Yoval Noah Harari, barangkali nama itu sudah tidak asing lagi bagi telinga masyarakat dunia. Ya, ia merupakan penulis, sejarawan, atau filsuf yang karya-karyanya telah menempati best seller di era abad 21 ini. Mulai dari karyanya Homo Deus, Sapiens dan masih banyak lainnya yang telah dikonsumsi intelektual dunia. Buku-bukunya dominan terkait dengan sejarah kehidupan manusia sekaligus refleksi terhadapnya.
Pada November 2020 lalu, gagasannya kembali dibukukan dalam sebuah judul “Meretas atau Diretas: Demokrasi, Kerja dan Identitas”. Buku yang diterbitkan oleh Semut Api ini merupakan hasil terjemahan dari sebuah diskusi berbahasa Inggris yang diadakan oleh RadicalxChange Foundation pada Juli 2020 lalu.
Diskusi yang berlangsung di momen-momen pandemi tersebut mengangkat sebuah judul “To Be or Not To Be Hacked? The Future of Democracy, Work, and Identity”. Diskusi itu tidak hanya menghadirkan Harari, melainkan juga Audrey Tang, seorang Menteri Digital pertama di Taiwan sebagai lawan diskusinya. Diskusi mereka dipandu oleh seorang moderator yakni Puja Ohlhaver.
Karena buku yang diterjemahkan oleh Sengon Karta, alumni S2 Sosiologi UGM ini merupakan resapan dari sebuah diskusi, walhasil gaya penulisannya lebih mirip seperti percakapan, antara sang moderator Puja, Harari dan Audrey. Meskipun dalam sebuah percakapan, buku ini tidak kalah dengan tulisan-tulisan Harari yang penuh dengan filosofis, dan seperti biasa mencemaskan masa depan manusia.
Secara garis besar, buku yang berjumlah 72 halaman lebih ini terdiri dari empat bab, mulai dari identitas, algoritma, covid-19 dan demokras, serta di bab terakhir yakni narasi ke depan. Di bagian awal tentang identitas sebuah tesis ditekankan bahwa identitas individu lebih dikenali melalui orang lain dari pada individu itu sendiri. Layaknya, Harari, bahwa orang lain seperti penggemarnya lebih mengenal Harari dari pada Harari itu sendiri.
Di bagian kedua, antara Harari dan Audrey memiliki kekhawatiran tentang masa depan algoritma yang telah menjadi bagian dari masyarakat. Seperti kata Harari “algoritma mengenal saya jauh lebih baik daripada diri sendiri.” Bahkan algoritma menjadi kediktatoran digital yang telah meretas manusia.
Audrey menganalogikan algoritma layaknya sebuah hukum fisika di sebuah ruang maya. Ia dapat menentukan sesuatu bisa terjadi, namun ia juga dapat menentukan sesuatu tidak bisa terjadi.
Di bab selanjutnya, antara Harari dan Audrey banyak mendiskusikan tentang covid-19, demokrasi, khususnya di era digital. Mulai dari penggunaan masker sebagai proteksi, demokrasi sebagai pemberian wewenang, algoritma yang meretas manusia, kebutuhan palsu, algoritma yang berpengaruh pada demokrasi, algoritma yang mengontrol selera manusia dan masih banyak yang lainnya.
Di pembahasan paling akhir, keduanya masing-masing memberikan harapan tentang masa depan. Seperti yang Harari katakan, “kita perlu membuat narasi baru untuk menyatukan manusia, namu kita harus sangat berhati-hati mengingat bahwa itu semua harus dilakukan untuk meringankan penderitaan.”
Audrey menggaris bawahi argumen itu dengan mengungkapkan bahwa “apa yang benar-benar masuk akal adalah untuk memberdayakan masyarakat.” Melalui sebuah potongan puisi yang dibuatnya, Audrey mengutarakan bahwa “saat kita melihat Internet of Things, mari kita jadikan Internet of Beings. Saat kita melihat realitas maya, mari kita jadikan realitas bersama.”