Kenduri: Siratan Berbagi dalam Perjamuan Makan

Hernawan | Supriyadi Bas
Kenduri: Siratan Berbagi dalam Perjamuan Makan
Kenduri (Adi Sunaryanto/ FG: Ponorogo Bangkit)

Kelindan ihwal kenduri dalam kultur Jawa kiranya karib ditemui di pelbagai ritus. Bagi saya, kenduri adalah unsur penting dari kebudayaan di Jawa. Bayangkan saja, setiap kali masyarakat Jawa disandung rasa suka ataupun rasa duka, perjamuan makan akan menjadi tampuk dari rentetan aktivitasnya. Entah itu kelahiran, pernikahan, ataupun kematian, kenduri akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam upacara-upacara tersebut.

Iktibar yang lebih kecil misalnya, yakni kultur di Klaten ketika membeli sebuah kendaraan. Setiap kali membeli kendaraan: motor atau mobil. Seusainya, sudah menjadi barang tentu akan menunaikan selametan. Bentuknya ialah dengan kenduri. Kemudian, ketika ada peliharaan ternak seperti sapi ataupun kambing tengah melahirkan. Lima hari seusai kelahiran (sering disebut sepasar), pemilik ternak akan menunaikan wujud serupa dengan bentuk kenduri. 

Berkah telah didapatkan, ria tengah dirasakan, kiranya kenduri menjadi sebuah katarsis kebersyukuran atas perasaan yang disandung. Tiba-tiba teringat adanya ritus brokohan atau di beberapa tempat juga menyebutnya ngalap berkah. Sebuah ritus yang dilakukan kala kelahiran bayi. Dalam ritus ini harapan keberkahan terhadap jabang bayi menjadi sematan utama. Tidak lupa kenduri juga dinunaikan di rangkaian ritus ini. 

Bukan saja ketika tengah ria, dalam kondisi duka, kenduri juga dinunaikan oleh masyarakat Jawa. Misalnya, upacara kematian, upacara tiga hari, tujuh hari, hingga seribu hari. Atau kenduri yang dilakukan ketika ritus sadranan di makam desa. Penghormatan terhadap leluhur dikumandangkan dengan kebersamaan. Seusai nyekar di makam masing-masing keluarga yang tiada, kenduri dilakukan di depan gerbang makam secara massal.

Kemudian, ketika ada orang yang melakoni tradisi ruwatan, tradisi ganti jeneng, tradisi nglangkahi ketika hendak menikah dan melompati kakaknya, ataupun ketika menunaikan tradisi mboyong bayi lisang. Keseluruhan tradisi ini mengandung maksud yang berbeda-beda. Bahkan, rentetan seremoni yang terjabarkan juga berbeda. Namun, di keseluruhan acaranya terdapat prosesi yang sama, yakni kenduri.

Kenduri menjadi sebuah pokok. Serta, uraian peristiwa ini agaknya menandai lampauan kenduri sebagai wujud kebersyukuran, keberkahan, juga penghormatan. Terdapat nilai lain yang tersirat atas adanya kenduri ini. Boleh diduga, nilai ini ialah sedekah atau berbagi.

Dalam berbagai keadaan entah ria ataupun duka, manusia Jawa dituntun untuk selalu berbagi. Keriangan atas rasa yang disandung seperti membeli kendaraan, anugerah peliharaan ternak yang melahirkan, ataupun kelahiran manusia, pernikahan, dan sebagainya; melalui kenduri manusia Jawa diminta bersedekah. Bahkan, dalam kedukaan; manusia Jawa juga dituntun untuk bersedekah. 

Kenduri yang berwujud perjamuan makan tidak saja mengenyangkan diri sendiri. Atas keberkahan dan kedukaan yang ditimpa, masyarakat dituntut untuk tetap berbagi. Agaknya, menandakan bahwa setiap manusia mempunyai teman dalam menanggung semua perjalanan itu. Ketika riang tidak hanyut dalam keriangan, ketika duka tidak jatuh pada kesedihan yang dalam. Selain berbagi makanan, boleh diduga bahwa kenduri juga menjadi sarana berbagi rasa.

Sebenarnya, ajaran sedekah tidak hanya tersemat dalam kenduri. Bagi manusia Jawa, sedekah sudah dan masih dinunaikan terhadap alam, misalnya Ritus Sedekah Bumi, Ritus Sedekah Laut, dan lain sebagainya. Manusia yang hidup dengan bertopang kepada alam, kiranya menjadi sebuah kewajiban untuk menjaga keselarasan terhadap alam tersebut. 

Pun, dalam kenduri boleh diduga sewarna. Selain ditujukan kepada Sang Ilahi, leluhur, juga alam, kenduri menyiratkan untuk menjaga keselarasan terhadap sesama manusia. Meskipun hajat dinunaikan oleh salah seorang warga, namun warga lain juga merasakan hajat serta uraian rasa yang disedekahkan melalui kenduri.

Tidak berlebihan kiranya jika kenduri menjadi wahana spiritual dengan metode sedekah atau berbagi. Tidak saja berupa makanan, melainkan juga berbagi rasa yang disandung. Tiba-tiba teringat ihwal permainan gamelan. Dalam gamelan, metode bermain melalui rasa begitu menonjol. Bisa dilihat ketika bagian mleset ataupun nggandhul (menabuh tidak pada beat-nya) sebagai salah satu rupanya.

Masyarakat Jawa memanglah mengedapankan rasa dalam berkehidupan. Dengan berbagai aktivitasnya, banyak ditemui metode rasa dalam penunaiannya. Termasuk kenduri. Selain berbagi makanan, ia juga berbagi rasa. Nilai ini agaknya yang kian bangkrut kiwari. 

Kebanyakan dari kita mulai menganggap kenduri sebagai ritus formalitas saja. Nilai berbagi yang tersirat dalam kenduri kian merosot. Barangkali saking seringnya ditemui. Ketika kenduri, kita akan lebih mengedepankan sebuah konten dengan hanya memotretnya. Alih-alih khusuk menunaikan kenduri, ketika doa-doa dilantunkan, jemari akan disibukan dalam dunia lain yang sering disebut maya. Kita lupa bahwa terdapat aliran rasa yang ingin disalurkan terhadap kita. Semoga kita mau dan mampu mengkhidmatinya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak