The Carpenter's Son adalah sebuah karya ambisius yang memadukan genre horor supernatural dengan narasi religius yang mendalam, disutradarai oleh Lotfy Nathan dengan produksi yang dipimpin Nicolas Cage sendiri.
Film ini, yang terinspirasi dari teks apokrif Infancy Gospel of Thomas, mengeksplorasi sisi gelap masa kanak-kanak Yesus Kristus melalui lensa thriller psikologis. Berlatar di Mesir era Romawi Kuno sekitar tahun AD 15, cerita ini bukan sekadar retelling kisah Alkitabiah, melainkan reinterpretasi berani yang menggali konflik batin keluarga suci di tengah ancaman spiritual yang mencekam.
Dengan durasi 94 menit, film ini tayang perdana di Festival Film Sundance sebelum dirilis secara luas, dan di Indonesia, The Carpenter's Son sudah mulai diputar di bioskop seluruh negeri sejak 10 Desember 2025. Hingga saat ini, penonton Indonesia menyambutnya dengan antusias, terutama bagi penggemar horor kontemplatif seperti The Witch atau Hereditary.
Keluarga Suci dalam Bayang Kegelapan Supernatural
Sinopsis film ini berpusat pada keluarga kecil yang hidup nomaden: Yusuf (Nicolas Cage), seorang tukang kayu saleh yang memikul beban ilahi; Maria (FKA Twigs), istri yang tegar sebagai pilar emosional; dan putra remaja mereka, Yesus (Noah Jupe), yang mulai menampakkan kekuatan aneh yang menimbulkan ketakutan di sekitarnya.
Mereka bersembunyi di sebuah desa terpencil di Mesir untuk menghindari penganiayaan Romawi, tetapi kedatangan seorang anak misterius—seorang gadis bernama yang membawa aura kegelapan—mengguncang keseimbangan rapuh itu.
Tanpa spoiler, plot berkembang dari ketegangan sehari-hari menjadi pertarungan epik antara iman, keraguan, dan godaan iblis, di mana penglihatan profetik Yesus bertabrakan dengan realitas kejam dunia kuno.
Nathan dengan cerdik membangun narasi melalui perspektif orang tua, menjadikan Yusuf sebagai pusat konflik moral: apakah ia melindungi anaknya dari dunia, atau justru dari dirinya sendiri?
Alur cerita The Carpenter's Son adalah kekuatannya utama, meski juga menjadi sumber kontroversi. Nathan menghindari lompatan waktu dramatis, memilih ritme lambat yang mirip puisi visual untuk membangun atmosfer.
Adegan pembuka, dengan lanskap gurun Mesir yang kering dan angin menderu, langsung menanamkan rasa isolasi yang menyesakkan. Konflik eskalasi secara bertahap: dari bisikan malam hari hingga manifestasi supernatural yang terasa organik, bukan bergantung pada jump scare murahan.
Twist di paruh kedua, yang mengungkap identitas si anak misterius, adalah puncak emosional yang brilian, memaksa penonton mempertanyakan batas antara kebaikan dan kejahatan. Namun, bagi sebagian audiens, kecepatan narasi ini terasa terlalu kontemplatif—seperti doa panjang yang kadang kehilangan momentum.
Pendalaman tema religius juga berani: film ini tidak memuja, melainkan memanusiakan tokoh-tokoh suci, menunjukkan bagaimana iman bisa retak di bawah tekanan ketakutan manusiawi, kalau menurutku pribadi ini bukan film evangelisasi, tapi kritik halus terhadap bagaimana agama bertemu horor eksistensial.
Review Film The Carpenter's Son
Nicolas Cage, yang juga berperan sebagai produser, memberikan penampilan karier terbaiknya. Sebagai Yusuf, ia bukan lagi aktor eksentrik biasa, melainkan pria biasa yang hancur oleh tanggung jawab ilahi—ekspresi keraguannya, dari tatapan lelah hingga ledakan amarah terkendali, terasa autentik dan mengharukan.
FKA Twigs, dalam debut layar lebarnya, memukau sebagai Maria: suaranya yang lembut kontras dengan keteguhan batinnya, menciptakan dinamika ibu yang relatable di tengah kekacauan spiritual. Noah Jupe, sebagai Yesus remaja, menghadirkan kerentanan yang langka—bukan mesias sempurna, tapi anak laki-laki yang bingung dengan kekuatannya sendiri, mirip penampilanannya di A Quiet Place.
