. Lenggak-lenggok dengan percaya diri. Di caption-nya tertulis: "Just having fun. I just wanna be myself."

Itu Jenika.

Warganet menghujat secara brutal dengan komentar menyayat hati. Bahkan, Aisha ikut terseret.

“Eh, temenmu sekarang gitu, ya? Pantas kamu diem aja, satu aliran pasti.”

Aisha sakit. Tapi, bukan karena ucapan mereka, melainkan karena ia tahu Jenika bukan seperti itu.

Sampai akhirnya mereka bertemu di taman kecil di pinggiran kota, tempat biasa mereka belajar waktu SMA.

Jenika duduk bersimpuh. Hoodie menutupi sebagian rambutnya. Tapi, sisa warna pink-nya tetap tampak mencolok.

“Aku bingung, Sha…” matanya sembab. “Aku cuma... pengen ngerasa bebas. Bukan dari agama. Tapi dari ekspektasi. Orang bilang aku jilbab syar’i, harus sempurna, harus kuat. Tapi aku capek. Kayak gak boleh punya salah. Terus pas aku jatuh... semua ninggalin aku.”

Aisha menggenggam tangannya. Hangat.

“Jen, aku gak di sini buat ngehakimi kamu. Aku tahu kamu orang baik. Kamu masih salat, masih sedekah, masih bantu orang. Cuma... mungkin kamu lagi nyari jalan pulangmu, ya?”

Jenika menunduk. “Aku... sempet baca buku soal spiritual journey. Katanya, gak semua orang nemuin Tuhan di masjid. Kadang lewat kegagalan, kesepian, atau rasa kehilangan.”

Hening. Hanya angin yang lewat.

“Aku masih doain kamu tiap tahajud, Jen.”

Jenika terisak. “Sha… kayaknya aku mau belajar hijaban lagi. Bukan karena orang-orang. Tapi karena aku rindu rasa tenang itu.”

Aisha tersenyum. “Pelan-pelan aja. Allah gak ke mana-mana kok, Jen. Dia nunggu.”

Jenika bukan murtad. Bukan pembangkang. Dia hanya manusia biasa yang sedang mencari titik damai. Karena tidak semua perjalanan menuju Tuhan itu lurus. Ada yang melingkar. Ada yang tersesat dulu.

Dan tugas sahabat, bukan menghukum. Tapi memeluk.