Tersembunyi dalam gang kecil di Yogyakarta, Buaian Coffee & Service menyambut pengunjung dengan pelukan hangat dari aroma kopi. Sentuhan cahaya hangat yang berpadu dengan alunan musik dari piringan hitam membuai setiap pengunjung dengan kenyamanannya.
Sanggit Gandhang Pradipta (22), Founder/Owner cafe Buaian Coffee & Service, membingkai setiap sudut cafe dengan konsep unik yang memadukan kehangatan rumah dan estetika ala-ala mid-century.
Dari Ruang Kosong Menjadi Ruang Kehangatan
Tak banyak yang tahu, kisah Buaian bermula dari sebuah ruang kosong di samping kamar Sanggit. Dahulu dipakai untuk gamelan, ruangan itu lama terabaikan karena aksesnya yang sempit.
Dari kekosongan itulah ia melihat peluang. Bersama sahabatnya, Badra, ia mulai menata ruang sederhana itu dengan modal terbatas dan peralatan seadanya.
Jauh sebelum itu, sejak masih SMA, keduanya kerap berangan-angan memiliki tempat nongkrong sendiri. Bukan sekadar untuk berkumpul dan bersantai, melainkan wadah yang bisa memberi arti untuk pencapaian kecil yang lahir dari mimpi bersama.
“Dulu udah ada angan-angan punya tempat nongkrong, tapi juga bisa ‘menghasilkan’ buat kita,” kenang Sanggit saat diwawancara Yoursay pada Senin (22/9/2025).
Hasilnya jauh dari kata mewah, namun justru itulah yang membuatnya berkesan: sebuah ruang hangat yang lahir dari kesungguhan dan kerja tangan sendiri.
Kini, Sanggit merangkap banyak peran sekaligus, barista, manajer, hingga mengurus keuangan.
Baginya, perjalanan ini bukan sekadar membuka kafe, melainkan proses belajar. Bukti bahwa dari ruang yang pernah terbengkalai, bisa tercipta rumah kecil yang memberi rasa pulang.
Di Balik 'Buaian'
Kata “buaian” memang identik dengan salah satu judul lagu karangan Danilla. Tetapi Sanggit justru punya alasan lain yang jauh lebih personal.
“Buaian itu rumah pertama bayi,” katanya singkat. Ia memaknai filosofi ini sebagai titik awal perjalanan, seperti bayi yang belajar berjalan.
Buaian adalah bisnis pertamanya yang ia bangun. Dari keterbatasan dana hingga tenaga yang serba rangkap, semua dijalani dengan kesabaran.
Hingga akhirnya, momen pengunjung pertama datang membawa titik balik yang tak terlupakan. Ada yang rela menempuh perjalanan dari Solo, hanya untuk merasakan suasana kafe mungil ini.
“Nggak nyangka ada yang effort sejauh itu,” kenangnya. Dari situlah keyakinan itu tumbuh, Buaian bukan sekadar kafe, melainkan ruang yang menyimpan arti emosional bagi siapa pun yang singgah.
Lebih dari Sekadar Menyeduh Kopi
Sejak awal, Sanggit menaruh perhatian khusus pada pelayanan. Kata service memang lahir spontan, tapi justru menjelma identitas yang tak terpisahkan.
Di Buaian, setiap cangkir diantar dengan hangat, meja selalu dirapikan, dan barista hadir untuk menjelaskan detail menu. “Biar orang nggak tersesat saat pesan,” ujarnya singkat.
Dari perhatian kecil itu, kopi tak lagi sekadar minuman. Ia berubah menjadi pengalaman yang sederhana, personal, dan penuh sentuhan manusia.
Meski kafe di Yogyakarta tumbuh bak jamur dengan ragam konsep, Sanggit tak merasa perlu ikut bersaing. Ia meyakini, pengunjung akan datang secara organik. Kedai lain bukan lawan, melainkan teman seperjalanan.
Bagi Sanggit, fokusnya hanya satu, menjaga Buaian tetap menjadi ruang yang membuat orang betah. Kelak, ia membayangkan tempat ini bukan sekadar kafe, melainkan ruang sosial, tempat diskusi, acara, atau sekadar singgah untuk merasa pulang.
Pada akhirnya, segala perjalanan dan mimpi yang terajut di Buaian bermuara pada satu rasa. Bagi Sanggit, semua detail dari cahaya, musik, hingga secangkir kopi, hanya ingin menghadirkan satu hal sederhana. Dengan lirih ia merangkum, “Warmth.”
Baca Juga
-
Bryan Andrews dan Brad Winderbaum Ungkap Cerita di Balik Marvel Zombies
-
Klaim Akhiri 7 Perang, Donald Trump Sindir PBB Cuma Pandai Menulis Surat
-
Resmi Jadi Ibu Tiga Anak, Rihanna dan A$AP Rocky Sambut Anak Ketiga
-
Top 3 Game Roblox yang Lagi Kuasai Chart, Kamu Sudah Mainin?
-
Terungkap Alasan Mikrofon Prabowo Mati di Sidang Umum PBB, Bukan Gangguan Teknis?
Artikel Terkait
-
Jangan Lewatkan! Pasar Lawas Mataram 2025 Hadir 26 September di Kotagede
-
Menyusuri Jejak Rasa Kuliner Tradisional di Pasar Kangen Jogja 2025
-
Tol Jogja-Bawen Seksi 6 Tembus 75,7 Persen, Siap Rampung Desember 2025
-
PSIM Yogyakarta, Kejutan Awal Musim dan Pertanda Bakal Munculnya Kuda Hitam Kompetisi?
-
Es Goyang 'Iki Panggung Sandiwara', Jajanan Jadul Naik Kelas di Pasar Kangen Jogja
Ulasan
-
Review Film One Battle After Another: Pusaran Dendam yang Nggak Pernah Padam
-
Review Film Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung: Sekuel Kocak yang Bikin Penonton Ngakak!
-
Ulasan Novel Mangsa (Prey), Ancaman Kematian di Belantara Montana
-
Hari Tani Nasional: Ini Sejarah dan Makna yang Perlu Kamu Tahu
-
Review Film The Long Walk: Alegori Negara yang Menumbalkan Rakyat
Terkini
-
Dari Reformasi Sampai Gen Z: Kisah FODIM, Komunitas Kritis yang Tak Lekang Waktu di Atma Jaya
-
Dari Nada ke Warna: Slank Hadirkan Harmoni Alam di Dinding Rumah
-
Menjawab Keraguan Gen X Lewat Saksi Bisu Kebersamaan Tim Futsal
-
Lupakan Turnamen Lain, Ini Ajang Futsal Pelajar Paling Bergengsi For YOU!
-
Futsal dan Perempuan: Antara Hobi, Prestasi, dan Stigma Sosial