Kekerasan yang Dialami Perempuan Ditinjau dari Psikologi Komunitas

Tri Apriyani | Cathlien
Kekerasan yang Dialami Perempuan Ditinjau dari Psikologi Komunitas
Ilustrasi korban (pixabay/sasint)

Saat ini nasib perempuan semakin mengkhawatirkan, tindakan kekerasan sekarang ini semakin tinggi dan tak terkontrol (Farid, 2019). Kekerasan terjadi disebabkan masih belum adanya penanganan yang sesuai dan efektif kepada pelaku tindak kekerasan.

Permasalahan kekerasan ini tentunya akan memberikan dampak negatif bagi korban, terlebih jika korban merupakan kaum perempuan. Pada berita 5 Maret 2021 Komnas Perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020.

Dari 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus yang ditangani pengadilan sejumlah 291.677 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus.

Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan tercatat 3.221 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), 1.309 kasus kekerasan dalam pacaran, 954 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama.

Bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik yang kasus nya mencapai 2.025 kasus (21%), kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). Kekerasan fisik merupakan peringkat pertama yang paling menonjol.

Melihat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama, pada tanggal 1 juni 2021 berlokasi di kota Bekasi, terdapat kasus kekerasan yang dilakukan seorang pria terhadap seorang perempuan yang diduga merupakan istri dari pria tersebut. Kasus ini terlihat dalam bentuk video, sang pria membanting seorang perempuan di atas ranjang kemudian memukulinya dengan tangan. Tampak perempuan tersebut sangat kesakitan dan terbanting-banting.

Tak puas memukulinya, sang pria kemudian mengambil handuk dan melilitkan handuk itu ke leher perempuan tersebut lalu mencekiknya. Kasus ini diduga karena suami mengajak berhubungan, namun istrinya menolak karena mengingat perlakuan kasar suaminya di hari, bulan, tahun sebelumnya. Hal itu lah yang membuat sang suami marah lalu menganiaya bahkan mencekik istrinya.

Baru-baru ini pula kota Malang, pada tanggal 28 April 2021 digemparkan oleh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dialami perempuan berinisial SF. Kekerasan ini disebabkan pelaku selaku pacar korban cemburu sehingga memukul korban dengan membabi buta.

Menurut keterangan SF, kekerasan tersebut ternyata sudah dilakukan berkali-kali. Disebutkan sebelum kejadian, pelaku sempat melemparkan puntung rokok ke arah SF, hingga mengenai jilbabnya. Tak puas, pelaku lantas memasuki konter handphone dan mencoba merebut handphone milik korban. Di sana lah terjadi aksi pemukulan yang dilakukan pelaku.

Tidak hanya kasus yang terlampir di atas tetapi masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dan masalah ini tentu sangat meresahkan karena setiap tahun angka kekerasan pada perempuan di Indonesia semakin meningkat terlebih pada wilayah-wilayah atau kota-kota besar dan hingga kini masih belum menemukan cara pencegahan perilaku kekerasan yang efektif.

Dengan semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diharapkan seharusnya perempuan di Indonesia perlu dilindungi dengan sebagaimana caranya. Perempuan harus diperlakukan adil tanpa adanya perbedaan status karena sesuai dengan pedoman bangsa Indonesia yaitu Pancasila mengatakan kemanusiaan yang adil dan beradab, tentunya hal ini tak boleh diabaikan dan harus di eksekusikan.

ANALISIS

Maraknya kekerasan perempuan yang terjadi di Indonesia tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dengan itu, perlu adanya prevensi yang bertujuan untuk menghentikan kemungkinan-kemungkinan yang menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Prevensi yang digunakan adalah prevensi psikologi sosial yang berusaha melakukan pencegahan agar kekerasan tidak terjadi dalam suatu komunitas terkhusus kepada kaum perempuan.

Strategi prevensi dilakukan kepada kelompok jenis kelamin laki-laki agar mengembangkan empati terhadap kondisi psikologisnya dengan memberikan pelatihan keterampilan sosial kepada kelompok laki-laki, lalu kepada kelompok jenis kelamin perempuan agar mengedukasikan untuk lebih aktif melakukan peran perlindungan mandiri (self-protective), dan setelah itu kelompok gabungan laki-laki dan perempuan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion sehingga memungkinkan mereka bertukar pikiran dan perasaan agar menciptakan empati dan sikap (Banyard, 2007; Krahe, 2004).

Selain itu strategi prevensi komunitas pun juga dilakukan agar mengarahkan individu pada dimensi-dimensi sosial budaya dan legal yang dapat membantu kemungkinan terjadinya kekerasan dan memberi hukuman lebih setimpal terhadap pelaku kekerasan. Maka dari itu keterlibatan komunitas sangatlah bermakna bagi pengembangan kesejahteraan individu maupun kohesi sosial dalam suatu komunitas (Dalton dkk. 2007).

