Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi sebuah buku (Pexels/Nitin Arya)
Ruslan Abdul Munir

Akhir-akhir ini, ada pemandangan yang menyedihkan, sekaligus ironis. Kita menyaksikan buku-buku disita, diamankan, lalu dijuluki sebagai barang bukti.

Pemandangan ini terasa bagai tamparan keras di tengah upaya kita untuk membangun budaya literasi. Bagaimana bisa sebuah buku, simbol pengetahuan dan jendela dunia, diperlakukan layaknya benda berbahaya? Ini adalah paradoks yang tajam, alat pencerahan justru dicurigai sebagai alat kejahatan.

Ironi ini semakin pahit jika kita melihat kondisi literasi Indonesia saat ini. Data menunjukkan bahwa minat baca kita masih sangat rendah.

Di tengah darurat ini, buku seharusnya menjadi prioritas utama, didistribusikan secara massal, dan dianggap sebagai kebutuhan pokok, bukan sebuah ancaman.

Buku adalah salah satu alat terbaik untuk melawan kebodohan, racun disinformasi, dan sempitnya pandangan. Buku adalah jalan untuk menumbuhkan literasi kritis, empati, dan kemampuan berpikir logis.

Namun, ketika buku dicap sebagai barang bukti, pesan yang sampai kepada masyarakat menjadi sangat ambigu, bahwa membaca buku-buku tertentu bisa membahayakan.

Di negara demokrasi, buku haruslah menjadi benda yang paling bebas. Jika kita ibaratkan, buku adalah pasar ide, tempat di mana gagasan-gagasan bisa bersaing, diuji, dan didiskusikan secara terbuka.

Keberadaan buku yang menantang, provokatif, atau bahkan kontroversial adalah cerminan dari masyarakat yang dewasa, yang percaya bahwa kebenaran akan muncul dari perdebatan yang sehat.

Menyita buku adalah bisa jadi tindakan yang mencederai prinsip ini. Ini adalah bentuk sensor yang halus, yang mengatakan bahwa ada ide-ide tertentu yang tidak boleh dipikirkan atau dibahas.

Dampak dari tindakan ini melampaui sekadar buku-buku yang disita. Bagi para penulis dan penerbit, hal ini mungkin dapat menciptakan iklim ketakutan yang membuat mereka berpikir dua kali untuk menerbitkan karya yang sensitif.

Namun, bagi masyarakat yang cerdas dan kritis, tindakan penyitaan ini justru memicu naluri penasaran. Saat sebuah buku dilarang atau dicap berbahaya oleh pihak berwenang, ia secara paradoks menjadi magnet yang menarik.

Sebuah buku yang tadinya tidak dikenal tiba-tiba dicari dan dibaca karena orang ingin tahu, "Apa yang begitu berbahaya dari buku ini sampai-sampai harus disita?"

Terbukti, banyak sekali masyarakat yang penasaran bahkan fomo untuk membaca buku-buku yang mungkin berisi pemikiran-pemikiran yang dianggap berbahaya bagi segelintir orang.

Hal ini adalah bentuk dan respon positif ketika masyarakat mulai kritis dengan apa yang terjadi, ketika buku dipermasalahkan, menimbulkan berbagai pertanyaan tentang apa yang menjadikan buku tersebut disita.

Namun, satu hal yang sangat penting adalah penyitaan buku tidak akan membuat gagasan di dalamnya hilang, melainkan membuat gagasan tersebut menyebar ke ruang-ruang diskusi, dari forum online hingga obrolan personal bahkan komunitas.

Hal ini adalah sebagai bentuk perlawanan pasif yang menunjukkan bahwa buku tidak akan bisa dibungkam begitu saja. Masyarakat yang cerdas tahu bahwa sebuah ide tidak bisa dilawan dengan kekerasan, melainkan dengan pemahaman.

Buku-buku yang disita itu mungkin akan ditutup dengan label hukum, tapi gagasan di dalamnya tidak akan pernah bisa dimusnahkan. Gagasan hanya bisa dilawan dengan gagasan lain, bukan dengan hukum atau penyitaan.

Jika kita benar-benar ingin mengatasi krisis literasi, kita harus mulai dengan membebaskan buku dari statusnya sebagai barang bukti.

Kita harus meyakini bahwa sebuah masyarakat yang membaca, bahkan buku-buku yang paling menantang sekalipun, akan selalu menjadi benteng demokrasi yang lebih kuat daripada masyarakat yang takut pada buku.