Setelah menunggu selama 13 tahun sejak perilisan film Avatar pada 2009, para penggemar film franchise Avatar besutan sutradara Titanic, James Cameron, akhirnya dapat menikmati sekuel film franchise Avatar yang kedua, yaitu Avatar: The Way of Water. Film berdurasi 3 jam 12 menit yang diproduksi oleh Lightstorm Entertainment tersebut menyajikan latar tempat lautan yang menggambarkan suasana kehidupan masyarakat kepulauan. Film yang didistribusikan oleh 20th Century Studios ke seluruh jaringan bioskop internasional tersebut menggemakan pesan tentang hakikat di balik eksistensi air sebagai penghubung segala aspek kehidupan di planet Bumi.
Avatar: The Way of Water mengisahkan tentang dua pejuang suku Omatikaya atau Bangsa Hutan, yaitu Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana), yang kembali melawan manusia Bumi atau Bangsa Langit di bawah pimpinan jenderal wanita pertama lembaga Resources Development Administration (RDA), Jenderal Frances Ardmore (Edie Falco). Untuk mendukung kesuksesan invasi Pandora, RDA mengirimkan satu kompi tentara yang dipimpin oleh Kolonel Miles Quatrich (Stephen Lang), tentara senior RDA sekaligus mantan atasan Jake.
Jenderal Ardmore mengutus tim Quatrich menelusuri hutan Pandora untuk menangkap Jake yang memimpin gerakan pemberontakan Na’vi. Ancaman nyata yang semakin intens dari Quatrich memaksa Jake beserta keluarganya meninggalkan suku Omatikaya dan mengungsi ke wilayah kepulauan yang dihuni oleh suku Metkayina, bangsa Na’vi yang hidup di lautan. Kedatangan mereka disambut oleh kepala suku (olo’eyktan), Tonowari (Cliff Curtis) dan istrinya yang merupakan pemuka agama dan dokter (tsahik), Ronal (Kate Winslet). Sehari-hari, mereka belajar beradaptasi dengan budaya dan pola kehidupan suku Metkayina yang mengandalkan kekayaan lautan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
1. Adanya inciting incident yang menaikkan intensitas ketegangan (suspense)
Alur cerita Avatar: The Way of Water disampaikan menggunakan struktur penulisan tiga babak dengan tempo cerita yang berjalan naik dan turun secara perlahan menuju puncak konflik. Dalam film ini, hanya ada satu peristiwa menarik sebagai inciting incident yang mampu menaikkan intensitas ketegangan (suspense) cerita ke level konflik.
BACA JUGA: Usai Remehkan Zidane, Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Noel Le Graet Mundur
Adanya inciting incident yang melibatkan Jake dengan Quatrich di paruh pertama film mampu memantik rasa penasaran saya tentang apa yang akan terjadi terhadap Jake, keluarganya, dan penduduk suku Omatikaya di hari berikutnya.
2. Pengembangan karakter identik dengan film drama keluarga semi-melankolis
Menurut saya, proses pengembangan karakter yang berlangsung di dalam Avatar: The Way of Water serupa dengan pengembangan karakter yang ada di dalam film drama keluarga semi-melankolis. Umumnya, kepribadian karakter film drama keluarga dipicu oleh perbedaan pandangan yang memicu konflik internal antaranggota keluarga.
Hal tersebut terlihat jelas di dalam Avatar: The Way of Water. Sebagai seorang ayah dan kepala keluarga, Jake harus menghadapi sekelumit masalah di dalam keluarga barunya karena perbedaan pandangan dalam menyikapi peristiwa yang ada.
Bahkan, pengembangan karakter yang berlangsung di dalam subplot cerita sempat membuat saya bingung bercampur bosan ketika Jake hanya sibuk berputar-putar mendisiplinkan tingkah laku anak laki-lakinya, Neteyam (Jamie Flatters) yang kurang tegas dan Lo’ak (Britain Dalton) yang selalu bertindak sesuka hati. Menurut saya, berbeda dengan film Avatar, adanya “tugas tambahan” Jake sebagai seorang ayah dan kepala keluarga, disamping kepala suku (olo'eyktan) Omatikaya, mampu mengembangkan kepribadian dan karakter Jake menjadi lebih cerdas dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan yang paling terbaik untuk keluarga dan sukunya.
3. Sigourney Weaver mampu menghidupkan karakter Kiri yang spiritualis
Karakter Kiri (Sigourney Weaver), anak perempuan yang merupakan anak adopsi Jake dan Neytiri, menjadi pembeda antara Avatar: The Way of Water dengan film Avatar. Menurut saya, sebagai aktris senior Hollywood yang juga menjadi aktris pengisi suara (voice over) Kiri, Sigourney Weaver mampu menjiwai kepribadian Kiri yang kerap membela orang yang lemah dan berani mengatakan hal yang salah meski harus dimusuhi oleh orang lain.
Hal yang saya sukai dari Sigourney Weaver dalam menghidupkan karakter Kiri adalah kelebihannya yang mampu menyampaikan kelebihan Kiri yang mampu berhubungan dengan roh spiritual Eywa. Kelebihan yang menjadi kekuatannya tersebut mampu mengembangkan identitas diri Kiri sebagai pribadi spiritualis yang unik dan menjadi inspirasi bagi orang berkemampuan unik untuk lebih berani tampil di muka umum dan menyuarakan pandangan yang yang berbeda dari sebagian besar orang, selama pandangan itu masih bisa diterima oleh akal sehat yang rasional.
