Hernawan | Fauzah Hs
Like a Rolling Stone (2024). (Letterboxd)
Fauzah Hs

Like A Rolling Stone, film terbaru dari sutradara Yin Lichuan ini, terasa sangat jujur tapi juga melelahkan. Mengisahkan seorang perempuan bernama Li Hong (diperankan dengan sangat penuh jiwa oleh Yong Mei) memutuskan, di usianya yang sudah 50 tahun, untuk berhenti menunggu.

Berhenti menunggu kesempatan yang tak kunjung datang, berhenti menunggu pengakuan dari orang lain, dan berhenti menunggu izin untuk hidup. Ia memutuskan mengambil kendali atas hidupnya dengan melakukan perjalanan darat seorang diri, sebuah langkah radikal di tengah norma sosial yang menuntut perempuan untuk selalu ada bagi orang lain.

Film ini terinspirasi dari kisah nyata Su Min, seorang ibu rumah tangga di Tiongkok yang sempat viral karena melakukan road trip keliling negeri setelah merasa terkekang oleh peran domestik dan suaminya yang abusif.

Jadi dari awal, film ini memang sudah punya bobot sosial yang besar. Bukan sekadar tentang perjalanan fisik, tapi perjalanan batin untuk menemukan kembali harga diri dan ruang bernapas.

Yang membuat Like A Rolling Stone terasa hidup adalah cara ia menggambarkan tiap langkah Li Hong dengan detail yang melelahkan tapi nyata.

Ada energi yang terkuras sepanjang menontonnya, seolah-olah kita ikut berada di kursi pengemudi, merasakan letih sekaligus lega di setiap kilometer yang ia tempuh.

Yong Mei, aktris yang sebelumnya dikenal lewat So Long, My Son, benar-benar jadi jantung film ini. Ia berhasil memainkan Li Hong dengan keseimbangan yang sulit, rapuh tapi tegar, capek tapi penuh tekad.

Tidak ada drama berlebihan, tidak ada tangisan histeris untuk memancing simpati. Hanya ekspresi tenang, gestur kecil, dan tatapan kosong yang tiba-tiba berubah jadi determinasi. Dari awal sampai akhir, kita tahu betul bahwa tanpa performa Yong Mei, film ini mungkin akan terasa seperti pamflet sosial yang kaku.

Namun masalahnya, Like A Rolling Stone begitu fokus dengan pesannya, tentang patriarki, tentang beban domestik perempuan, tentang bagaimana masyarakat kerap menormalisasi ketidakadilan, hingga nyaris semua adegan terasa diarahkan untuk mengulang hal itu lagi dan lagi.

Setiap dialog, setiap konflik, setiap kilas balik, semuanya seolah-olah ada untuk menegaskan satu poin besar. Dan meskipun pesan itu penting, terlebih di Tiongkok, di mana narasi feminis sering ditekan, lama-lama film ini terasa terlalu mono-thematic. Tidak ada ruang untuk ambiguitas atau nuansa, penonton digiring lurus pada kesimpulan yang sudah jelas dari awal.

Ambil contoh karakter Sun Dayong, suami Li Hong. Karakternya ditulis benar-benar menjengkelkan, sampai-sampai setiap kali ia berbicara rasanya ingin spontan berkata, “udah bacot deh.”

Memang ini efektif untuk membangun konflik, tapi juga terlalu tipikal, suami abusif, kasar, dan tidak ada sisi lain yang bisa membuatnya sedikit lebih kompleks.

Salah satu dialog yang paling menohok muncul ketika Li Hong berkata, “Kamu memujiku sebagai ibu dan wanita yang hebat hanya agar aku merasa bersalah, bukan?”

Kalimat ini seperti tamparan dingin, bukan hanya untuk karakter di layar, tapi juga untuk penonton yang mungkin pernah ikut mendewakan sosok ibu hanya supaya mereka tetap rela berkorban tanpa henti.

Film ini berhasil menggali rasa sakit itu, betapa pedihnya saat keberadaan seseorang hanya dianggap lewat peran, bukan sebagai manusia yang utuh.

Secara musikal, scoring dalam film ini relatif minim tapi efektif. Musik hadir sebagai penguat momen, bukan pengendali emosi. Dan itu penting, karena kalau musik terlalu dominan, film ini bisa terjebak jadi melodrama.

Lalu, apakah film ini sukses? Jawabannya, ya dan tidak. Sukses karena ia dengan berani mengangkat kisah yang jarang sekali mendapat ruang di layar lebar Tiongkok. Sukses karena penampilan Yong Mei benar-benar otentik. Tapi juga kurang karena ia sering kali terlalu obsesif dengan pesan, sampai tidak memberi ruang bagi penonton untuk bernapas, merenung, atau bahkan menafsirkan dengan cara mereka sendiri.

Kesimpulannya, Like A Rolling Stone adalah film yang penting untuk ditonton, meski mungkin tidak selalu menyenangkan. Ia bisa terasa berat, bahkan menguras energi, tapi bukankah hidup banyak perempuan memang seperti itu? Melelahkan, penuh pengorbanan, tapi masih ada secercah harapan jika mereka berani berkata, “Cukup, sekarang giliranku untuk hidup.”

Dan meski cerita ini berakar dari Tiongkok, resonansinya jelas terasa sampai ke sini, ke Indonesia. Banyak perempuan di sekitar kita yang hidupnya kerap dikorbankan untuk orang lain, lalu dianggap kodrat semata.

Beban ganda, ekspektasi sebagai “istri baik” atau “ibu sempurna,” sampai stigma kalau perempuan memilih dirinya sendiri berarti egois, semua itu masih sering terdengar di obrolan sehari-hari.

Karena itu, Like A Rolling Stone bukan cuma tentang Li Hong, tapi tentang ribuan Li Hong lain yang ada di dekat kita. Pertanyaannya, berapa banyak dari mereka yang akhirnya berani bilang, “aku juga ingin hidup untuk diriku sendiri?”

Film ini bukan tontonan ringan untuk akhir pekan. Tapi kalau kamu siap diajak berpikir, marah, dan mungkin menangis pelan, Like A Rolling Stone akan meninggalkan bekas yang lama di kepala.

Film ini adalah sebuah pengingat bahwa kadang keputusan paling berani bukanlah meninggalkan orang lain, tapi akhirnya memilih diri sendiri.