Kalau kita ngomongin Film The Long Walk garapan Sutradara Francis Lawrence dengan naskah adaptasi dari JT Mollner, sulit rasanya mengabaikan lapisan politis yang melatari kisahnya.
Film yang tayang di Indonesia sejak 10 September 2025, rupanya diangkat dari novel Stephen King (dengan nama samaran Richard Bachman). Ini bukan tontonan distopia penuh darah semata lho, melainkan semacam alegori getir tentang negara yang tega mengorbankan rakyat (peserta) demi mempertahankan kendali dan demi tontonan yang disebut hiburan.
Sinopsisnya sederhana tapi bikin ngilu lho. Di Amerika (dunia alternatif) tahun 1970-an, pemerintah menggelar kontes tahunan yang disebut The Long Walk. Lima puluh anak laki-laki, masing-masing mewakili negara bagian, dipaksa berjalan tanpa henti di jalan raya.
Aturannya kejam, kecepatan langkah kaki nggak boleh turun di bawah 3 mil per jam. Bila sampai dapat tiga kali peringatan, peringatan berikutnya peluru siap ditembakkan. Pemenangnya? Hanya satu, dan bahkan kemenangan itu terasa lebih mirip hukuman seumur hidup daripada sebuah hadiah.
Di sinilah kita berkenalan dengan Ray Garraty (diperankan Cooper Hoffman) dan Peter McVries (David Jonsson). Ada juga wajah-wajah lain, Gary Barkovitch (Charlie Plummer), si pengacau yang haus kemenangan, serta Hank Olson (Ben Wang) yang kadang jadi penghibur di tengah neraka.
Namun, di balik jalan panjang yang seolah-olah nggak berujung itu, aku melihat sesuatu yang lebih mengerikan daripada darah yang muncrat atau tengkorak yang hancur akibat ditembus peluru.
Review Film The Long Walk
Film ini, bagiku, ibarat potret tentang negara yang memperlakukan warganya layaknya pion sekali pakai. Seperti kata banyak kritikus, Stephen King menulis kisah ini di era bayang-bayang Perang Vietnam, masa ketika anak muda Amerika dikirim ke medan perang hanya karena perintah pemerintah, sementara publik di rumah menonton kehancuran mereka lewat siaran TV.
Nah, Film The Long Walk juga terasa kayak gema yang menyakitkan dari masa itu, semacam metafora tentang draft militer yang nggak bisa ditolak: berjalanlah, atau mati!
Aku suka bagaimana Lawrence nggak terlalu berlebihan menjelaskan dunia politik di balik kontes ini. Dia sebatas menunjukkan absurditasnya.
Misalnya, jalan raya yang panjang, tentara yang tanpa emosi menembak setiap anak yang melambat, dan rakyat (pendukung) yang berdiri di pinggir jalan bersorak-sorai.
Inilah ironi paling pahit: rakyat yang hampa mencari hiburan dalam penderitaan orang lain. Bisa jadi, mereka menyoraki anak-anak yang sekarat, seolah-olah kematian itu adalah sebuah pertandingan olahraga.
Oh iya, Aktor Mark Hamill yang muncul sebagai sang Wali Kota, tokoh otoritas yang memimpin acara ini dengan suara lantang, karikatural, hampir seperti badut. Banyak yang bilang perannya terasa melenceng, tapi bagiku itu menyempurnakan satirnya.
Karena bukankah sering kali mereka yang berkuasa tampil nyaris komikal? Senyum lebar, pidato bombastis, tapi di baliknya mereka adalah dalang penderitaan. Hamill menghadirkan absurditas itu, sebagai wajah negara yang pura-pura ramah, padahal kejamnya nggak bertepi.
Di titik ini, ‘The Long Walk’ nggak lagi sebatas horor survival, tapi komentar sosial yang pedih. Menyingkap bagaimana kekuasaan menciptakan sistem yang membuat rakyat haus tontonan, membuat kematian anak-anak jadi semacam ‘hadiah hiburan’ yang menutupi rasa lapar dan putus asa.
Akhirnya, ketika kita (penonton) menyaksikan satu demi satu peserta tumbang, film ini mengajarkan bahwa kekuasaan bisa menghancurkan tubuh, tapi nggak bisa sepenuhnya memadamkan kemanusiaan.
Ya, itu yang membuat Film The Long Walk terasa relevan. Karena bukankah di dunia nyata, kita juga kerap melihat bagaimana negara atau sistem besar mengorbankan generasi mudanya demi alasan politik, demi ‘stabilitas’, atau sekadar demi hiburan massa?
Mungkin itu yang membuat aku sulit melupakan film ini. Bukan hanya tentang langkah kaki yang dipaksa untuk terus maju, melainkan tentang betapa mudahnya sebuah bangsa menjadikan kematian sebagai tontonan.
Film The Long Walk adalah gambaran paling muram. Terkadang, monster sesungguhnya bukanlah yang berjalan di jalan raya, melainkan yang berdiri di belakang podium, tersenyum sambil memberi perintah.
Sobat Yoursay sudah nonton Film The Long Walk?
Baca Juga
-
Futsal dan Pendidikan: Dari Ekstrakurikuler Jadi Jalan Serius
-
Padel dan Kesehatan Mental Gen Z, Olahraga yang Jadi Ruang Healing
-
Film Pangku dan Arti Rising Star Award yang Diraih Claresta Taufan
-
Futsal: Saat Gen Z Memanfaatkan Teknologi Jadi Pembangkit Ekonomi Kreatif
-
Padel: Olahraga Hits yang Naik Daun di Kalangan Gen Z
Artikel Terkait
-
Geser Sinners, The Conjuring: Last Rites Jadi Film Horor Terlaris Tahun Ini
-
Review Film Detective Conan The Movie: Aksi di Salju yang Bikin Deg-degan!
-
Michelle Ziudith Serasa Dejavu di Film Jangan Panggil Mama Kafir: Aku Pacaran Beda Agama Terus
-
Sinopsis Dia Bukan Ibu, Film yang Mejeng di Festival Film Amerika
-
3 Film Dibintangi Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon, Dopamin yang Terbaru
Ulasan
-
Review Film Detective Conan The Movie: Aksi di Salju yang Bikin Deg-degan!
-
Mengapa Semua Orang Suka Cara Soleh Solihun dalam Mengulas Musik?
-
Es Goyang 'Iki Panggung Sandiwara', Jajanan Jadul Naik Kelas di Pasar Kangen Jogja
-
Review Film Perempuan Pembawa Sial: Kisah Cinta Tragis yang Menyisakan Duka
-
Novel Kenangan Kematian (Sparkling Cyanide), Misteri Dua Pembunuhan Beracun
Terkini
-
Sulit Percaya, Ini Ungkapan Hati Tasya Farasya Sebelum Sidang Cerai Perdana
-
Geser Sinners, The Conjuring: Last Rites Jadi Film Horor Terlaris Tahun Ini
-
Hadiri Sidang Cerai, Tasya Farasya Tenteng Hermes Birkin Rp7,5 Miliar
-
Prabowo Subianto di KTT PBB: Indonesia Hanya Akui Israel Jika Palestina Merdeka
-
Terungkap Alasan Mikrofon Prabowo Mati di Sidang Umum PBB, Bukan Gangguan Teknis?