Seakan mengulangi kesuksesan dalam memerankan karakter Ellen Ripley di film franchise Alien dan Dr. Grace Augustine di film Avatar, Sigourney Weaver mampu menyampaikan kekuatan supranatural Kiri pada situasi yang tepat, sehingga mampu menutup film dengan sangat memukau dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Bahkan, kemampuan Kiri tersebut melahirkan pesan moral yang menekankan pada pentingnya menjaga kelestarian air sebagai sumber energi yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan dan mempermudah berjalannya aktivitas kehidupan manusia.
4. Latar tempat dan suasana yang indah serta menonjolkan kearifan lokal masyarakat kepulauan
Di paruh pertama, latar tempat dan latar suasana Avatar: The Way of Water menyuguhkan keindahan tebing yang terbentuk oleh susunan batu granit dan sedikit tertutupi oleh rumput hijau yang menjulang tinggi. Pada paruh kedua hingga terakhir, latar tempat menyajikan keindahan tebing lautan yang tersusun dari tumpukan batu kapur berwarna putih dan ditutupi oleh sedikit rumput hijau yang berada di puncak tebing.
Tidak hanya tebing dan lautan, film ini juga menyajikan latar tempat tinggal para karakter yang menarik dan unik, seperti contohnya Marui, yaitu rumah panggung yang menjadi tempat tinggal penduduk suku Metkayina dan Tao’unui. Rumah tersebut berbentuk seperti kapsul yang terbuat dari pohon bakau serta ditutupi oleh anyaman cokelat. Latar cerita yang digunakan mampu menonjolkan kearifan lokal masyarakat kepulauan yang terkenal dengan ketangguhan mental dalam menghadapi ganasnya lautan.
BACA JUGA: Bukti Timnas Indonesia Rapuh Tanpa Kehadiran Rachmat Irianto di Piala AFF 2022, Selalu Kebobolan!
Tidak hanya desain rumah bergaya alam yang natural, keunikan latar tempat juga didukung oleh batas dalam perkampungan yang dikelilingi oleh barisan batu karang, batu koral, dan sawah air yang berbentuk teras-teras air. Sawah air tersebut dibangun dengan mengadopsi metode konservasi terasering layaknya sawah berbentuk teras-teras yang dibangun oleh masyarakat Ubud, Gianyar, Bali. Keindahan dan keunikan latar tempat yang tergambarkan menjadi sarana cuci mata dan mengisi pikiran yang bosan karena lamanya durasi tayang.
5. Sinematografi menggunakan teknik pergerakan kamera yang dinamis dan dramatis
Sinematografer Avatar: The Way of Water, Russell Carpenter, tampaknya memiliki formula khusus yang jitu dalam menterjemahkan apa yang diinginkan oleh para penulis naskah. Dalam beberapa adegan yang menggambarkan pertarungan fisik langsung, Carpenter lihai dalam mengarahkan sinematografi film dengan menggunakan teknik pergerakan kamera yang dinamis dan fleksibel. Sebagai contoh, kemegahan Bridgehead City sebagai kota metropolitan baru RDA yang dibangun di bawah pengawasan Jenderal Ardmore dapat terlihat dari atas dengan sempurna berkat pemilihan teknik Tilt yang merekam pemandangan kota dari arah atas ke bawah secara vertikal.
Adegan perang suku Metkayina yang dipimpin oleh Jake, Tonowari, dan Ronal melawan satu kompi tentara RDA pimpinan Quatrich di atas kapal S-76 SeaDragon mampu divisualisasikan dengan jelas dan alami menggunakan kombinasi teknik Point of View (POV) dan crane shot. Menurut saya, Carpenter cerdas dalam memilih kedua teknik pengambilan gambar tersebut karena mampu merekam perasaan dramatis manusia Na’vi yang terusik dan mengabadikan suasana perang manusia Na’vi melawan manusia Bumi yang epik dan penuh aksi.
6. Dominasi elemen air menyiratkan pesan tentang rahasia di balik dahsyatnya kekuatan air
Kecintaan yang dalam terhadap lautan dan biota laut membuat James Cameron menyalurkan segala sumber daya untuk memproduksi Avatar: The Way of Water. Pengalaman komprehensif dalam menyutradarai film yang menonjolkan elemen air, seperti The Abyss (1989) dan film pemenang Academy Awards (The Oscars) 1998, Titanic (1997), menjadi pelajaran berharga bagi Cameron dalam menyutradarai Avatar: The Way of Water.
Tidak hanya semakin memperkuat pesona visualisasi film, penggunaan elemen air yang dominan dalam Avatar: The Way of Water menyiratkan pesan moral yang mirip dengan dua film Cameron yang mengangkat didominasi elemen air, yaitu The Abyss dan Titanic. Melalui Avatar: The Way of Water, Cameron menyiratkan pesan kepada penonton bahwa air memiliki rahasia yang dahsyat, yaitu mampu mengarahkan kekuatan besar yang dapat membalikkan kenyamanan manusia.
Itulah ulasan film dari saya tentang Avatar: The Way of Water. Dari indikator yang telah dijelaskan di atas, saya memberikan nilai 9.5/10 untuk film ini.
Tidak hanya menghibur dan memanjakan mata, film ini juga bisa mengedukasi masyarakat umum tentang pentingnya kerja sama melakukan aksi nyata yang konsisten untuk melindungi Bumi beserta sumber daya alam yang ada, termasuk air dari tindakan manusia yang oportunis, culas dan serakah dalam mengeksploitasi kekayaan alam demi mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Film ini menjadi tamparan keras atas kelalaian umat manusia sekaligus sebagai cambuk yang melecut semangat untuk lebih serius bertindak menjaga Bumi agar tetap asri, bersih, dan sejuk demi mendukung keberlangsungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS