Belakangan ini Indonesia diterpa dengan berbagai isu, seperti lingkungan, keagamaan dan politik. Tahun yang berat bagi masyarakat Indonesia, dan juga pemerintahannya. Ditambah dengan pandemi yang gelombangnya tidak jelas, sehingga kejenuhan masyarakat semakin liar. Politik Indonesia mencapai masa kejayaan bagi pejabat, dengan isu yang terus dibawa olehnya, dan digoreng oleh media.
Salah satu isu yang menjadi pusat perhatian yang besar adalah masalah keagamaan. Awal tahun dimulai dengan permasalahan azan yang dibawa oleh Kemenag. Tidak cukup disitu kemenag menjadi desainer grafis, dengan logo ‘Halal’ yang diusungkan oleh pejabat pemerintahan. Kemudian diikuti dengan pernikahan salah satu stafsus Presiden Joko Widodo, Ayu Kartika Dewi dan pasangannya Gerald Bastian. Semua kejadian itu membuat masyarakat Indonesia begitu hebohya, dan netizen tiba tiba menjadi Religius.
Sebagai sebuah negara dengan kemajemukan yang merata, dan keberagaman yang sangat luas, membuat Indonesia rentan pada hal yang berbau agama, suku, adat dan budaya. Islam sebagai mayoritas agama, sering mengambil panggung pada gejolak politik yang ada. Terlebih Rezim sekarang yang dianggap sebagai rezim ‘Durhaka’ oleh sebagian masyarakat yang memegang pintu surga, membuat keadaan semakin memanas diterpa isu sedemikan rupa.
Oposisi sebagian diisi oleh pejabat publik dari latar belakang tokoh agama. Jikalau pun tidak berlatar belakang tokoh agama, maka sebagian mereka terus menjadi provokator terhadap masyarakat, terutama masyarakat muslim. Lawan mereka dikenal dengan sebutan buzzer, atau mereka yang biasanya berda di pihak pemerintahan, bukan bagian dari pemerintahan. Sehingga pertikaian sering terjadi di media sosial di kedua belah pihak. Satu kelompok membela mati matian pemerintah, satunya lagi memperkeruh isu isu yang ada.
Sebagai contoh perubahan logo halal yang dibuat oleh Kemenag, lebih mirip dengan budaya Jawa menurut sebagian pakar, dan tidak terlihat corak kaligrafi. Kritikan tersebut merebak di kalangan banyak orang, tidak kurang media sosial kemenag diserang dengan hujatan dan ketidaksetujuan. Perihal seperti ini menjadi masalah sehari hari di Indonesia, terlebih sebagian masyarakat yang mencocoklogi suatu isu ke isu yang lain. Masalah kian merebak, sehingga ruang diskusi semakin sempit.
Masalah keagamaan selanjutnya, pernyataan kemenag yang dianggap menyamakan suara adzan dengan suara anjing. Jika dilihat dari video yang beredar, hal tersebut bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Bisa saja maksud kemenag menyamakan kebisingan dengan suara anjing. Namun yang dipahami masyarakat, dan provokasi dari pihak oposisi membuat masalah ini kiarn mememas. Demikian pula para pembela pemerintahan (Buzzer) tetap pada pendiriannya.
Isu agama merupakan isu yang sangat mudah diputarbalikan. Provokosi dari pihak yang bersebarangan dengan pemerintahan, membuat agama sering dijadikan alat untuk memecah belah. Melihat Indonesia dalam perjalanannya, masalah agama paling sering membuat konflik internal negara. Baik agama yang berbeda, maupun masalah internal agama itu sendiri. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri melihat masyarakat yang majemuk, namun otoritas keagamaan masih saja ada.
Tidak sampai disitu, masalah penistaan agama paling sering digemborkan di kalangan masyarakat. Fenomena ini sering berada di permukaan, dan bahkan menjadi persaudaraan agama semakin terpuruk. Seperti seseorang yang mengaku pendeta, dan menyuruh pemerintah Indonesia untuk menghapus 300 ayat di kitab suci umat Islam, Qur’an. Melihat kejadian seperti ini sontak masyarakat semakin ribut. Hal ni menciptakan ketegangan dalam pemerintahan dan keagamaan di Indonesia.
Terakhir masalah keagamaan baru baru ini diisi dengan pernikahan beda agama, yang melibatkan pemeritahan. Sebagai stafsus presiden, Ayu Kartika dihujat oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Kolom komentar dipenuhi dengan ketidaksetujuan masyarakat hal ini terjadi. Anggapan masyarakat muslim khususnya, pernikahana beda agama adalah hal yang dilarang dalam islam, namun Ayu Kartika tidak mengindahkan hal ini, sehingga menjadi cuitan untuk menjatuhkan namanya di kalangan publik lewat media sosial.
Di semua kejadian tersebut, yang menjadi kambing hitam adalah toleransi beragama. Setelah berbagai peristiwa terlewati, dan ditutup nikah beda agama, toleransi menjadi hal yang tabu bagi sebagian masyarakat. Melihat di trending topik Twitter, toleransi menjadi cuitan netizen. Pemaknaan toleransi dibicarakan dan tidak kurang dianggap menyesatkan bagi masyarakat muslim.
Kemudian moderasi beragama yang menjadi program pemerintahan, juga tidak luput dari masyarakat muslim yang menghubungkan peristiwa keagamaan yang tidak ada habisnya. Tidak habis disitu, moderasi beragama di sebagian pengajian dianggap menyesatkan. Perihal ini seharusnya menjadi fokus, karena berawal dari kurangnya rasa percaya masyarakat pemerintahan, dihubungkan dengan program yang dengan tujuan ingin mengubah pola pikir masyarakat lebih menghargai sesama.
Seharusnya kita bisa lebih melihat kejadi sosial yang ada, seperti penistaan agama atau menodai agama itu sendiri. Sejauh penulis lihat, pemerintah sekarang membawa agama ke arah yang moderat. Mengapa demikian? Karena kita bisa belajar masih adanya isitlah mayoritas dan minoritas yang sering disematkan dalam beberapa keadaan.
Orotitas keagaaman yang selalu mementingkan kehidupan masyarakat mayoritas agama. Melihat hal tersbut, cenderung masyararakat muslim selaku mayoritas, sudah dipermanja dengan keadaan yang lebih menguntungkan. Jika suatu waktu masalah keagamaan menyinggung agama mayoritas, seakan akan merekalah yang paling tersakiti.
Maka dari itu, pemerintahan cenderung menyinggung agama sebagai programnya. Melihat peristiwa yang ada, anggapan pemerintah bahwa adanya suat hal yang ingin diubah dalam tatanan masyarakat Indonesia oleh sebagian kelompok mayoritas. Istilah yang selalu hadir di pemerintahan seperti Moderasi agama, toleransi, ekstrimis, dan radikal adalah bentuk menjaga negara menurut rezim sekarang. Tujuannya merubah cara berpikir masyarakat untuk setara, menghilangakn ketimpangan sosial yang sudah ada sejak lama.