Korupsi yang terjadi di Indonesia sangat mengejutkan dan berdampak negatif pada hampir semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi dan hukum, serta telah merusak tatanan dan sistem negara.
Korupsi merupakan bentuk tindakan kejahatan dalam memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki individu untuk memperoleh atau meraih keuntungan sebanyak mungkin guna kepentingan dirinya sendiri, dan merugikan orang lain maupun negara.
Korupsi secara teknis diartikan sebagai tindakan yang sudah direncanakan secara sengaja dan sistematis.
Disisi lain, upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan secara aktif dan gencar. Akan tetapi, selama ini belum membuahkan hasil yang optimal dan cenderung masif dengan bukti masih banyaknya kasus pelaku korupsi di Indonesia.
Berdasarkan data Transparency Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 sebesar 37 poin. Jumlah tersebut turun 3 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara peserta. Berbagai tingkat korupsi bahkan lebih sering terjadi, seperti suap, gratifikasi dan nepotisme seolah-olah itu dianggap sebagai budaya.
Padahal budaya itu memiliki makna atau esensi positif yaitu pola hidup menyeluruh dan turun-temurun. Jika situasi ini terus berlanjut, negara cepat atau lambat akan mengalami kemerosotan dan krisis karena korupsi.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan, meliputi perbaikan sistem agar tidak bisa melakukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat berbagai sistem yang diterapkan di Indonesia membuka peluang terjadinya korupsi.
Sistem yang baik dapat meminimalkan terjadinya kerusakan (korupsi), dengan demikian diperlukan perbaikan sistem. Maka dari itu, KPK meminta dan menggerakkan transparansi penyelenggara negara.
Hal ini seperti yang dilakukan KPK menerima pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan juga gratifikasi, mendorong departemen dan lembaga terkait untuk mengambil tindakan korektif, serta modernisasi proses layanan publik secara online dan sistem pemantauan terintegrasi agar lebih transparan dan efisien.
Pada aspek lain, KPK juga melakukan pendidikan dan kampanye sebagai strategi pembelajaran anti-korupsi dengan tujuan membangun kesadaran publik akan dampak korupsi. Seperti memobilisasi masyarakat untuk aktif dalam memerangi korupsi, serta membangun perilaku dan budaya antikorupsi.
Pada aspek pendidikan dan sosialisasi, sangat diperlukan perubahan dan upaya lebih lanjut melalui lembaga pendidikan mengenai penanaman nilai integritas antikorupsi pada seluruh generasi muda, yang mana dalam prosesnya membutuhkan komitmen yang kuat dan langkah yang konkrit.
Pemberantasan korupsi melalui pendidikan bertujuan untuk memudahkan dan lebih sistematis dalam mengukur perubahan perilaku antikorupsi, kecuali kita secara sadar mengembangkan kemampuan generasi mendatang untuk menanamkan pola fikir jujur, disiplin dan tanggung jawab, serta berinovasi dalam sistem nilai warisan yang menolak korupsi, transisi dari sikap toleran ke korupsi tidak akan pernah terjadi.
Tidak cukup itu saja, KPK melakukan strategi represif bertujuan supaya takut untuk melakukan korupsi. Strategi represif adalah upaya menempuh jalur hukum untuk mengadili para koruptor. Sebagian besar kasus korupsi diungkap dari masyarakat.
Pengaduan merupakan salah satu sumber informasi terpenting yang dikomunikasikan KPK. Tindakan yang diambil sebagai bagian dari strategi ini adalah penanganan laporan pengaduan masyarakat. (KPK melakukan proses verifikasi dan penelaahan), penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi (keputusan hukum pidana).
Upaya dan tindakan dalam pencegahan terjadinya korupsi sudah dilakukan semaksimal mungkin, tetapi hingga saat ini korupsi masih saja menjadi PR penting bagi pemerintah yang belum juga dapat terselesaikan. Apakah hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana korupsi kurang begitu memberikan efek jera atau adanya penyewelengan dalam penegakan hukum.
Hingga saat ini, di Indonesia masih belum terjadi hukuman mati bagi pelaku korupsi (koruptor). Hukuman mati untuk koruptor diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan aturan tersebut, hukuman mati untuk koruptor dilakukan dalam keadaan tertentu. Namun, pada penerapan penindakan hukuman mati bagi koruptor akan memberikan efek jera bagi mereka yang akan mencoba melakukan hal serupa.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa hukuman mati tak bisa begitu saja diterapkan kepada setiap pelaku korupsi, lantaran ketatnya syarat yang dimintakan undang-undang, seperti menimbulkan pelanggaran HAM.
Pada Pasal 2 UU Tipikor, ini akan sangat sulit diterapkan dan juga makin menipis melihat pada aspek penindakan kasus dipersidangan, yang kebanyakan kerap terjadi pengurangan vonis terpidana korupsi yang mengajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali, sehingga hal itulah yang menimbulkan dilema dalam kasus penanganan korupsi tak kunjung usai.
Penulis: Rafi Alfiansyah, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.