Belum lama ini, seorang tokoh agama yakni Ustaz Khalid Basalamah dilaporkan ke kantor polisi atas kasus dugaan ujaran kebencian mengenai pemusnahan atribut perwayangan karena dianggap haram. Hal tersebut terjadi akibat kesalahpahaman mengenai ujaran yang disampaikan oleh Ustaz Khalid Basalamah dalam ceramahnya, sehingga hal tersebut menyinggung banyak pihak, salah satunya pihak Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia).
Pepadi telah melaporkan Ustaz Khalid Basalamah ke Bareskim Mabes Polri terkait dengan video ceramahnya yang dinilai berisi ujaran kebencian. Pengharaman produk kesenian salah satunya wayang dinilai dapat menyerang dasar kehidupan pelaku seni di Indonesia. Oleh karena itu, ujaran Ustaz Khalid Basalamah yang dinilai mengandung pelecehan atau ujaran kebencian terhadap kesenian wayang dapat menimbulkan risiko besar terhadap relasi masyarakat yang memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Permasalahan mengenai ujaran Ustaz Khalid Basalamah ini dibahas dalam sebuah tayangan wacana interaktif dalam acara Catatan Demokrasi tvOne pada kanal youtube tvOnenews dengan tajuk Heboh Wayang “Haram” yang tayang pada 22 Februari 2022.
Permasalahan mengenai wayang “haram” ini utamanya terjadi karena adanya perbedaan persepsi atau penerimaan dari masyarakat. Perbedaan persepsi atau penerimaan masyarakat mengenai suatu ujaran yang diungkapkan oleh seorang penutur merupakan salah satu kajian pada bidang pragmatik. Pragmatik merupakan studi mengenai makna yang berhubungan dengan maksud penutur terhadap apa yang dituturkannya berdasarkan kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Dalam pragmatik kita mempelajari berbagai jenis studi. Selain itu, hal yang dipelajari dalam bidang pragmatik ialah mengenai konsep deiksis.
Deiksis diartikan sebagai ungkapan atau tuturan yang terikat dengan konteks dan biasanya digunakan dalam mengidentifikasi suatu objek berupa benda, orang, dan peristiwa atau kegiatan yang diacu dalam sebuah tuturan yang disampaikan oleh pembicara. Terdapat berbagai jenis deiksis sesuai dengan penggunaannya. Pertama, yakni deiksis persona yang digunakan untuk menunjukkan diri penutur. Kedua, deiksis tempat yang digunakan untuk mendeskripsikan lokasi berdasarkan pandangan pembicara. Ketiga, deiksis waktu yang digunakan untuk mengungkapkan jarak waktu. Keempat, deiksis wacana yang digunakan untuk mengacu kepada bagian tertentu dalam wacana. Kelima, deiksis sosial yang digunakan untuk membedakan ciri sosial antara pembicara dan pendengar.
Penggunaan bahasa dalam tayangan Heboh Wayang “Haram” dalam acara Catatan Demokrasi tvOne dapat kita analisis menggunakan konsep deiksis dalam studi pragmatik. Deiksis persona dalam tayangan tersebut cukup dominan digunakan, baik itu deiksis persona orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Salah satu contoh deiksis persona dengan pandangan orang ketiga (dia) terdapat pada kutipan percakapan berikut, “Ketika dia sadar dia ngomong atau bicara dalam forum sendiri, itu bertentangan dengan statementnya dia bahwa sekarang itu zaman modern.”.
Selain deiksis persona, deiksis penunjuk juga banyak hadir dalam percakapan yang terjadi dalam tayangan tersebut. Deiksis penunjuk yang dominan ialah kata tunjuk “ini” yang merujuk pada suatu hal yang dekat oleh penutur, atau yang tengah diperbincangkan. Salah satu kutipan percakapan yang berisi deiksis penunjuk ialah sebagai berikut, “Ketika ini masalah berkebudayaan, kita harus bersanding.”.
Deiksis waktu (temporal) yang menunjukkan rentang waktu yang dimaksud oleh penutur dalam peristiwa bahasa yang digunakan. Salah satu penggunaan deiksis waktu dalam tayangan Heboh Wayang “Haram” ialah sebagai berikut, “Saya cuma bantuin, terbukti dari video-video saya sekarang kan popularitasnya makin menaik”. Kata sekarang dalam penggalan percakapan tersebut menunjukkan kehadiran dari deiksis waktu. Selain itu, terdapat deiksis sosial yang muncul pada percakapan dalam tayangan Heboh Wayang “Haram”. Contoh dari deiksis sosial ini terdapat dalam kutipan berikut, “Ya kalo sama Bang Novel ini kan beliau calon cawapres ya”. Kata beliau tersebut merupakan deiksis sosial yang digunakan sesuai dengan tingkat sosial penutur dan mitra tuturnya.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa dalam sebuah wacana interaktif melalui percakapan, baik secara konvensional maupun virtual berisi konsep-konsep mengenai studi pragmatik. Penggunaan konsep tersebut tidak dapat dihindari karena menyangkut maksud dan tujuan dari tuturan yang disampaikan. Selain itu, apabila kita tidak memahami konsep atau pengertian mengenai pragmatik, tentu kita akan kesulitan saat berusaha mengenali maksud dari tuturan. Hal yang terjadi pada permasalahan wayang “haram” merupakan cerminan nyata atas dampak yang ditimbulkan jika kita tidak memahami pragmatik.
Kesalahpahaman yang terjadi dalam masalah wayang “haram” ini merupakan suatu tindakan gegabah, dan tidak dapat hanya menyalahkan penuturnya saja. Pendengar tuturan dalam masalah ini tentu juga memiliki kesalahan yang sama, yakni menelan bulat-bulat begitu saja kesimpulan sementara yang ada.
Kesimpulan sementara tersebut kemudian dijadikan sebuah pernyataan yang dapat memecah belah kubu manusia. Hal ini tentu saja bertentangan pula dengan isi dari sila Pancasila. Maka dari itu, alangkah baiknya kita dapat menelaah terlebih dahulu maksud penutur dengan mengingat topik atau tema apa yang tengah dibahas, sehingga tidak akan ada lagi yang sembarangan menyimpulkan sebuah tuturan yang nantinya akan merugikan banyak pihak.