“Fris, sana belikan gorengan.”
“Baik, Cik.”
Aku menerima uang dan kunci motor dari Cik Zhao Fei. Mesin motor meraung pelan sebelum aku melesat ke arah penjual gorengan di seberang jalan.
Senja sedang sekarat. Langit terbelah warna jingga yang memudar, diseret ungu, lalu ditelan biru gelap.
Malam turun perlahan. Terlalu perlahan, seolah ingin memberi waktu pada sesuatu untuk bangun.
“Bulek, beli gorengan. Campur-campur,” kataku.
Bulek mengangguk singkat. Tangannya bergerak cepat, gorengan panas masuk ke plastik yang berkeresek. Aku membayar, lalu berbalik.
“Wah, rame kali jalanan.”
Ya, ini jalan antarprovinsi. Dan malam Minggu pula.
Aku berhenti di pinggir aspal. Menunggu celah. Menoleh kanan, kiri. Lampu kendaraan memanjang seperti ular cahaya.
Lalu tiba-tiba—
“Apa’an ini…?”
Hawa dingin menjalar dari tengkuk ke punggung. Dingin yang bukan berasal dari malam.
Saat aku menoleh ke atas, aku sadar sedang berdiri tepat di bawah pohon mahoni itu. Pohon tua di depan toko. Pohon yang, entah sejak kapan, terasa lebih sering “hidup” saat gelap datang.
Cahaya senja benar-benar mati. Jalanan mendadak terasa asing. Terlalu sunyi di sela hiruk-pikuk.
“Kamu jangan ganggu, ya!” seruku setengah berbisik, setengah menantang. “Nanti kukejar, kusiram air garam tahu rasa!”
Aku menunjuk ke batang pohon, mataku melotot. Bukan marah. Takut. Kenangan tentang sosok putih sebadan—yang pernah tersenyum, bahkan menari—masih melekat di kepala.
Beberapa menit berlalu. Jalan akhirnya lengang.
Aku bersiap menarik gas.
Lalu suara itu muncul.
Cekikikan.
Pelan. Tipis. Perempuan.
Bukan tawa keras. Bukan juga tangis. Cekikikan yang seperti ditahan, seolah seseorang sedang menutup mulutnya agar rahasia tak terbongkar. Riang. Tapi salah. Salah sekali.
Dan suaranya datang… dari atas.
Dari dahan pohon mahoni.
“Heh?!”
Aku mendongak. Menahan napas. Menunggu. Barangkali ada bayangan yang turun. Rambut yang menjuntai. Kaki yang bergoyang di udara.
Tidak ada apa-apa.
Kosong.
Dengan jantung berdebar, aku menyebrang jalan dan berdiri di depan toko. Aku menoleh lagi ke pohon itu. Menunggu. Mencari. Mengutuk diri sendiri karena penasaran.
Nihil.
Namun aku tahu. Aku yakin.
Cekikikan itu nyata.
Jalanan sedang lengang. Kendaraan terjeda. Tak ada sumber suara lain. Dan tawa itu terlalu dekat untuk disebut angin.
“Aneh-aneh saja…,” gumamku pelan.
Aku tak tahu apakah pohon mahoni itu kini punya penghuni baru. Atau apakah ia hanya ingin menertawaiku.
Atau mungkin…
Sejak awal, aku memang sedang diperhatikan.
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-misteri
Terkini
-
Review Novel Companions of the Night: Petualangan Vampir Minus Lovey Dovey
-
Daily Chic ala Rora BABYMONSTER: 4 OOTD Kasual Buat Liburan Lebih Modis!
-
Review Drama No Next Life: Suara Jujur Perempuan Hadapi Bias Gender di Usia 40-an
-
Anti Lepek! 5 Shampoo Terbaik untuk Rambut Berminyak agar Tetap Bervolume
-
Simpel dan Elegan! 4 Ide OOTD Monokrom ala Shin Si A untuk Daily Look