Isla Johnston sebagai si anak misterius mencuri perhatian dengan intensitas diamnya, tatapan "seribu mil" yang mengganggu, sementara Souheila Yacoub sebagai Lilith menambah lapisan mitologi yang kaya. Ensemble ini solid, meski dialog minim membuat beberapa interaksi terasa kurang dieksplorasi.
Secara teknis, film ini unggul dalam aspek visual dan audio. Sinematografi Simon Beaufils, menggunakan film 35mm yang difilmkan sepenuhnya di Yunani (Kreta dan Attica), menghasilkan tekstur kasar yang autentik—bayangan panjang di reruntuhan kuno, cahaya matahari terbenam yang berdarah, dan close-up wajah yang penuh keringat menciptakan rasa claustrophobia meski di ruang terbuka.
Desain produksi Jean-Vincent Puzos menghidupkan era Romawi dengan detail naturalistik: kostum dari kain mentah, set desa primitif, bahkan koloni kusta yang mengerikan. Musik Lorenz Dangel, dengan nada Gregorian yang bergema dan suara angin gurun yang amplified, memperkuat elemen horor tanpa overkill.
Efek khusus minim, mengandalkan praktikal seperti riasan luka dan ilusi optik, yang membuat teror terasa lebih intim dan kredibel. Syuting dilaporkan penuh "kutukan Mesir modern"—badai, banjir, serangan serangga—yang ironisnya menambah aura mistis produksi.
Tema utama film ini adalah dualitas: cahaya vs kegelapan, iman vs keraguan, dan bagaimana keluarga menjadi medan perang spiritual. Nathan, yang dibesarkan dalam tradisi Ortodoks Koptik, menggunakan horor sebagai metafor untuk "era sebelum akal," di mana manusia bergulat dengan yang tak terlihat.
Ini bukan anti-religius, tapi undangan untuk merefleksikan penebusan melalui konfrontasi kejahatan. Kekuatan film terletak pada keberaniannya mengisi celah sejarah suci dengan fiksi gelap, membuat penonton merinding bukan hanya dari hantu, tapi dari kemanusiaan tokohnya.
Kelemahannya? Beberapa plot thread, seperti latar belakang Romawi, terasa underutilized, dan akhir yang ambigu mungkin frustrasi bagi yang suka resolusi rapi. Secara keseluruhan, The Carpenter's Son adalah horor spiritual yang langka—mencekam, provokatif, dan penuh makna.
Rating pribadi dariku 8.5/10. Sangat aku rekomendasikan untuk penggemar horor psikologis dan cerita Alkitab alternatif. Di Indonesia, tontonlah segera di bioskop seperti CGV atau XXI sebelum hype memudar—film ini layak dialami di layar besar untuk merasakan getaran gurunnya yang dingin.
Baca Juga
-
Review Film Wicked: For Good, Penutup Epik yang Bikin Hati Meleleh
-
Review Film Lupa Daratan: Cerminan Gelap Dunia Artis di Indonesia
-
Review Film Mengejar Restu: Perjuangan Cinta di Tengah Tradisi Keluarga
-
Review Film 13 Days, 13 Nights: Ketegangan Evakuasi di Tengah Badai Taliban
-
Review Film Mertua Ngeri Kali: Pelajaran Cinta dari Mertua Gila!
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Wicked: For Good, Penutup Epik yang Bikin Hati Meleleh
-
Review Film Lupa Daratan: Cerminan Gelap Dunia Artis di Indonesia
-
Ulasan Buku 'The Wager', Misteri Lautan Perang Dunia Pertama
-
Review Film Mengejar Restu: Perjuangan Cinta di Tengah Tradisi Keluarga
-
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Satir Pendidikan dan Perjuangan Anak Muda
Terkini
-
Ridwan Kamil Digugat Cerai, Lisa Mariana Beri Dukungan pada Atalia Praratya
-
Ungkap Tanggal Rilis, EXO Siap Buka Tahun 2026 Lewat Album Baru REVERXE
-
Jang Nara Debut Jadi Villain di Taxi Driver 3, Angkat Sisi Gelap K-Pop
-
Sinopsis Sengkolo: Petaka Satu Suro, Teror Malam Keramat di Desa Pesisir
-
CERPEN: Kabur dari Pasukan Berkuda