Menurut Dalton dkk. (2007) komunitas adalah entitas jaringan saling bantu dari suatu perhubungan tempat individu dapat bergantung. Dalton dkk. (2007) juga mendeskripsikan bahwa komunitas dapat diidentifikasi dalam beberapa level ekologi, yaitu individu, mikrosistem (keluarga, teman, kelas, kelompok kerja, pasangan), organisasi (sekolah, agama dll) lokalitas (lingkungan, perkotaan, pedesaan), dan makrosistem (budaya, masyarakat, pemerintah dll).

Dengan level ekologi yang dilampirkan, kekerasan pada perempuan bisa terjadi pada segala lapisan level. Dikaitkan dengan kasus diatas, kekerasan perempuan yang terjadi cenderung pada level individu dan mikrosistem, karena korban dan pelaku merupakan pasangan kekasih. Dalam lingkup level ekologi individu dan mikrosistem saja, perempuan sudah rentan terhadap kekerasan, apalagi dalam lingkup yang lebih besar.

Pada tingkat yang lebih besar seperti organisasi, lokalitas dan makrosistem, peluang terjadinya kekerasan pada perempuan juga semakin besar karena tentunya organisasi, lokalitas, dan makrosistem sudah mempengaruhi pikiran dan nilai individu sejak awal.

Tentu dengan hal ini komunitas memiliki tanggung jawab mengembangan strategi prevensi yang efektif agar mencegah kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan pada perempuan dan tujuan komunitas pun dapat tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah membantu para anggota komunitas menjadi sejahtera secara fisik, psikologis, dan spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan adalah dengan memperkuat hubungan antar keluarga yang diambil dari salah satu metode psikologi komunitas seven core values in community psychology, yaitu individual and family wellness (Kloos, 2012).

Menurut Cowen (1994-2000) individual and family wellness bukanlah persoalan kesehatan fisik saja melainkan kesehatan psikologis juga termasuk didalamnya (dalam Kloos, 2012). Indikator kesehatan meliputi gejala tekanan psikologis dan ukuran kualitas positif seperti ketahanan, keterampilan sosial-emosional, kesejahteraan pribadi, dan kepuasan hidup.

KESIMPULAN

Meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan yang sekarang ini semakin tinggi, tentu sangat menggelisahkan para perempuan dalam bertindak, terlebih penanganan terhadap permasalahan ini pun masih belum efektif. Bukti tingginya kasus tersebut dapat dilihat dari catatan Komnas Perempuan, yaitu terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 dan jenis kekerasan yang dilakukan senilai 3.221 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), 1.309 kasus kekerasan dalam pacaran, 954 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.  Bentuk kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik 2.025 (21%), kekerasan seksual 1.983  (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).

Banyaknya nilai kasus tersebut sangat memprihatinkan kondisi perempuan saat ini. Untuk itu dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan diperlukannya prevensi, prevensi yang digunakan adalah prevensi psikologi sosial yang berupaya melakukan pencegahan agar kekerasan dapat terminimalisir di dalam komunitas.

Strategi prevensi tersebut akan dilakukan kepada individu-individu kelompok jenis kelamin laki-laki, kelompok jenis kelamin perempuan, dan kelompok gabungan laki-laki dan perempuan (Banyard, 2007; Krahe, 2004). Dalton dkk. (2007) mendeskripsikan bahwa komunitas dapat diidentifikasi dalam beberapa level ekologi, yaitu individu, mikrosistem (keluarga, teman, kelas, kelompok kerja, pasangan), organisasi (sekolah, agama dll) lokalitas (lingkungan, perkotaan, pedesaan), dan makrosistem (budaya, masyarakat, pemerintah dll).

Level ekologi tersebut berkaitan dengan kasus yang dialami oleh sepasang suami istri di Bekasi dan kasus SF yang berada di kota Malang, karena kekerasan yang dilakukan masuk pada lingkup level ekologi individu dan mikrosistem. Namun tak hanya pada lingkup individu dan mikrosistem saja melainkan pada lingkup organisasi, lokalitas, dan makrosistem, kekerasan pada perempuan dapat terjadi. Terlebih organisasi, lokalitas, dan makrosistem sudah mempengaruhi pikiran dan nilai individu sejak awal. Maka dari itu perlu adanya tindakan komunitas untuk mencegah terjadinya kekerasan pada perempuan.

Komunitas memiliki tanggung jawab mengembangan strategi prevensi yang efektif agar mencegah kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan pada perempuan dan tujuan komunitas pun dapat tercapai. Tujuannya adalah membantu para anggota komunitas menjadi sejahtera secara fisik, psikologis, dan spiritual. Cara untuk meningkatkan kesejahteraan dapat dengan memperkuat hubungan antar keluarga yang diambil dari salah satu metode psikologi komunitas seven core values in community psychology, yaitu individual and family wellness (Kloos, 2012).

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak