Ada sesuatu yang aneh tapi juga menikah tatkala ‘sebuah’ film ngajak ‘kita’ melihat dunia dari mata seekor anjing.
Di Film Good Boy yang tayang di rangkaian Jakarta World Cinema (2025) besutan Sutradara Ben Leonberg, kini tayang reguler di bioskop tertentu Indonesia sejak 8 Oktober 2025 saking menariknya.
Yup, kita nggak hanya menatap layar, tapi juga serasa ikutan mencium udara lembab hutan, mendengar derit kayu malam hari, dan ikut menggigil bersama seekor anjing jenis Nova Scotia Duck Tolling Retriever bernama Indy.
Horor Anjing Banget Deh!

Serius lho. ‘Good boy’ memang anjing banget. Film ini dibintangi Shane Jensen sebagai Todd, pemilik Indy yang sedang jatuh sakit dan dihantui bayangan masa lalu. Todd memutuskan untuk bersembunyi di rumah peninggalan kakeknya yang sudah lama sepi, mencoba menenangkan diri dari penyakit dan ingatan yang menggerogoti.
Namun, di balik dinding kayu tua itu, sesuatu bergerak. Bukan hanya hantu, bukan hanya penyakit, melainkan ketakutan yang menular dari manusia ke hewan. Dan di sanalah cerita Film Good Boy berdenyur di antara batas realita dan persepsi seekor anjing yang nggak punya bahasa untuk menjelaskan apa yang dirasakan.
Dan Itulah yang Bikin Penonton Menebak-Nebak

Asli deh, memang film ini begitu. Nggak ada penjelasan yang main dicekokkan ke penonton. Semuanya serba diterka-terka penonton karena ‘kita’ dipaksa fokus mengikuti perspektif lead character-nya, (anjing).
kita sering nonton film tentang anjing yang lucu, setia, atau heroik, tapi jarang sekali diajak untuk benar-benar melihat fokusnya ke ‘anjing’ langsung, kan?
Ben Leonberg, bersama penulis naskah Alex Cannon, terbilang berhasil ya melakukan eksperimen sinematik yang nyaris filosofis. Hmmm, ini terkait bagaimana rasanya jadi makhluk yang hidup hanya dari insting, dari aroma dan suara, tanpa logika manusia untuk menghadapi gangguan magis.
Semua perspektif itu pun terlihat dari awal film. Setiap sorot kamera, tampak diturunkan sudut pandangnya. Hampir selalu berada di level tubuh Indy.
Jadinya, kita nggak ‘melihat’ wajah Todd sepenuhnya, kendatipun terlihat itu pun sangat sekilas di paruh akhir. Todd ibaratnya sering tertutup rasio, hanya sebatas dada atau siluet.
Namun yang membuatnya lebih kompleks adalah pertanyaan yang muncul dari cara film ini. Apakah yang kita lihat benar-benar terjadi, atau hanya halusinasi seekor anjing yang stres melihat tuannya sekarat? Tonton sendiri deh sebelum filmnya turun layar!
Secara teknis, Good Boy juga menegaskan konsep ini lewat sinematografi gubahan Wade Grebnoel dan penyuntingan Curtis Roberts. Banyak adegan yang bergantung pada suara. Misalnya dari derit kayu, napas berat, atau aroma darah yang nggak terlihat tapi terasa di udara. Semua elemen itu bisa lho bikin penonton tenggelam dalam pengalaman yang bukan kognitif, melainkan instingtif.
Kesimpulannya, ‘Good Boy’ bukan hanya film horor tentang rumah tua dan hantu yang bersembunyi di balik dinding. Tentang bagaimana binatang pun bisa tersesat di antara kenyataan dan rasa takut.
Salut deh buat Ben Leonberg yang nggak hanya membuat film horor. Dia sukses menciptakan pengalaman empatik. Dan saat kredit akhir bergulir, hanya satu hal yang terasa pasti. Anjing bernama Indy (nama asli lho) pantas mendapatkan pujian, dan mungkin, bisa kita hadiahi sepotong biskuit anjing sebagai tanda sudah berjuang sebaik menghidupkan film horor ini.
Sobat Yoursay yakin nggak kepikiran buat nonton film horor dari perspektif unik ini? Kalau sudah baca segala hal terkait impresi filmnya, ada baiknya sekarang amankan kursi bioskop dengan memesan tiket Film Good Boy. Serius deh, film ini sangat layak tonton dan sayang banget kalau sampai dilewatkan. Selamat nonton, ya!