Pembagian Pasaran dalam Pasar Tradisional Jawa

Hikmawan Muhamad Firdaus | Supriyadi Bas
Pembagian Pasaran dalam Pasar Tradisional Jawa
Ilustrasi pasar tradisional.[Facebook/Sejarah Bali]

Di Jawa, selain pembagian hari dalam hitungan sapta wara (hari Minggu hingga Sabtu), juga terdapat pembagian hari dalam hitungan panca wara ( Pon, Wage,  Kliwon, Legi, Pahing). Dalam perjalanannya, sistem ini sering digunakan untuk merumuskan hari baik untuk melakukan suatu aktivitas, misalnya pernikahan, membangun rumah, dan lain sebagainya.

Metodenya dengan menggabungkan perhitungan sapta wara dan panca wara, akan ditemukan suatu jumlah tertentu. Kemudian, penggabungan sapta wara dan panca wara juga sering digunakan untuk menentukan jadwal pertemuan warga desa. Misalnya malam Minggu Wage, malam Minggu Pon, dan seturutnya.

Peristiwa semacam ini akrab dengan masyarakat Jawa di desa-desa. Selain penggabungan antara sapta wara dan panca wara, masyarakat Jawa juga sering menggunakan salah satu diantaranya. Umumnya, sapta wara digunakan dalam kehidupan sehari-hari layaknya perhitungan hari dalam kalender masehi.

Syahdan, penggunaan panca wara sering ditemui dalam penentuan perniagaan di pasar tradisional. Bagi masyarakat Jawa, kiranya karib dengan penentuan ini. Misalnya, peristiwa di pasar tradisional Klaten. Pasar Kembang identik dengan panca wara Pahing. Sehingga, ketika panca wara pahing (selanjutnya dibaca pasaran Pahing), pasar yang sedang ramai ialah Pasar Kembang. Di Pasar Jatinom identik dengan pasaran Legi. Sehingga, ketika panca wara Legi, pasar yang ramai ialah Pasar Jatinom. Di setiap pasar tradisional, akan memiliki pasarannya masing-masing. Dalam peristiwa inilah panca wara karib digunakan dalam masyarakat Jawa.

Pemerataan

Keidentikan pasaran dengan pasar tradisional kiranya sudah ada sejak lampau. Adanya sistem ini menjadikan efektifitas perdagangan dalam masyarakat sekitar. Bagi penjual, tentu memudahkannya untuk membuka lapak di pasar tradisional yang sesuai dengan pasarannya. Kemudian bagi pembeli juga mudah untuk merujuk pasar tradisional yang sedang bertepatan dengan pasarannya.

Selain itu, sistem ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat di luar daerah (kecamatan/kabupaten) dalam menjangkau aktivitas perdagangan, karena terdapat jadwal pasti dengan adanya sistem pasaran pasar tradisional.Atas peristiwa terpapar, kiranya sistem ini mencegah kebingungan bagi masyarakatnya. Selain itu, secara eksplisit juga mengandung sebuah upaya pemerataan pasar tradisional. Dapat disaksikan bahwa pasar tradisional tersebar begitu banyak di daerah-daerah.

Di kabupaten Klaten bagian barat dan Utara saja lebih dari sepuluh pasar tradisional. Namun secara parsial pasar-pasar tradisional ini masih eksis hingga saat ini. Barangkali, sistem ini menjadi salah satu faktor penjaga eksistensi dari pasar-pasar tradisional tersebut. Pengaminan oleh penjual dan pembeli menggunakan sistem pasaran, menjadikan pasar-pasar tetap hidup meskipun bergilir keramaiannya dari satu pasar ke pasar selanjutnya.

Urup

Sistem pasaran terhadap pasar tradisional kiranya menjadi sebuah peristiwa yang tidak boleh diabaikan. Selain menjadi wahana pemerataan agar pasar tradisional tetap hidup, ia juga menjadi wahana untuk menghidupi masyarakatnya. Dengan adanya rotasi pasar tradisional, eksistensi dari pasar menjadikan masyarakat sekitarnya akan tetap berjualan di pasar tersebut.

Bayangkan saja jika pasar dipusatkan menjadi satu tempat, entah berwujud pasar ageng atau pasar raya misalnya. Aktivitas perniagaan tentu akan tetap ada, namun tentu akan tidak merata. Penghuni pasar berasal dari daerah pusat hingga pelosok, dagangan yang dijualpun beragam. Jika dipusatkan menjadi satu, tentu hambatan jarak tempuh menjadi ada. Juga, kapasitas dagangan juga menjadi kendala. Namun, sistem pasaran mampu menangkis kemungkinan itu.

Pasar tradisional yang hidup memberikan sebuah kanal bagi masyarakat yang berada di pelosok, ataupun di pusat kota untuk tetap bisa hidup melalui kanal itu. Dengan persebaran pasar tradisional di berbagai titik, menjadikan masyarakat tetap mampu hidup, bahkan di pelosok sekalipun. Tiba-tiba teringat falsafah Jawa, "Urip iku Urup". Hidup mampu memberikan manfaat bagi lainnya. Barangkali, kultur pasaran dalam pasar tradisional menjadi ke-urup-an bagi masyarakat sekitar. Pengaminan dari masyarakat terhadap sistem ini tentu menjadi faktor paling penting agar pasar tradisional tetap hidup. Kiranya, peristiwa ini menjadi sarana penunaian masyarakat Jawa untuk saling menjadi manfaat bagi lainnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak