Anggapan dicovidkan belakangan ini banyak terdengar di masyarakat. Baik di media sosial maupun dalam kehidupan bermasyarakat, istilah ini sangat mudah ditemukan. Istilah ini sendiri sebenarnya tidak ada secara resmi, namun tidak sedikit masyarakat yang percaya begitu saja.
Dokter spesialis penyakit dalam, RA Adaninggar, dr., Sp.PD mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada istilah dicovidkan dalam dunia kedokteran.
"…yang ada adalah diagnosis banding di mana pada era pandemi seperti sekarang, Covid harus masuk sebagai salah satu kemungkinan diagnosis penyakit infeks" ujarnya, dikutip dari Kompas dalam akun Instagram-nya.
Istilah dicovidkan sendiri biasanya digunakan atas dasar kecurigaan akan adanya teori konspirasi bahwa COVID-19 sebenarnya tidak ada. Isu yang marak belakangan ini hanya diciptakan demi keuntungan pihak tertentu. Penyangkalan seperti ini biasanya akan berujung pada anggapan bahwa setiap orang yang sakit pasti akan di cap positif COVID-19 dan dinyatakan sebagai pasien terinfeksi virus corona.
Jika terus dibiarkan, hal ini dapat semakin memperkeruh keadaan. Akibatnya banyak yang menjadi enggan menerapkan protokol kesehatan, takut untuk di cek kesehatan, menahan sakit dan enggan berobat, hingga menaruh banyak kecurigaan terhadap tenaga kesehatan.
Menyadur dari salah satu unggahan Instagram milik dokter RA Adaninggar, dr., Sp.PD (@drningz), ada beberapa penjelasan ilmiah untuk setiap anggapan dicovidkan yang sudah terlanjur menyebar di masyarakat. Berikut penjelasannya.
1. "Kalau bergejala flu jangan swab antigen/PCR karena nanti hasilnya pasti positif"
Tanggapan seperti ini rasanya sudah sangat familiar terdengar di telinga kita. Rumor yang banyak beredar di media sosial seperti WhatsApp sudah tidak lagi asing dengan yang satu ini. Sayangnya, meskipun kabar tersebut tidak menyatakan sumber yang jelas, tidak sedikit orang yang langsung percaya begitu saja.
COVID-19 memang bisa menjadi salah satu penyebab timbulnya flu, karena memang itu adalah salah satu gejalanya. Jadi jika ada gejala flu dan di swab hasilnya positif COVID-19, artinya memang ada virus atau materi genetik tersebut di dalam tubuh, bukan lantas dicovidkan begitu saja seperti yang dirumorkan.
Hal ini dipastikan dengan pernyataan WHO yang menyatakan bahwa swab antigen/PCR efektivitasnya mencapai 99-100% sehingga dikhususkan hanya untuk memeriksa virus penyebab COVID-19.
2. "Semua penyakit sekarang hanya ada Covid, enggak ada diagnosis lain"
Kalimat selanjutnya yang banyak dijumpai dan banyak menimbulkan rasa takut di masyarakat adalah bahwa saat ini, semua diagnosis penyakit hanya akan disimpulkan sebagai COVID-19. Hal ini kerap terdengar khususnya pada orang yang masih menyangkal adanya COVID-19.
Faktanya, gejala infeksi Corona tidak ada yang spesifik, sebagian besar merupakan kumpulan dari gejala flu. Diagnosis yang dilakukan oleh dokter diambil berdasarkan penggalian riwayat penyakit, kontak erat, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Kadang infeksi COVID-19 juga bisa terjadi pada orang-orang yang sudah memiliki penyakit kronis sebelumnya dan biasanya penyakit kronis tidak ini akan mengalami pemburukan jika tidak terkena kondisi serius seperti infeksi.
Seseorang tidak akan didiagnosis COVID-19 jika tidak didukung oleh data-data tersebut. Penetapan status pasien tidak hanya dilakukan berdasarkan swan antigen/PCR atau penilaian klinik dokter saja. Namun dilakukan dengan diagnosis yang telah ditetapkan.
