Saat ini, internet telah menjadi gaya hidup, bahkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan manusia. Sastra juga telah dipengaruhi oleh internet. Hal ini terlihat dari munculnya istilah-istilah baru. Salah satunya adalah sastra cyber yang semakin populer seiring dengan perkembangan teknologi dan zaman.
Munculnya sastra cyber atau cyber sastra di Indonesia sendiri merupakan salah satu ciri dari adanya perkembangan sastra di Indonesia. Namun, keberadaan internet sebagai media sastra cyber tentu menimbulkan pertanyaan: apakah eksistensi sastra cyber sastra akan diakui dalam sejarah sastra? Maka dari itu, dalam tulisan ini akan mengulas sedikit mengenai sastra cyber.
Cyber dapat didefinisikan ‘maya'. Sastra cyber merupakan karya sastra yang dilakukan dan dipublikasikan melalui media internet atau teknologi informasi. Sastra cyber juga bisa disebut sebagai sastra yang dapat merangkul berbagai genre karya yang tentunya dipublikasikan memlaui media internet. Sastra cyber ini hadir sejak adanya teknologi informasi yang dapat menampung temuan-temuan baru. Satra cyber ini pula yang akhirnya dapat membawa angin segar untuk memfasilitasi sastrawan dalam berkreativitas.
Kemunculan sastra cyber di Indonesia sendiri memang terhitung baru. Kemunculannya baru ketika masa reformasi terjadi, itu pun belum banyak dan belum berkembang pesat seperti saat ini. Sastra cyber di Indonesia hadir karena dipengaruhi oleh maraknya penggunaan teknologi internet yang semakin berkembang dan canggih. Namun, faktor lainnya yang juga melatar belakangi hadirnya sastra cyber ini adalah susahnya mendapatkan pengakuan atau label sebagai seorang penulis jika belum menerbitkan sebuah karya di koran-koran atau majalah, juga belum menerbitkan sebuah buku karena tidak dilirik oleh penerbit manapun.
Perkembangan sastra cyber juga menimbulkan kontroversi di kalangan penikmat sastra. Polemik tersebut mempertanyakan definisi sastra itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa sastra cyber adalah sesuatu di luar sifat normatif sastra itu sendiri. Di sisi lain, sastra cyber menjadi sesuatu yang baru karena tuntutan zaman, terutama kemajuan teknologi. Munculnya polemik tentang sastra cyber sebenarnya lebih didasarkan pada pandangan konservatif bahwa sastra adalah sebuah mahakarya. Sastra adalah karya yang isinya tidak sembarangan dan dibuat dengan niat murni.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai sastra cyber saat ini, seharusnya keberadaan sastra cyber melalui media elektronik tidak boleh dianggap remeh. Tidak adil jika kita mengklaim bahwa semua karya yang ditulis melalui media ini berkualitas rendah. Sepatutnya, sastra cyber tetap harus dapat diterima secara positif karena suka tidak suka, sastra ini juga akan menentukan perkembangan sastra Indonesia.
Eksistensi dari sastra cyber ini pun tidak semudah sastra media cetak. Hal ini dikarenakan sastra cyber sulit diterima dengan baik oleh penikmat sastra. Bahkan, kehadirannya telah menimbulkan polemik yang cukup ramai dan menggemparkan.
Pada dasarnya, sejarah satra merupakan cabang ilmu sastra yang menekuni dan mendalami pertumbuhan dan perkembangan sastra dari pertama kehadirannya hingga saat ini. Pastinya sastra-satra yang bisa masuk dan diakui pun karya-karya yang berkualitas. Yang dimaksud karya berkualitas itu sendiri adalah karya yang sudah dinilai oleh seorang kritikus atau orang yang ahli dalam bidang sastra. Namun, untuk sastra yang diterbitkan melalui media elektronik dan internet ini baru mulai dikenal pada era reformasi atau lebih tepatnya tahun 2000-an.
Kehadirannya yang tergolong baru menyulitkannya untuk diterima dengan tangan terbuka. Semboja mengatakan, sejarah sastra Indonesia masih terkait dengan kanonisasi, masih bergantung pada perkataan penguasa. Selain itu, sastra cyber juga belum memiliki etos yang tetap, seperti pada sastra koran atau buku. Meski masih baru dan etosnya belum mapan, sastra cyber masih bisa dipelajari dan ditelaah.
Satra cyber sebenarnya dapat dipelajari dan ditelaah sama seperti pada satra yang medianya burupa koran atau buku. Dengan carak tetap mengimplementasikan kode-kode seperti yang telah dituturkan oleh Teeuw, yaitu berupa kode sastra, kode budaya, dan kode bahasa. Nah, ketiga kode tersebut sebenarnya sudah muncul dalam sastra cyber, jadi suka atau tidak suka, sastra cyber harus diperlakukan sama dengan sastra lainnya. Oleh karena itu, sastra cyber tidak boleh diabaikan dan harus mendapat perhatian sebanyak sastra yang sudah mapan.
Jika ada sastra literer dan sastra populer yang dikenal dalam sastra mapan, tidak menutup kemungkinan bisa ditemukan juga dalam sastra cyber. Apalagi dalam jenis sastra ini, siapa saja dan dari kalangan mana sajapun dapat mengungkapkan perasaan dan pikirannya melalui internet. Jadi, jika sastra cyber diperlakukan sama dengan sastra sebelumnya, maka sastra cyber juga sepatutnya dimasukkan dalam jajaran sejarah sastra Indonesia.