Dalam lanskap sinema horor Indonesia yang semakin ramai, Perempuan Pembawa Sial muncul dengan aroma mistis Jawa kuno ke layar lebar. Disutradarai oleh Fajar Nugros, film ini diproduksi oleh IDN Pictures dan dijadwalkan tayang perdana di bioskop Indonesia mulai tanggal 18 September 2025.
Sebelumnya, film berdurasi 97 menit ini telah mencuri perhatian saat diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024, meraih penghargaan Best Editing berkat pemotongan yang presisi dan membangun ketegangan secara bertahap.
Film ini merangkai horor dengan elemen romansa yang tragis, dendam keluarga, dan kritik sosial terhadap stigma perempuan, terinspirasi dari mitos Bahu Laweyan sebuah legenda Jawa yang menggambarkan, apabila wanita yang lahir dan memiliki tanda lahir di bahu kiri konon dijuluki sebagai si pembawa sial bagi pria yang mendekati dan menikahinya.
Cerita film ini berpusat pada Mirah (diperankan apik oleh Raihaanun), seorang wanita muda yang hidup dalam bayang-bayang kutukan kelam.
Sejak kecil, Mirah dikucilkan oleh masyarakat desanya karena setiap pria yang jatuh cinta padanya mulai dari tunangan hingga menjadi suami selalu berakhir tragis: entah itu kecelakaan mengerikan, meninggal karena sakit mendadak, atau kematian yang misterius.
Kutukan ini bukanlah kebetulan; berakar dari dendam masa lalu, di mana adik tiri Mirah, Puti (Clara Bernadeth), melontarkan mantra jahat yang mengikat nasib Mirah dengan kematian pria yang menjadi suaminya.
Mirah, yang seharusnya menikmati kebahagiaan cinta, justru menjadi simbol sial: warga meludah saat melihatnya, mengusirnya dari desa, dan menjulukinya "perempuan pembawa sial".
Cerita semakin rumit ketika Mirah bertemu dengan seorang pria bernama Bana (Morgan Oey), yang tampaknya tak gentar menghadapi kutukan tersebut.
Namun, di balik romansa yang menyentuh, tersembunyi rahasia keluarga yang melibatkan ibu tirinya dan ritual gaib, mengubah narasi menjadi perpaduan antara dongeng Bawang Merah Bawang Putih versi gelap dan horor supernatural.
Review Film Perempuan Pembawa Sial
Pemeran utama yang menjadi tulang punggung film ini adalah Raihaanun sebagai Mirah menghadirkan performa yang rapuh tapi kuat; matanya yang penuh luka menyampaikan pergulatan batin tanpa kata-kata berlebih, membuat aku dan penonton yang lain ikut merasakan isolasinya.
Clara Bernadeth sebagai Puti membawa nuansa antagonis yang ambigu dendamnya lahir dari iri hati keluarga, tapi ada momen di mana ia tampak seperti korban juga.
Morgan Oey, sebagai Bana yang berani menantang kutukan, menawarkan chemistry romantis yang menyayat, meski karakternya agak klise sih sebagai "pahlawan penyelamat".
Sorotan khusus untuk Didik Nini Thowok sebagai dukun gaib; maestro tari ini membawakan mantra magis terinspirasi tembang Asmaradana dengan energi yang keramat, menambahkan dimensi budaya yang autentik dan membuat ritual terasa lebih hidup.
Rukman Rosadi sebagai figur ayah memberikan sentuhan emosional yang mendalam, sementara pemeran pendukung seperti ibu tiri menambah lapisan konflik pada keluarga.
Fajar Nugros, yang dikenal lewat karyanya seperti Inang (2022), kali ini ia menunjukkan kedalaman risetnya dengan menggali mitos Bahu Laweyan secara mendalam, termasuk simbolisme seperti tanda lahir seukuran koin di bahu yang diasosiasikan dengan makhluk halus. Naskah ini ditulis bersama oleh Husein M. Atmodjo, Janice Angelica dan Fajar Nugros sendiri.
Membangun atmosfer mistis melalui dialog berbahasa Jawa halus dan elemen visual seperti bayangan panjang di sawah malam hari atau ritual dukun yang autentik. Adegan pembuka langsung menggebrak dengan jumpscare kreatif sebuah mayat tiba-tiba muncul di depan Mirah yang membuat aku terpaku sejak menit pertama.
Akan tetapi, kekuatan sejati film ini ada pada lapisan emosional: bukan hantu yang menakutkan, melainkan trauma Mirah yang lahir dari diskriminasi sosial.
