Perihal Open Minded: Antara Kebenaran dan Pembenaran

Hayuning Ratri Hapsari | Sapta Stori
Perihal Open Minded: Antara Kebenaran dan Pembenaran
Ilustrasi orang yang sedang berbincang (Unsplash.com/Brooke Cagle)

Dewasa ini, istilah open-minded tentunya sudah tak asing di telinga kita, terlebih bagi generasi muda masa kini. Open-minded atau berpikiran terbuka berarti pola pikir yang terbuka atas berbagai macam gagasan, ide dan pemikiran.

Sikap open-minded telah banyak membantu masyarakat untuk bergerak ke arah yang lebih baik dan mau menerima perubahan, serta menyingkirkan stigma dan stereotipe yang selama ini melekat.

Dengan bersikap open-minded, kita dapat lebih lapang dada untuk menerima gagasan baru, perbedaan dan jika dilakukan dengan tepat, kita akan bisa melihat kebenaran dengan lebih jelas.

Sayangnya, istilah open-minded ini kerap disalahgunakan oleh mereka yang tidak ingin menerima kebenaran. Mereka menggunakan istilah tersebut demi mendapatkan sebuah pembenaran akan sesuatu yang jelas menyimpang dari nilai dan norma, membaurkan apa yang benar dan apa yang salah, mencampurkan kebaikan dan keburukan hingga saling mengaburkan.

Selain itu, banyak pula orang yang berpikiran terbuka tanpa didasari oleh ilmu dan adab, sehingga menyebabkan banyaknya pemikiran ngawur yang beredar dan tersebar begitu cepat. Celakanya, hal ini tak jarang pula dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Akibatnya, alih-alih menjadi cerdas dan berwawasan luas, banyak orang yang justru pinter keblinger, karena mereka menggunakan akal yang semestinya meninggikan derajat manusia, sebagai alat untuk membenarkan apa pun yang mereka lakukan demi hidup bebas tanpa aturan dan tanpa terikat oleh nilai dan norma.

Bukannya bergerak maju, pemahaman manusia justru mengalami kemunduran. Tak sedikit pula orang yang memaksakan diri untuk menerima semua hal yang ada di sekitarnya, meskipun hal itu merupakan suatu kesalahan, karena ia takut dianggap sebagai orang yang berpikiran tertutup, kolot dan berpandangan kuno.

Padahal, dalam menjalani kehidupan, seseorang haruslah berpegang teguh kepada prinsip, ajaran dan pedoman tertentu. Akal yang manusia miliki semestinya mampu membuat manusia menjadi makhluk yang beretika, yakni memiliki kemampuan untuk memilah apa yang baik dan buruk. Itulah yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya.

Oleh karena itu, selain belajar untuk memahami setiap sudut pandang, penting pula bagi kita untuk memahami apa yang benar dan apa yang salah, juga apa yang baik dan apa yang buruk, terutama jika hal itu sudah ditetapkan dalam aturan norma, baik norma agama, hukum,  kesusilaan, kesopanan, maupun norma-norma lainnya. Tak semata-mata menjadi orang yang pandai dan berwawasan luas, tapi kita juga harus menjadi manusia yang beradab dan bermartabat.

Berpikiran terbuka bukan berarti kita harus menerima semua hal dengan membabi buta. Ibarat rumah, kita tentunya tidak akan membiarkan sembarang orang melewati pintu dan masuk ke rumah kita begitu saja. Walau setiap orang berhak berpendapat dan memiliki pandangan masing-masing, kita harus pandai memilih mana yang patut diterima, mana yang wajib diluruskan dan mana yang mesti kita tinggalkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak