Salah satu penyakit dan hal yang paling menyebalkan dialami oleh penulis adalah writer's block, alias kebuntuan ide, bingung mau nulis apa, nggak tau mau nyari sudut pandang apa dan lainnya yang menghambat proses menulis. Saya pun demikan, sesekali mengalami kebuntuan dalam menemukan ide atau apa yang hendak saya tulis.
Namun, permasalahan itu kian teratasi semenjak saya mengenal seorang sosiolog asal Jerman, namanya Niklas Luhmann. Seorang intelektual yang sukses menghasilkan karya sebanyak 50 buku dan 600 artikel dalam hidupnya.
Melalui Luhmann saya belajar, ternyata kebuntuan ide itu bukan karena saya kekurangan healing seperti yang banyak dikatakan motivator, bukan karena juga kekurangan pengetahuan atau bahan yang saya serap. Melainkan kebuntuan ide itu karena ketidaktepatan saya dalam mencatat. Bahkan sebanyak apapun bahan yang saya serap akan sia-sia, hilang begitu saja, kalau saya nggak mengikatnya dalam sebuah catatan yang tepat.
Nah, Luhmann merumuskan sebuah metode yang disebutnya sebagai Zettelkasten. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini.
1. Menerima Ilmu Sekaligus Mengimajinasikannya
Ketika kita mengkonsumsi bahan, pengetahuan atau ilmu, itu jangan hanya sekadar didengar atau dibaca begitu saja. Melainkan juga harus menggunakan daya akal untuk mengimajinasikan apa yang sedang kita konsumsi. Jadi, otak itu ikut bekerja untuk menvisualisasi informasi yang kita dapat.
Ibarat membaca novel, kita pasti akan membacanya dengan berimajinasi tentang segala hal yang dituliskan dalam novel itu, mulai dari benda-benda mati, suasana, tindakan dan lain sebagainya. Melalui cara ini sangat membantu kita untuk merekam suatu informasi yang kita dapatkan.
2. Mencatat Indeksikal dan Bagan Berpikir
Nah, yang menjadi poin penting dalam Zettelkasten adalah mencatat dengan model indeksikal. Jadi, kalau mencatat informasi itu jangan ditulis semua, selain melelahkan, kita juga bukan mesin printer yang bisa menyalin semua informasi. Melainkan cukup catat poin-poin pentingnya, kata kunci-kata kunci utamanya, atau konsep dari informasi yang diterima.
Jangan lupa juga mencatatnya dalam bentuk bagan-bagan berpikir. Jadi misalnya A merupakan sebab dari B, maka ditarik garis penghubung. Atau A memiliki cabang B, C, dan D yang dibentuk dalam garis akar cabang. Ini sangat membantu dalam memahami kembali catatan itu.
3. Membaca Kembali Catatan
Kemudian yang tak kalah penting lagi adalah membaca kembali catatan yang telah kita tulis tadi. Berbagai glosarium indeksikal atau bagan berpikir yang kita tulis tadi sangat perlu kita baca ulang selesai mencatat. Bukan hanya untuk mengoreksi, melainkan juga untuk mematenkan dalam otak kita mengenai catatan itu.
Namun, saya biasanya mengambil sedikit jarak antara waktu mencatat dan membaca kembali. Paling tidak 30 hingga beberapa jam kemudian baru membaca kembali. Alasannya biar saya bisa lebih reflektif dan menemukan cela-cela catatan yang keliru, yang sebelumnya nggak disadari.
4. Mengkategorisasi Catatan
Terakhir, yang sangat penting juga adalah mengkategorisasi catatan. Jadi, kalau nyatet itu jangan dicampur aduk bak gado-gado. Melainkan harus dikategorisasi, dikumpulkan, sesuai dengan tema, fokus atau kesesuaian yang dibahas. Misal nih kalau saya itu membaginya dalam catatan HP mulai dari tema politik, pendidikan, sosial atau lainnya.
Mengapa kok harus dibagi-bagi begini? Nah, inilah yang menjadikan Luhmann seperti tidak kehabisan ide untuk menulis. Pasalnya, ia menggunakan teknik komparasi atas berbagai catatannya, berbagai variabel, berbagai tema yang ada dan itu bisa tak terbatas seiring makin banyakknya catatan.
Misal, saya mempunyai catatan A, B, dan C. Untuk menjadikan ide, saya perlu mengkomparasi satu tulisan dari penggabungan A dan B, tulisan selanjutnya A dengan C, kemudian tulisan selanjutnya B dan C. Atau saya menuliskan lagi dengan tiga tema sekaligus antara A, B, dan C.
Coba bayangkan baru tiga catatan saja saya sudah menghasilkan beberapa tulisan. Bagaimana jadinya saya memiliki sepuluh, bahkan ratusan catatan yang sudah terkategoris? Tentunya bisa menghasilkan berbagai tulisan yang tak terhingga.
Melalui Zettelkasten, Niklas Luhmann tak mengenal apa itu kebuntuan ide. Walhasil ia menghasilkan ratusan karya berbobot semasa hidupnya.