3. "Saya tifus/demam berdarah kok dibilang Covid"
Secara umum gejalanya memang terlihat sama. Gejala kedua penyakit ini memang mirip dengan infeksi COVID-19, bahkan hasil pemeriksaan darahnya kadang sangat mirip. Namun perlu diketahui perjalanan kedua penyakitnya sangat berbeda. Di situasi seperti ini, dokter harus harus jeli mendiagnosis dengan menggali riwayat penyakit secara teliti, kontak erat pasien, dan didukung dengan pemeriksaan penunjang.
Dokter Adaninggar mengatakan, bahwa COVID-19 sangat menular dan lebih berbahaya dibandingkan dua penyakit tersebut, tifus atau demam berdarah. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika menganggap seseorang positif COVID-19 terlebih dulu sampai benar-benar terbukti negatif.
4. "Hasil swab antigen negatif kok masih dibilang covid?"
Fenomena inilah yang membuat banyak orang bertanya-tanya, sebenarnya COVID-19 itu beneran ada atau hanya dibuat-buat saja? Banyak orang yang merasa mengalami dicovidkan karena hasil swab antigen yang dilakukannya terbukti negatif.
Padahal tes antigen sendiri hanya bisa membuktikan positif jika jumlah virus mencapai kadar tertentu ketika diperiksa. Dokter Adaninggar menjelaskan bahwa dalam masa menular 10 hari pertama akan ada dua momen dimana swab antigen akan menunjukkan hasil negatif karena jumlah virus belum/sudah melewati jumlah virus tertentu.
Untuk kasus seperti ini, seseorang akan didiagnosis suspek atau probable COVID-19, sehingga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan PCR atau swab antigen dalam jangka waktu lima hari kemudian.
5. "Hasil swab PCR negatif kok masih dibilang Covid?"
Seperti yang disebutkan di atas, Tes PCR bukan satu-satunya indikator penentu apakah seseorang terinfeksi COVID-19 atau tidak. Metode ini memiliki sensitivitas 70-80 persen sehingga masih ada risiko negatif palsu. Salah satunya karena kesalahan teknik atau faktor lainnya.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosisnya termasuk gejala klinis, riwayat perjalanan, status kontak erat, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Apabila dari upaya tersebut ada gejala klinis yang mencurigakan, maka pasien akan didiagnosis suspek atau probable COVID-19, sampai terbukti benar-benar negatif.
6. "Hasil rapid antibodi non reaktif, kok masih dibilang covid?"
Antibodi adalah "senjata pembunuh virus yang baru akan terbentuk di dalam tubuh setelah tujuh hari terinfeksi. Jadi jika ada gejala atau kontak erat lalu melakukan rapid antibodi dan hasilnya adalah non reaktif, kemungkinannya antibodi belum terbentuk tetapi penyakit sudah menular atau bukan COVID-19.
Jika ini terjadi maka pasien juga akan didiagnosis suspek atau probable COVID-19, sampai terbukti benar-benar negatif.
Hingga saat ini belum ada metode yang benar-benar bisa memberikan keefektifan 100%. Oleh sebab itu, dilakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosisnya termasuk gejala klinis dan riwayat perjalanan.
Jika terbukti ada gejala yang mencurigakan, seseorang akan dikategorikan suspek atau probable COVID-19 sampai benar-benar terbukti bebas dari virus, sambil secara bertahap melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan termasuk pada pasien meninggal.
Dokter Adaninggar juga menegaskan bahwa istilah "dicovidkan" itu tidak ada.
"Percayakan saja diagnosis pada dokter yang memang terlatih dan belajar lama cara mendiagnosis penyakit. Makanya ga ada yg namanya tiba2 jadi dokter hanya dengan belajar dari youtube atau medsos." ujar Dokter Adaninggar mengingatkan.