Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film Shelby Oaks (IMDb)
Ryan Farizzal

Dalam gelombang film horor kontemporer yang semakin bergantung pada formula found footage dan mockumentary, Shelby Oaks muncul sebagai debut ambisius dari Chris Stuckmann, YouTuber ulung yang kini melangkah ke kursi sutradara.

Film ini, yang diproduksi dengan dana Kickstarter dan didistribusikan oleh Neon, rilis perdana di Amerika Serikat pada 24 Oktober 2025.

Bagi penggemar horor yang haus akan misteri supernatural, Shelby Oaks menawarkan janji gelap tentang obsesi, hilangnya orang tercinta, dan bayangan masa kecil yang tak pernah pudar.

Namun, apakah film ini berhasil mewujudkan potensinya, atau justru terjebak dalam labirin klise genre? Yuk, langsung aja simak ulasannya

Chris Stuckmann, yang dikenal lewat channel YouTube-nya dengan jutaan subscriber, membawa pengalaman mendalam dalam menganalisis horor ke balik layar.

Shelby Oaks adalah proyek pribadinya, terinspirasi dari ketakutan masa kecil dan budaya internet yang obsesif terhadap konten paranormal.

Film ini berdurasi 99 menit, dengan rating R di AS untuk konten kekerasan, bahasa kasar, dan elemen horor intens. Stuckmann juga menulis skenario, menjadikan ini sebagai karya otobiografis yang menyentuh tema pencarian identitas di era digital.

Pemeran utama Sarah Durn memerankan Mia, seorang wanita yang terobsesi mencari adik perempuannya yang hilang, Riley, seorang YouTuber paranormal yang terkenal dengan channel "The Paranormal Paranoids".

Durn, yang baru naik daun lewat peran pendukung di serial indie, membawa intensitas emosional yang meyakinkan, meski kadang terasa terlalu bergantung pada ekspresi wajah daripada kedalaman karakter.

Pendukungnya tak kalah solid: Mason Heidger sebagai rekan investigasi Mia, Camille Sullivan sebagai figur misterius dari masa lalu, serta veteran seperti Keith David dan Michael Beach yang menambahkan bobot naratif melalui peran cameo yang singkat tapi berkesan.

Robin Bartlett, dikenal dari National Treasure, juga muncul sebagai elemen antagonis yang menyeramkan.

Di belakang layar, Stuckmann dibantu produser eksekutif Mike Flanagan—raja horor modern di balik The Haunting of Hill House dan Midnight Mass yang memberikan sentuhan polesan profesional.

Sinematografi oleh Andrew J. Whittaker menonjol dengan permainan cahaya redup dan sudut kamera yang meniru gaya dokumenter, sementara skor musik oleh Tim Wynn menciptakan ketegangan subtil yang mengingatkan pada Hereditary.

Produksi ini dimulai dari dana crowdfunding lebih dari $100.000, membuktikan kekuatan komunitas fan Stuckmann dalam mewujudkan mimpi.

Sinopsis: Obsesi Digital yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk Supernatural

Salah satu adegan di film Shelby Oaks (IMDb)

Tanpa spoiler, Shelby Oaks mengisahkan Mia yang menyelami rekaman lama channel YouTube adiknya, di mana Riley dan timnya mengeksplorasi lokasi angker seperti taman hiburan terbengkalai Shelby Oaks.

Apa yang dimulai sebagai pencarian sederhana berubah menjadi obsesi saat Mia menemukan petunjuk bahwa "setan imajiner" dari masa kecil mereka—sebuah entitas bernama "The Man in the Woods"—mungkin nyata.

Film ini bermain dengan lapisan narasi: potongan found footage dari video Riley, wawancara mockumentary, dan adegan teatrikal konvensional yang mengikuti perjalanan Mia saat ini.

Pendekatan hybrid ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan. Stuckmann berhasil menciptakan rasa autentisitas, membuatku merasa seperti sedang menonton vlog YouTube yang berubah menjadi mimpi buruk.

Elemen seperti crone penyihir dan incubus potensial menambahkan nuansa folk horror yang segar, mirip The Witch atau Midsommar. Namun, transisi antar gaya sering terasa janggal, seolah film ini berusaha terlalu banyak sekaligus.

Review Film Shelby Oaks

Salah satu adegan di film Shelby Oaks (IMDb)

Ulasanku terhadap film Shelby Oaks terasa campur aduk. Aku melihatnya sebagai daftar klise yang terlalu mengandalkan trik horor konvensional, walaupun segmen dokumenter di awal cukup menjanjikan.

Secara jujur, film ini terasa kurang orisinal jika dibandingkan dengan The Blair Witch Project atau Paranormal Activity, meski menyuguhkan beberapa momen mencekam yang cukup berhasil—sayangnya, tak ada jumpscare yang benar-benar mengena, sehingga memperlihatkan narasi yang campur aduk dan kurang rapi.

Di sisi lain, Stuckmann menunjukkan debut yang menjanjikan namun penuh kekurangan, dengan penampilan Durn menjadi penyelamat dari kekosongan emosi cerita. Meski begitu, ini cukup solid untuk sutradara pemula, tapi ritme cerita tak konsisten dan pengembangan karakternya masih dangkal.

Bagi pencinta horor Tanah Air, kabar baik: Shelby Oaks akan tayang di bioskop Indonesia mulai 29 Oktober 2025, didistribusikan oleh Feat Pictures yang baru saja mengakuisisi haknya.

Rating usia 17+ di Indonesia sesuai dengan elemen gelapnya. Jadwal ini pas untuk musim Halloween, dan trailer kedua yang rilis September lalu sudah viral di YouTube dengan jutaan views, menjanjikan death and rot di Shelby Oaks. Pastikan cek jadwal di CGV, XXI, atau bioskop lokal untuk sesi malam yang intens.

Shelby Oaks adalah debut yang layak diacungi jempol untuk Chris Stuckmann—bukti bahwa passion bisa lahirkan karya layar lebar. Meski terhambat pacing lambat dan ketergantungan klise, film ini unggul dalam membangun ketegangan emosional dan homage budaya internet horor. Kalau kamu suka Unfriended atau Host, ini tiket masuk yang menyenangkan.

Untuk Indonesia, tayang mulai 29 Oktober 2025 adalah kesempatan sempurna merayakan All Hallows' Eve. Siapkah kamu tersesat di hutan bayangan?