Lintang Siltya Utami | aisyah khurin
Buku Kita dan Mereka (goodreads.com)
aisyah khurin

Agustinus Wibowo dikenal luas sebagai narator perjalanan yang melampaui sekadar deskripsi fisik tempat-tempat eksotis. Setelah sukses dengan Garis Batas dan Titik Nol, ia kembali dengan sebuah karya yang jauh lebih ambisius dan filosofis berjudul Kita dan Mereka.

Buku ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan sebuah otopsi mendalam terhadap konsep identitas yang sering kali menjadi akar kedamaian sekaligus sumber pertumpahan darah paling mengerikan dalam sejarah peradaban.

Premis utama buku ini berangkat dari pertanyaan sederhana namun menghujam, mengapa manusia selalu merasa perlu membagi dunia menjadi dua kubu, yaitu "Kita" dan "Mereka"? Agustinus menelusuri bagaimana identitas, baik itu berdasarkan agama, bangsa, etnis, maupun ideologi terbentuk. Ia berargumen bahwa identitas bukanlah sesuatu yang turun dari langit secara absolut, melainkan sebuah konstruksi sosial yang cair dan sering kali sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu.

Melalui narasi yang personal, Agustinus merefleksikan identitasnya sendiri sebagai seorang Tionghoa-Indonesia yang pernah tinggal di berbagai belahan dunia, mulai dari Afghanistan hingga Afrika Selatan. Ia menunjukkan bahwa identitas sering kali menjadi "benteng" yang kita bangun untuk merasa aman. Namun, ironisnya, benteng yang sama jugalah yang mengurung kita dan membuat kita memandang orang di luar benteng tersebut sebagai ancaman atau musuh.

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah kekayaan data lapangan yang dipadukan dengan teori antropologi dan sosiologi. Agustinus mengajak pembaca mengunjungi wilayah-wilayah yang tercabik oleh konflik identitas, seperti perbatasan India-Pakistan, wilayah konflik di Timur Tengah, hingga sisa-sisa apartheid di Afrika Selatan. Di sana, ia tidak hanya mewawancarai para tokoh, tetapi juga mendengarkan suara rakyat jelata yang terjebak dalam narasi besar "Kita vs Mereka".

Ia menggambarkan dengan sangat apik bagaimana narasi nasionalisme atau agama bisa dipelintir sedemikian rupa sehingga tetangga yang telah hidup berdampingan selama puluhan tahun tiba-tiba bisa saling membantai hanya karena perbedaan label.

Penulis menunjukkan bahwa kebencian sering kali lahir dari ketidaktahuan dan indoktrinasi yang sistematis. Dalam bagian ini, buku ini terasa sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana polarisasi identitas sering kali meruncing, terutama di tahun-tahun politik.

Agustinus secara berani membongkar bagaimana negara dan institusi menggunakan mitos untuk memperkuat identitas kolektif. Ia membahas tentang "ingatan kolektif" dan "luka sejarah" yang terus dipelihara agar dendam terhadap pihak "Mereka" tetap hidup. Buku ini menjelaskan bahwa identitas sering kali membutuhkan musuh agar bisa eksis. Tanpa adanya sosok "Mereka" yang dianggap jahat atau inferior, definisi "Kita" yang dianggap mulia dan benar akan runtuh.

Diskusi mengenai paspor, garis perbatasan, dan definisi "tanah air" disajikan dengan perspektif yang provokatif. Bagi Agustinus, perbatasan bukan hanya garis di atas peta, melainkan garis yang tertanam di dalam kepala manusia. Ia menggugat gagasan bahwa satu identitas lebih unggul dari yang lain, dan mengajak pembaca untuk melihat manusia sebagai individu yang multidimensi, bukan sekadar statistik atau label kelompok.

Gaya bahasa Agustinus dalam buku ini sangat matang. Ia mampu menyajikan data sejarah yang berat dan teori-teori sosiologi yang kompleks dengan bahasa yang mengalir dan mudah dipahami. Penggunaan metafora yang kuat, seperti membandingkan identitas dengan pakaian atau topeng membuat konsep-konsep abstrak menjadi sangat membumi.

Yang membuat buku ini istimewa adalah kejujuran penulis dalam mengakui prasangka-prasangka pribadinya. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pengamat yang suci dan bebas dari bias. Sebaliknya, ia membedah bagaimana dirinya sendiri pun sering terjebak dalam kotak-kotak identitas tersebut. Kejujuran intelektual inilah yang membuat pembaca merasa ditemani dalam proses belajar, bukan sedang dikuliahi.

Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh politik identitas, Kita dan Mereka hadir sebagai oase pemikiran. Buku ini sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja: akademisi, aktivis, politisi, hingga masyarakat umum.

Di Indonesia, di mana semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sering kali hanya menjadi slogan di bibir, buku ini memberikan landasan filosofis tentang mengapa menghargai perbedaan adalah sebuah keharusan demi kelangsungan hidup manusia.

Buku ini memberikan peringatan keras bahwa jika kita terus-menerus memuja identitas kelompok secara berlebihan, kita sedang menuju jalan buntu peradaban yang dipenuhi kekerasan. Namun, di saat yang sama, Agustinus memberikan harapan melalui kisah-kisah manusia yang berhasil melampaui batas identitas mereka untuk menolong sesama, membuktikan bahwa kemanusiaan adalah identitas yang paling mendasar.

Sebagai sebuah karya nonfiksi, Kita dan Mereka adalah salah satu buku terbaik yang pernah lahir dari penulis Indonesia. Agustinus Wibowo berhasil mensintesis pengalaman perjalanan fisiknya menjadi perjalanan spiritual dan intelektual yang luar biasa. Ia berhasil membuktikan bahwa perjalanan bukan hanya soal berpindah tempat, tetapi soal mengubah cara pandang.

Identitas Buku

Judul: Kita dan Mereka

Penulis: Agustinus Wibowo

Penerbit: Mizan Publishing

Tnggal Terbit: 1 Februari 2024

Tebal: 667 Halaman

Sumber:

- Kita dan Mereka. 2024. Wibowo Agustinus