Hernawan | Bernadeta Lingga Devayani
Fakta Menarik Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa (IMDb)
Bernadeta Lingga Devayani
Baca 10 detik

Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa memotret kerasnya realitas perempuan yang hidup dalam sistem patriarki. Melalui kisah Kiran, seorang mahasiswi religius yang akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi, film ini memperlihatkan kekuasaan laki-laki dapat menindas perempuan secara sistematis, baik di ranah publik maupun privat.

Kisah Kiran menggambarkan perjalanan yang penuh tekanan. Mulai dari masalah ekonomi keluarga, tawaran taaruf dari ustaz Abu Darda, hingga relasi tidak etis dengan dosennya, Pak Tomo, yang menjadikannya simpanan. Situasi semakin kelam ketika Kiran dilecehkan pejabat negara.

Sejak awal, Kiran digambarkan sebagai perempuan yang tekun belajar agama. Adegan pembuka menampilkan ia menjawab pertanyaan ustaz dengan tepat, membuat teman-temannya kagum. Namun, kondisi ekonomi yang sulit memaksanya mengambil keputusan-keputusan berat.

Tawaran taaruf dari ustaz Abu Darda sempat membuatnya berharap jalan hidupnya akan membaik, tetapi pertemuan-pertemuan berikut justru memperlihatkan bagaimana Kiran diperlakukan subordinatif. Ia tidak diperbolehkan berbicara, bukti percakapannya ditolak, bahkan ponselnya ditepis secara kasar.

Situasi semakin rumit ketika dosennya, Pak Tomo, yang awalnya menawarkan bantuan akademik, menjadikan Kiran sebagai simpanan dan memindahkannya ke apartemennya. Pak Tomo bahkan mempertemukannya dengan pejabat berpengaruh, termasuk Pak Bambang, yang kemudian melecehkannya. Ketika Kiran marah, ia justru dihina dengan sebutan “lonte”.

Kehadiran Daarul menjadi titik balik emosional. Kiran merasa didengarkan dan dipercaya, hingga akhirnya mereka menjalin hubungan intim. Namun, hubungan itu kandas saat Daarul mencalonkan diri sebagai ketua himpunan mahasiswa. Ia menjauhi Kiran demi menjaga citra politiknya, bahkan mengancam bahwa jika “aib” mereka tersebar, orang akan lebih percaya padanya ketimbang Kiran. Adegan-adegan ini menggambarkan betapa suara perempuan mudah dipatahkan dalam sistem patriarkal.

Gerda Lerner pernah menulis, “Patriarki adalah sistem yang dilembagakan, di mana laki-laki memegang posisi-posisi penting di berbagai institusi, sementara perempuan mengalami pembatasan akses terhadap kekuasaan tersebut” (Lerner, 1987:239). Gambaran itu tampak jelas dalam film ini ketika suara Kiran ditolak, bahkan saat ia memiliki bukti percakapan telepon.

Dunams (2023) menjelaskan, “Superioritas gender memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki di bidang politik, ekonomi, dan status sosial.” Dominasi itu juga terlihat pada adegan ketika ustaz memutuskan nasib Kiran tanpa memintanya berbicara, seakan suara perempuan tidak relevan. Film ini juga menyingkap praktik kekerasan simbolik.

Jenkins (1992:66) menulis, “Kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna yang diterima sebagai wajar oleh korban, sehingga relasi kuasa tampak sah.” Di film ini, Kiran digambarkan sebagai korban sistem nilai yang membuat penindasan tampak normal: pernikahan siri dianggap “jalan barokah”, pelecehan pejabat disamarkan sebagai jamuan makan malam, dan pemberontakan Kiran dianggap aib.

Film berakhir dengan Kiran terbaring di rumah sakit setelah disiksa, sementara media memberitakan ditangkapnya kelompok radikal yang terkait dengan tokoh-tokoh yang pernah menindasnya. Akhir cerita ini mengajak penonton merenungkan bagaimana kebenaran sering dibungkam, sementara sistem yang menindas terus direproduksi.

Baca Juga