Film ini mengajak kita merenungkan bagaimana label "pembawa sial" sering dilekatkan pada perempuan yang dianggap "bermasalah", mencerminkan isu gender kontemporer di balik nuansa kuno.
Secara teknis, Perempuan Pembawa Sial unggul dalam sinematografi yang gelap dan kontrasnya yang tinggi, menangkap esensi Yogyakarta yang angker lokasi syuting di tempat-tempat berhantu seperti makam kuno juga menambah realisme.
Scoring musik oleh komposer lokal memadukan gamelan dengan suara desisan angin, menciptakan ketegangan yang merayap pelan. Editing yang tajam memastikan ritme tidak pernah kendur, meski durasi agak pendek membuat beberapa subplot terasa tergesa-gesa.
Tentu saja, film ini tak luput dari kekurangan. Menurutku masalah ada di plot hole naskahnya, seperti asal-usul kutukan yang terlalu bergantung pada flashback tanpa penjelasan cukup, membuat akhir cerita terasa ambigu. Bisa dibilang aku sedikit kecewa sih karena twist endingnya lebih filosofis daripada memberikan resolusi yang jelas.
Jumpscare yang intens di awal memang efektif, tapi menjelang klimaks, ketergantungan pada gore terasa berulang, jadi mengurangi kedalaman mistisnya. Meski begitu, ini bukan kelemahan yang fatal kok, justru membuat film terasa lebih manusiawi, seperti kutukan yang tak sempurna.
Kesimpulanku, Perempuan Pembawa Sial adalah bukti bahwa horor Indonesia bisa lebih dari sekadar teror semalam; ia adalah perayaan budaya Jawa yang sarat makna, menggabungkan cinta, dendam, dan penebusan dosa.
Dengan rating 7/10 dariku film ini wajib ditonton sih bagi penggemar genre yang haus akan narasi yang berlapis. Ini mengingatkan kita bahwa sial terbesar bukan dari mitos kuno, melainkan dari prasangka manusia yang tak pernah pudar.
Jangan lewatkan di bioskop kesayanganmu ya! siapkan jantung untuk getaran yang tak hanya fisik, tapi juga jiwa.
Baca Juga
-
Review Film A Big Bold Beautiful Journey: Kisah Cinta yang Melintasi Waktu!
-
Esensi Permainan Futsal: Adrenalin, Tawa, dan Solidaritas
-
Review Film Afterburn: Petualangan Epik di Dunia yang Rusak!
-
Review Film Jadi Tuh Barang: Komedi Kocak yang Menyentuh Hati Para Perantau
-
Review Film Maryam: Teror dan Cinta Gaib yang Mengikat Jiwa!
Artikel Terkait
-
Terjebak di Warung Pocong, Shareefa Daanish dan Arla Ailani Ungkap Rahasia Sukses Tanpa Tumbal
-
Review Film A Big Bold Beautiful Journey: Kisah Cinta yang Melintasi Waktu!
-
Didik Nini Thowok Curi Perhatian di Film Perempuan Pembawa Sial: Dari Penjaga Tradisi Hingga Teror
-
Raup Rp 3,9 Triliun, Film Horor Weapons Kini Hadir di OTT
-
Pesugihan Sate Gagak, Horor Komedi di Luar Nalar yang Bikin Penasaran
Ulasan
-
Novel Kenangan Kematian (Sparkling Cyanide), Misteri Dua Pembunuhan Beracun
-
Review Film A Big Bold Beautiful Journey: Kisah Cinta yang Melintasi Waktu!
-
Ulasan Buku Kepada yang Patah: Pulih terhadap Luka yang Ditinggalkan
-
Like A Rolling Stone (2024): Sebuah Refleksi untuk Kaum Perempuan
-
Apakah Sahabat Bisa Jadi Cinta? Jawaban Umi Astuti dalam To Be Loved Up
Terkini
-
Balik ke Masa Lalu di Pasar Kangen Jogja 2025, Nostalgia yang Lebih dari Sekadar Jajanan!
-
PDIP Bongkar Strategi Jokowi: Komando 2 Periode Prabowo-Gibran untuk Lindungi Diri dari Badai Hukum?
-
Sanly Liu Tampil Memukau, Raih Gelar Sebagai Miss Universe Indonesia 2025
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Ronde Keempat Babak Kualifikasi dan Jaminan Ketangguhan Pertahanan Terakhir dari Emil Audero