Sekar Anindyah Lamase | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Topi Hamdan (Dok. Pribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Ada sesuatu yang hangat tapi juga menyayat dari novel Topi Hamdan karya Auni Fa. Ceritanya sederhana, bahkan terasa seperti potongan kehidupan yang bisa kita temui di mana saja. Tidak ada tokoh besar, tidak ada kisah cinta yang gemerlap. Hanya seorang lelaki bernama Hamdan, dengan hidup yang keras dan sepi, tapi juga penuh makna.

Membaca novel ini rasanya seperti menatap seseorang yang duduk diam di pojok dunia — tidak menuntut apa pun, tapi menyimpan begitu banyak cerita yang ingin disampaikan. Auni Fa menulis dengan nada lembut, seolah sedang bercerita pada pembaca tentang arti bertahan, tentang hidup yang kadang tidak berpihak, dan tentang sisi lembut manusia yang sering tersembunyi di balik luka.

Hidup yang Tak Selalu Adil

Hamdan bukan siapa-siapa. Ia bukan orang berpendidikan tinggi, bukan pula sosok yang punya banyak kesempatan. Ia hanya lelaki kecil yang hidupnya diwarnai kehilangan dan kerja keras. Ibunya pergi sejak ia kecil, meninggalkan kenangan samar dan sepasang mata yang selalu merindukan kasih. Sejak itu, Hamdan tumbuh tanpa banyak bimbingan, tapi dengan tekad yang pelan-pelan ia bentuk sendiri.

Auni Fa menggambarkan kehidupannya tanpa drama berlebihan. Semua terasa nyata — getir tapi jujur. Kadang kita merasa kasihan pada Hamdan, tapi di sisi lain kita juga melihat kekuatannya. Ia tidak banyak bicara, tapi caranya bertahan sudah cukup untuk menunjukkan bahwa hidup yang sederhana pun bisa punya arti besar.

Dongeng Ibu: Cahaya dari Masa Lalu

Yang paling menyentuh dari novel ini adalah kenangan Hamdan tentang ibunya. Ia tidak punya banyak hal untuk diingat, tapi ada satu yang selalu hidup dalam kepalanya: dongeng masa kecil.

Dongeng itu bukan sekadar cerita, tapi cahaya kecil yang menemaninya saat hidup terasa gelap. Di tengah kesendirian, Hamdan sering mengingat suara lembut ibunya yang dulu bercerita sebelum tidur. Dari situlah ia belajar tentang kebaikan, tentang harapan, dan tentang keberanian — hal-hal yang membuatnya bisa terus berdiri ketika segalanya terasa berat.

Auni Fa menulis bagian ini dengan lembut dan penuh rasa. Ia seolah ingin mengingatkan bahwa cinta seorang ibu bisa bertahan bahkan setelah kepergiannya. Bahwa kadang, kenangan sederhana bisa jadi pegangan paling kuat dalam hidup seseorang.

Topi Sebagai Penjaga Diri

Topi dalam novel ini bukan Cuma benda. Ia adalah simbol, semacam perpanjangan dari diri Hamdan. Topi itu adalah peninggalan masa lalu, sesuatu yang mengikat Hamdan dengan kenangan tentang ibunya, juga tentang siapa dirinya sebenarnya.

Setiap kali ia memakai topi itu, ada rasa tenang yang menyelimuti. Seolah topi itu bisa menutupi luka-lukanya, sekaligus mengingatkan bahwa ia masih punya harga diri, walau hidup sering mempermalukannya. Auni Fa berhasil membuat benda kecil ini terasa hidup, seperti teman yang setia menemani hari-hari Hamdan yang berat dan sunyi.

Potret Hidup yang Terlalu Nyata

Yang membuat Topi Hamdan berbeda adalah caranya bercerita. Auni tidak memaksa pembaca untuk bersedih. Ia tidak menjual air mata. Justru karena kesederhanaannya, kisah ini terasa dekat. Kita bisa melihat sosok Hamdan di banyak tempat — di warung, di jalanan, di pasar, di wajah orang-orang yang setiap hari berjuang diam-diam tanpa mengeluh.

Realitas sosial dalam buku ini tidak digambarkan dengan nada marah. Auni justru menghadirkannya dengan empati. Ia tidak menghakimi siapa pun, tapi memperlihatkan bahwa di dunia yang sibuk dan penuh prasangka, masih ada orang-orang kecil yang terus berusaha hidup dengan cara yang baik.

Kita diajak melihat bahwa jadi manusia itu tidak mudah, tapi juga tidak seburuk yang kita kira. Selama masih ada kasih, masih ada kenangan, dan masih ada keberanian untuk bertahan, maka hidup selalu punya alasan untuk dijalani.

Kekuatan untuk Tetap Bertahan

Hal yang paling berharga dari Hamdan adalah kemampuannya untuk tetap kuat tanpa kehilangan hati. Ia tidak melawan dengan teriakan, tidak juga menuntut belas kasihan. Ia hanya berjalan pelan, menjalani hidup sebaik yang ia bisa. Dalam diamnya, ia sedang melawan dunia yang keras dengan cara paling lembut.

Auni Fa seperti ingin bilang bahwa kekuatan tidak selalu datang dari kemenangan besar. Kadang, kekuatan justru lahir dari keberanian kecil: dari kesetiaan pada nilai, dari kejujuran, dari kasih yang tidak pernah padam. Hamdan memang bukan pahlawan, tapi ia mengajarkan cara menjadi manusia — apa adanya, tapi tetap punya hati.

Penutup: Dari Luka, Kita Belajar Manusia

Topi Hamdan bukan Cuma cerita tentang lelaki dan topinya. Ia adalah kisah tentang hidup, tentang luka, dan tentang bagaimana manusia bisa bertahan dengan sisa-sisa kasih yang masih tersisa.

Auni Fa menulis dengan nada yang pelan tapi mengena. Ia mengingatkan kita bahwa tidak semua orang lahir untuk menang, tapi semua orang berhak dihargai. Bahwa menjadi kecil tidak berarti tidak berarti. Dan bahwa setiap orang, sekecil apa pun perannya, punya kisah yang patut didengar.

Dari topi yang sederhana itu, kita belajar untuk menunduk bukan karena kalah, tapi karena mengerti — bahwa hidup selalu punya cara sendiri untuk menguji, dan manusia sejati adalah mereka yang tetap lembut, bahkan ketika dunia tidak bersahabat.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS