Kalau mendengar kata “sakura”, yang terbayang biasanya Jepang, musim semi, dan bunga yang indah tapi cepat gugur. Tapi bagaimana kalau bunga itu justru “mekar” di Jayakarta? Itulah yang ditawarkan Untung Wahono lewat novelnya Sakura Jayakarta. Judulnya saja sudah bikin penasaran: bagaimana mungkin sakura bisa tumbuh di tanah yang penuh asap mesiu dan intrik politik abad ke-17?
Novel ini mengajak kita menengok Jayakarta ketika masih berada dalam pengaruh Kesultanan Banten. Tokoh utamanya, Wira Kusuma, adalah pengawal setia Pangeran Wijayakrama. Dari sudut pandangnya, kita bisa melihat betapa rumitnya perjuangan mempertahankan kota: bukan hanya melawan Kompeni Belanda, tapi juga menghadapi konflik internal para bangsawan sendiri.
Sakura di Tengah Bara
Kenapa harus “sakura”? Simbol bunga ini terasa kontras dengan Jayakarta yang panas, keras, dan penuh peperangan. Justru karena itu, sakura di sini jadi metafora: sesuatu yang rapuh tapi indah, yang tetap berani mekar walau dikepung api. Seperti semangat rakyat Jayakarta yang meski hidup dalam tekanan penjajahan, masih mampu menyimpan keberanian dan harapan.
Wira Kusuma mewakili semangat itu. Ia bukan tokoh besar yang tercatat di buku sejarah, tapi keberaniannya mengabdi dengan tulus memberi arti pada perjuangan. Lewat dirinya, pembaca diajak merenung bahwa pahlawan sejati tidak selalu mereka yang duduk di singgasana, tapi juga mereka yang setia di garis depan.
Intrik dan Pengkhianatan
Yang menarik, Sakura Jayakarta tidak menggambarkan perjuangan secara hitam putih. Musuh bukan hanya Belanda, tapi juga para bangsawan yang berebut kuasa. Pangeran Wijayakrama harus berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi Ranamenggala, yang lebih mementingkan ambisi politik daripada nasib rakyat.
Di sinilah letak daya tarik novel ini. Kita jadi paham kalau sejarah itu rumit. Perlawanan tidak selalu lurus, ada tikungan tajam penuh pengkhianatan. Intrik inilah yang membuat cerita terasa hidup, jauh dari kesan “buku pelajaran” yang kaku.
Patriotisme yang Membumi
Meski dipenuhi konflik, satu hal tetap menonjol: semangat kebangsaan. Novel ini menegaskan bahwa cinta tanah air bisa lahir dari orang-orang sederhana. Kesetiaan Wira Kusuma, keberanian rakyat kecil Jayakarta, dan tekad melawan penjajahan, semuanya menjadi energi yang menjaga bangsa tetap berdiri.
Uniknya, pesan patriotisme ini tidak disampaikan dengan cara menggurui. Justru lewat kisah sehari-hari, dialog, dan penggambaran tokoh, kita bisa merasakan bagaimana nasionalisme itu tumbuh secara alami.
Belajar Sejarah dengan Cara yang Menyenangkan
Bagi yang biasanya malas membaca sejarah karena penuh angka dan nama tokoh, buku novel ini bisa jadi jembatan yang menyenangkan. Fakta sejarah bercampur dengan fiksi sehingga terasa dekat. Kita seolah ikut menyusuri jalanan Jayakarta, mendengar suara meriam, bahkan merasakan tegangnya perebutan kuasa.
Tidak heran kalau novel ini juga kerap dipakai dalam kajian akademik untuk menanamkan karakter kebangsaan. Tapi bagi pembaca awam sekalipun, Sakura Jayakarta tetap bisa dinikmati sebagai cerita yang seru. Ada aksi, ada drama, ada politik, dan tentu saja ada pesan moral yang relevan.
Mekar yang Tak Pernah Padam
Akhirnya, Sakura Jayakarta bukan sekadar kisah tentang masa lalu. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan akan selalu ada bentuknya, di setiap zaman. Bara penjajahan mungkin sudah padam, tapi bara lain seperti korupsi, perpecahan, dan ketidakadilan masih menyala.
Pertanyaannya, beranikah kita menjadi sakura di masa sekarang? Berani tumbuh meski rapuh, tetap indah meski dikepung api? Novel ini seakan berbisik: jangan takut menjadi kecil, jangan takut cepat gugur. Yang penting adalah keberanian untuk mekar, memberi warna, dan meninggalkan jejak.
Dengan bahasa yang sederhana tapi sarat makna, Sakura Jayakarta menunjukkan bahwa sejarah tidak harus terasa jauh. Ia bisa hadir di ruang baca kita, menyentuh hati, dan mengajarkan bahwa selalu ada bunga yang tumbuh di tengah bara.
Baca Juga
-
Sakura dalam Pelukan: Hangatnya Cinta Ayah yang Jarang Diceritakan
-
Ketika Cinta Menjadi Ujian: Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2
-
Menyingkap Relasi Kuasa dan Luka Batin dalam Novel Broken Angel
-
Between Us: Sebuah Persahabatan yang Terluka oleh Cinta
-
Mahar Jingga: Cinta yang Halal Tapi Tak Selalu Membahagiakan
Artikel Terkait
-
Video Gibran Tak Suka Baca Buku Viral Lagi, Netizen Bandingkan dengan Bung Hatta
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Berapa Harga Buku Gibran The Next President? Viral Lagi Gegara Dinilai Tak Laku
-
Ulasan Novel Mayday, Mayday: Berani untuk Berdiri Setelah Apa yang Terjadi
-
Diadaptasi dari Light Novel, Anime Victoria of Many Faces Kini Diproduksi
Ulasan
-
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa: Membongkar Patriarki dan Kekerasan Simbolik
-
Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus
-
Review Film Maryam: Teror dan Cinta Gaib yang Mengikat Jiwa!
-
Ulasan Novel Mayday, Mayday: Berani untuk Berdiri Setelah Apa yang Terjadi
-
Review Film Red Sonja: Petualangan Savage yang Liar!
Terkini
-
Intip Profil Awkarin, Perjalanan Karier Hingga Pindah Ke Melbourne
-
MAN 1 Yogyakarta Fasilitasi Sosialisasi TKA 2025
-
Suling Bambu Sebagai Ruang Lintas Kalangan
-
3 Film Indonesia yang Tayang Perdana di BIFF 2025: Tembus Panggung Dunia
-
Dito Ariotedjo 'Nyeletuk' soal Ijazah di Depan Roy Suryo, Erick Thohir Cuma Bisa Senyum