Apa motif utama kita dalam menulis? Barangkali, tidak sedikit yang memandang motif itu datang dari urusan mencari nafkah, atau untuk menambah pemasukan kita. Pengarang modern Inggris di abad ke-20, George Orwell, pun meyakini hal tersebut. Namun, ia berpendapat lain soal apa saja motif yang melandasi seseorang dalam melakukan kegiatan menulis, terutama bagi mereka yang menggeluti penulisan prosa. Pendapatnya itu bisa kita temukan dalam salah satu esai panjangnya yang terkenal, yaitu Why I Write (Gangrel, 1946).
Di dalam esai tersebut, selain berbicara mengenai sejarah hidupnya dan keterkaitannya hingga membuat ia menggeluti dunia tulis-menulis, sampai memutuskan menjadi penulis, Orwell turut menjabarkan empat motif utama yang dimiliki oleh penulis, termasuk dirinya. Perihal empat motif itu, pada beberapa orang, bisa saja komposisinya berbeda dari waktu ke waktu, sebab tergantung pada apa yang dialami oleh seorang penulis itu sendiri. Bisa saja, dalam kurun waktu tertentu, tiga motif utama tampak dominan, sedangkan satunya tidak. Sementara di waktu yang lain, ada dua motif utama yang dominan, sedangkan dua lainnya tidak terlalu.
Tapi, terlepas dari itu semua, Orwell meyakini bahwa keempat motif itu hampir selalu ada dalam diri seorang penulis. Nah, apa saja keempat motif tersebut? Berikut penjabarannya:
1. Egoisme
Motif ini berkaitan dengan keinginan dipandang besar, menjadi terkenal, bahkan kelak bisa dikenang oleh orang-orang. Bagi Orwell, egoisme menjadi motif yang hampir selalu ada dalam diri seorang penulis, sebab berhubungan dengan keinginan dirinya untuk dianggap hebat dan membanggakan. Selain itu, motif ini juga berkaitan dengan label dianggap cerdas dan dibicarakan banyak orang yang sewaktu-waktu bisa didapat dari statusnya sebagai seorang penulis. Mereka ingin orang-orang mengenal mereka sebagai penulis hebat, sosok yang membanggakan, sosok penting dalam sebuah peradaban. Di sisi lain, bisa saja, menurut Orwell, motif ini juga berhubungan dengan motif membalas dendam seseorang yang pada masa kecilnya diremehkan. Dengan menjadi penulis, seseorang bisa yakin, kalau ia bisa membalaskan dendam tersebut.
2. Antusiasme Estetik
Motif ini berhubungan dengan eksistensi bahasa dan gaya bahasa yang digunakan oleh seorang penulis. Bagi Orwell sendiri, motif ini kentara dalam dirinya, sebab di dalam karya-karya yang bercorak politik sekalipun, karya tersebut ditulis dengan kesadaran bahwa ia mesti menyusunnya dengan standar keindahan tertentu. Orwell juga percaya bahwa setiap penulis barangkali memiliki kata atau frasa andalan yang tidak bisa ia lepaskan dalam setiap tulisannya, sebab hal itu membuat karya-karya menghadirkan keindahan tertentu yang asalnya, hampir selalu, hanya diketahui si penulis itu sendiri. Di situlah, motif ini menapasi seorang penulis dalam menghasilkan karya-karyanya. Mereka ingin karya yang dihasilkan memiliki keindahan tertentu, sehingga saat menuliskannya, mereka sadar bahwa pemilihan bahasa, frasa, atau kalimat bisa mewujudkan hal tersebut.
3. Dorongan Historis
Motif ini berkaitan dengan upaya seorang penulis dalam memandang sesuatu hal secara netral. Bagi Orwell, setiap penulis memiliki motif untuk mengungkapkan kebenaran tertentu atau fakta-fakta yang ia yakini ada, tetapi tidak muncul di permukaan. Bisa saja, ada kebenaran yang tertutupi kebohongan atau propaganda yang dipercaya masyarakat. Dari situ, motif inilah muncul dalam diri seorang penulis. Ia ingin menjadi salah seorang yang peduli dengan mengungkapkan suatu kebenaran, dan merobohkan kebohongan-kebohongan tersebut.
4. Tujuan Politik
Motif ini berkaitan dengan bias atau kecondongan tertentu seorang penulis pada keadaan politik tempat ia tinggal. Kendati barangkali ada seorang penulis yang berkata ia tidak memiliki bias politik, atau terbebas dari berbagai hal yang berkaitan dengan politik dalam penciptaan karya-karyanya, bagi Orwell sendiri, hal itu tidak selalu benar. Sebab, sepanjang pengalamannya menjadi seorang penulis, Orwell melihat tidak ada buku karya banyak penulis yang terbebas dari bias politik. Sekalipun dalam berkesenian dan seorang penulis menjadi terbebas dari bias politik, Orwell menyangsikan hal tersebut, baginya hal itu sama saja dengan sikap politik. Oleh sebab itu, motif ini menjadi motif yang bisa menjadi motif dominan seorang penulis, kendati ia sama sekali tidak sadar akan keberadaannya.
Itulah keempat motif menulis yang diyakini oleh penulis Inggris, George Orwell. Motif mana pun yang lebih dominan, sebenarnya, masih menurut Orwell, itu tidak mengapa. Sebab, motif-motif itu tidak memiliki keharusan khusus untuk mesti ditonjolkan salah satunya dan mengabaikan yang lainnya. Persis seperti yang dialami Orwell sendiri, bahwa ia membiarkan waktu dan pengalaman mengatur motif mana yang paling berperan dalam proses berkaryanya. Dan mana pun yang menjadi dominan, hal itu tidak pernah menyurutkannya dalam menghasilkan karya-karya berkualitas.