Gado-gado adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang memiliki ciri khas mencampurkan semua bahan yang terdiri dari berbagai sayuran dan bahan-bahan lainnya. Dalam konteks makanan makna ‘gado-gado’ menggambarkan sebuah hidangan yang sangat digemari masyarakat Indonesia. Namun, dalam konteks bahasa, istilah 'gado-gado' merujuk pada penggunaan bahasa yang tidak tepat atau campuran bahasa yang biasanya dikenal juga sebagai 'bahasa campur-campur'.
Meskipun tidak ada kriteria yang pasti untuk bahasa apa yang biasanya dicampur sehingga muncul istilah 'bahasa gado-gado,' biasanya merujuk pada pencampuran Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama Inggris. Pencampuran Bahasa Indonesia dengan bahasa daerah juga dapat disebut sebagai 'bahasa gado-gado,' namun sebagian besar masyarakat Indonesia kurang memperhatikan hal ini karena bahasa daerah dianggap masih berasal dari Indonesia.
Penggunaan 'bahasa gado-gado' ini tentunya dipengaruhi oleh apa yang masyarakat baca dan tonton sehari-hari, terutama di media sosial. Maraknya penggunaan situs jejaring sosial memungkinkan pertukaran 'bahasa gado-gado' semakin meningkat di antara penggunanya. Semakin banyak program televisi yang mengadopsi bahasa ini dalam berbagai tayangannya, hal ini juga membuat masyarakat lebih cenderung menirukan cara berbicara tersebut. Tidak hanya itu, beberapa tokoh publik seperti Cinta Laura, Agnez Mo, dan yang lainnya sering menggunakan bahasa campur ini, sehingga seringkali penggunaan bahasa seperti ini dianggap lebih fleksibel daripada penggunaan bahasa yang dianggap kaku dan kurang gaul.
Memakai Bahasa Inggris = Tidak Nasionalis?
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nelly Martin-Anatias yang memeriksa beberapa novel yang diterbitkan antara 2004-2011, pasca era Orde Baru. Penelitian ini juga melakukan analisis terhadap film-film pada saat itu. Bahasa campur-campur sudah banyak dijumpai dalam karya-karya budaya populer tersebut. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa penggunaan ‘bahasa gado-gado’ ini erat kaitannya dengan perayaan kebebasan berekspresi setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Namun pada kenyataannya, penutur bahasa gado-gado ini seringkali ditandai sebagai orang yang telah kehilangan jati dirinya sebagai orang Indonesia, kebarat-baratan, suka pamer, dan berbagai stigma negatif lainnya. Jika merujuk pada paragraf kedua, hal ini terjadi karena pencampuran dengan Bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa asing.
Jika dilihat dari perspektif sejarah, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa memang telah ada sebelum era kemerdekaan. Para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang mengintegrasikan berbagai kelompok etnis menjadi satu identitas nasional.
Pada pertemuan perwakilan pemuda dari berbagai suku pada tahun 1928, yang sekarang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, mereka sepakat untuk “satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa" dimana bahasa yang termaktub dalam deklarasi tersebut adalah Bahasa Indonesia. Masa pemerintah Orde Baru kembali memperkuat nasionalisme melalui bahasa dengan melarang penggunaan bahasa Inggris di markah hotel dan gedung pada 1990-an.
Secara tidak langsung, pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahasa Inggris sebagai pembawa pengaruh dari luar yang memiliki implikasi negatif atau potensial bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, atau semangat kebangsaan. Ideologi tersirat ini seringkali menjadi dasar untuk menilai negatif seseorang yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Namun setelah jatuhnya Orde Baru, pemerintahan pasca-Reformasi mengeluarkan Undang-Undang No. 24/2009 yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang perlu dicintai, bahasa daerah yang harus dilestarikan, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang perlu dikuasai.
Ini menandakan pentingnya penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari sebagai tanda cinta terhadap bahasa nasional. Sementara bahasa Inggris tetap dilabeli sebagai bahasa ‘luar’ yang lebih relevan untuk urusan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Alih-alih melihat bahasa Inggris sebagai penghambat, sudah sepatutnya kita memandangnya sebagai sumber daya atau kekuatan yang dapat membantu kita mengakses peluang yang lebih besar, lebih terbuka, dan lebih mendunia.
Bahasa ‘gado-gado’ memang kurang memiliki struktur yang jelas. Akan tetapi, tidak sepatutnya untuk menghakimi secara sepihak orang yang menggunakannya. Terlebih orang yang bisa berbicara dalam dua bahasa atau lebih masih bisa menjaga identitas mereka dan tidak serta-merta meninggalkan jati diri asalnya. Bagi penuturnya, menjadi bilingual adalah suatu kebanggaan yang positif, bukan sebaliknya. (ISM)