Memandang Serangan Umum 1 Maret dari Perspektif Taktis Kedua Belah Pihak

Hernawan | Armand IS
Memandang Serangan Umum 1 Maret dari Perspektif Taktis Kedua Belah Pihak
Monumen Serangan Umum 1 Maret (Dokumentasi: kemdikbud.go.id)

Jika kita dituntut untuk selalu mengenang sejarah, maka alasan terkuat untuk tuntutan tersebut adalah mengambil pelajaran terhadap peristiwa historis yang terjadi. Salah satu dari pelajaran yang dapat diambil adalah dalam segi militer, yakni mempelajari bagaimana siasat perang yang digunakan dalam pertempuran sebagaimana terjadi dalam sejarah. Kali ini, mari kita melihat bagaimana kedua belah pihak bertempur dalam salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Republik Indonesia yakni Serangan Umum 1 Maret yang meletus di Yogyakarta

Serangan Umum 1 Maret merupakan salah satu rentetan peristiwa yang terjadi pasca Agresi Militer II Belanda. Dikuasainya Yogyakarta dan ditangkapnya Soekarno-Hatta menjadi pendorong bagi militer Indonesia untuk menunjukkan eksistensi dan perlawanan terhadap pendudukan Belanda pasca proklamasi kemerdekaan. Sebab, waktu itu propaganda Belanda ke dunia internasional mengklaim bahwa bangsa Indonesia sudah tidak memiliki kekuatan untuk berdaulat dan tidak ada lagi Republik Indonesia.

Perang gerilya tentara Republik Indonesia v.s Perang kilat Belanda

Berkat propaganda tersebut, tentara Republik Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Sudirman memutuskan untuk melancarkan sebuah serangan umum ke pasukan Belanda yang ada di Yogyakarta. Taktik yang digunakan oleh Sudirman adalah perang gerilya dengan melakukan serangan tiba-tiba ke konvoi Belanda untuk menghalau logistik dan instalasi militer yang dimiliki oleh Belanda.

Perang gerilya merupakan salah satu taktik perang yang umum digunakan sepanjang sejarah. Umumnya, taktik ini digunakan jika pihak kita memiliki jumlah kekuatan pasukan yang lebih kecil ketimbang pihak musuh. Karena ketidakseimbangan kekuatan, maka konfrontasi dilakukan tanpa kontak langsung saling adu kekuatan, tetapi gerilya dilakukan secara tiba-tiba saat musuh tidak mempersiapkan diri untuk melakukan serangan balik. 

Perang gerilya tercermin dalam siasat yang dipakai oleh pihak Republik Indonesia, yakni konfrontasi tidak dilakukan secara head-on atau langsung bertemu antar kedua belah pasukan, namun dilakukan secara tiba-tiba dengan tanpa sepengetahuan pihak tentara Belanda dan fokus ke mematahkan kekuatan seperti logistik dan instalasi militer ketimbang untuk menumbangkan pasukan musuh dalam jumlah yang besar.

Sedangkan di pihak Belanda, beberapa tahun sebelumnya mereka melancarkan serangan kilat dalam Agresi Militer II Belanda dalam upaya menduduki Yogyakarta. Melalui kepemimpinan Simon Spoor, Belanda berhasil melakukan serangan kilat dalam Operasi Kraai dan akhirnya Yogyakarta diduduki Belanda dan Soekarno-Hatta berhasil ditangkap. 

Pihak tentara Republik Indonesia yang baru berusia relatif muda membaca situasi tersebut. Sehingga, Sudirman memutuskan untuk menggunakan siasat perang gerilya dalam rangka menyesuaikan kekuatan pihak musuh. Sudirman tidak dapat ditangkap oleh Belanda karena siasat ini lantaran beliau berpindah dari satu titik ke titik lainnya dalam perang gerilya.

Bagi Indonesia, bukan hanya soal jumlah musuh yang dapat ditumbangkan

Sejarah mencatat bahwa pihak yang gugur dalam serangan umum ini lebih berat pada pihak tentara Republik Indonesia. Puluhan ribu pasukan Indonesia gugur sedangkan di pihak Belanda hanya dalam jumlah puluhan. Jika dilihat dalam kacamata perang konvensional, maka ini adalah sebuah kegagalan taktis pihak pasukan Republik Indonesia.

Namun, tujuan utama dalam perang gerilya bukan sekadar menumbangkan kekuatan musuh dalam jumlah besar. Tujuan utama serangan umum ini adalah menunjukkan perlawanan sekaligus eksistensi bangsa Indonesia di mata dunia. Bahwa, bangsa Indonesia tidak tinggal diam saat tanah airnya kembali dijajah oleh Belanda.

Ribuan nyawa pejuang Indonesia yang tumbang perjuangannya tidak sia-sia

Ribuan nyawa pejuang Indonesia tersebut tidak gugur sia-sia. Meskipun pihak musuh yang gugur tidak sebanyak pihak bangsa Indonesia, serangan umum ini menghasilkan sebuah kemenangan diplomatis. Akhirnya, kekuatan politis Indonesia kembali menunjukkan eksistensinya bahwa Indonesia masih ada dan bukan lagi dalam pendudukan Belanda.

Serangan ini berhasil diliput ke media internasional karena kehadiran wartawan luar negeri yang berada di Yogyakarta. Mr. A.A. Maramis sebagai menteri luar negeri yang menjabat kala itu mendengar kabar perlawanan tentara Republik Indonesia saat berada di New Delhi. Kabar ini bukan hanya sekadar kabar kecil, karena melalui berita ini, beliau dapat meyakinkan PBB untuk kembali merundingkan kedaulatan Republik Indonesia.

Serangan Umum 1 Maret tidak dapat dipandang sebagai kekalahan. Meskipun secara kekuatan Belanda berhasil menghalau serangan yang bertubi-tubi dan bertahan, perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia berhasil meyakinkan dunia internasional akan eksistensi republik ini. Meskipun jumlah yang gugur di pihak kita lebih banyak, taktik perang gerliya berhasil menunjukkan taring tentara Republik Indonesia, berhasil bertahan dan tetap melawan, serta berhasil menunjukkan kepada dunia akan masih adanya Republik Indonesia.

Referensi

  • Soetanto. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor (operatie kraat) versus Jenderal Sudirman (Pemerintah Siasat no.1)
  • R. Hutagalung. 2016. Serangan Umum 1 Maret 1949: Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak