Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas karya Jombang Santani Khairen menghadirkan potret satir sekaligus reflektif tentang dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Berlatar di Kampus UDEL (Universitas Daulat Eka Laksana) sebuah kampus yang bahkan tak terdeteksi Google. Pembaca diajak mengikuti kisah tujuh mahasiswa “buangan” yang terjebak dalam sistem pendidikan yang serba tanggung: hidup segan, kuliah tak mau.
Masuknya mereka ke UDEL bukan karena prestasi gemilang. Ada yang tak mampu menembus perguruan tinggi negeri, ada yang terbentur biaya untuk kampus swasta unggulan, dan ada pula yang kuliah sekadar agar “tetap kuliah”. Premis ini terasa dekat dengan realitas sosial, di mana ijazah kerap menjadi syarat administratif, bukan lagi simbol proses intelektual.
Identitas Buku
- Penulis: J. S. Khairen (Jombang Santani Khairen).
- Penerbit: Grasindo
- Tahun Terbit: 2024
- Jumlah Halaman: 400 halaman
- ISBN: 9786020530703
Kejutan terjadi sejak hari pertama kuliah. Ibu Lira Estrini, dosen konseling muda, membuka perkuliahan dengan cara tak lazim: sekotak piza dan koper berisi tikus.
Adegan absurd ini bukan sekadar humor, melainkan pemantik konflik sekaligus simbol bahwa proses belajar tidak selalu rapi dan nyaman.
Aneh tapi efektif, para mahasiswa yang sebelumnya apatis justru mulai berani bermimpi. Di sosok Bu Lira ini juga bisa dibilang merupakan akademisi yang amat dibutuhkan untuk menjadi para pendidik di negeri ini. Energik, kreatif, dan cerdas.
Lebih dari Sekadar Ijazah: Membaca Ulang Makna Kuliah dalam Kami (Bukan) Sarjana Kertas
Cerita berpusat pada Ogi dan Ranjau, dua sahabat yang berjuang bersama hingga masuk perguruan tinggi. Seiring berjalannya cerita, tokoh-tokoh lain diperkenalkan dan saling memengaruhi. Dari sinilah tema persahabatan menjadi tulang punggung novel. Relasi antartokoh dibangun sebagai jaringan emosi dan pengalaman yang saling terkait, bukan berdiri sendiri.
Tema perjuangan juga mengalir kuat. Masing-masing tokoh memiliki latar belakang berbeda, namun diikat oleh satu benang merah: mereka berusaha bertahan di posisi yang tidak ideal.
Pembaca diajak mengenal kampung halaman, keluarga, dan beban hidup tiap karakter. Pendekatan ini membuat kisah terasa personal dan membumi, khususnya bagi pembaca yang pernah atau sedang menjadi mahasiswa.
Ijazah atau Proses? Pertanyaan yang Diajukan Kami (Bukan) Sarjana Kertas
Secara pesan moral, novel ini relevan bagi pelajar SMA yang hendak masuk perguruan tinggi, mahasiswa tingkat awal, bahkan orang tua dan pengambil kebijakan pendidikan.
Buku ini mempertanyakan makna ijazah: apakah ia tujuan akhir, atau hanya alat? Apakah menjadi sarjana cukup berhenti pada kertas, atau harus berlanjut pada kualitas manusia?
Namun, novel ini tidak lepas dari catatan kritis. Alur cerita yang relatif mudah ditebak membuat sebagian pembaca mungkin kehilangan ketegangan. Dengan jumlah tokoh yang banyak, fokus cerita terasa menyebar.
Penulis tampak berusaha memberi ruang latar belakang untuk semua karakter, termasuk tokoh dewasa seperti dosen konseling, sehingga pusat konflik kadang terasa melebar. Padahal, pendalaman pada dua tokoh utama bisa membuat perjalanan emosional lebih padat.
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Ketika Ijazah Dipertanyakan, Manusia yang Diuji
Kejutan lain adalah cakupan waktu cerita yang panjang—empat tahun masa kuliah, lengkap dengan kerja praktik, magang, hingga lomba.
Kedekatan dengan realitas mahasiswa Indonesia memang menjadi kekuatan, namun bagi sebagian pembaca, penceritaan sepanjang lebih dari 300 halaman terasa cukup melelahkan.
Meski demikian, perkembangan gaya menulis penulis patut diapresiasi. Dibanding karya-karya sebelumnya, metafora berlebihan mulai dikurangi, digantikan penyampaian yang lebih halus dan mengalir. Bahasa menjadi lebih ramah, membuat cerita tetap enak diikuti meski panjang.
Pada akhirnya, Kami (Bukan) Sarjana Kertas bukan novel yang menawarkan kejutan besar, melainkan cermin. Ia mengajak pembaca bertanya: seberapa penting ijazah, jika manusia di baliknya tak pernah benar-benar tumbuh?
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Novel Sejuta Waktu untuk Mencintaimu: Belajar Tetap Utuh Meski Terluka
-
Di Balik Tahta Sulaiman: Menyusuri Batin Bilqis di Novel Waheeda El Humayra
-
Mengenal Jonah Complex: Sindrom Takut Berhasil yang Dialami Banyak Orang!
-
5 Fakta Tentang LPDP: Kenapa Ada Jalur Kurang Mampu dan Jalur Umum?
-
Bukan Soal Uangnya: Mengapa Donasi Presiden Justru Mengkhawatirkan?
Artikel Terkait
-
Novel Sejuta Waktu untuk Mencintaimu: Belajar Tetap Utuh Meski Terluka
-
Implementasi Pendidikan Gratis Pemprov Papua Tengah, SMKN 3 Mimika Kembalikan Seluruh Biaya
-
Ulasan Novel Aib dan Nasib, Pertarungan Eksistensial Melawan Stigma Sosial
-
Kebahagiaan Orangtua Siswa SMK di Nabire Berkat Program Pendidikan Gratis
-
Sosialisasi Program Pendidikan Gratis, SMK Negeri 2 Nabire Hadirkan Wali Murid
Ulasan
-
Novel Sejuta Waktu untuk Mencintaimu: Belajar Tetap Utuh Meski Terluka
-
Review Film 13 Days, 13 Nights: Ketegangan Evakuasi di Tengah Badai Taliban
-
5 Drama Korea Bertema Kehidupan Anak Kos yang Bikin Kamu Nostalgia
-
Ulasan Novel Aib dan Nasib, Pertarungan Eksistensial Melawan Stigma Sosial
-
Review Film Mertua Ngeri Kali: Pelajaran Cinta dari Mertua Gila!
Terkini
-
Tukar Akar Jadi Ruang Pulih Anak Muda Menemukan Teduh Untuk Tumbuh
-
Berawal dari Hobi, Komunitas Satwa di Medan Ini Lawan Stigma dengan Edukasi
-
KOBOY, Komunitas Board Game sebagai Alternatif Hiburan Kota
-
Jule Diduga Terseret Isu Perselingkuhan Lagi usai Cerai, Bukti Dibongkar?
-
I'm Home oleh EXO: Janji Tuk Kembali Pulang ke Sisi Orang-Orang Terkasih