Tindak pidana korupsi tampaknya sudah bukan hal yang asing terjadi di Indonesia. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia membuat masyarakat tak heran apabila kasus tersebut datang dari pihak pemerintahan terutama para pemangku jabatan tinggi. Padahal di Indonesia sendiri korupsi adalah tindakan kriminal dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), yang berarti tindak pidana korupsi dapat dikumulasikan dengan tindak pidana pencucian uang.
Dikutip dari acch.kpk.go.id per 31 Desember 2018, di tahun 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 164 perkara, penyidikan 199 perkara, penuntutan 151 perkara, inkracht 106 perkara, dan eksekusi 113 perkara. Selain itu masih banyak kasus lain yang melibatkan anggota legislatif, pejabat atau kepala daerah, bahkan hingga Menteri, dan ironisnya instansi terkait yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam korupsi itu sendiri. Lalu, sebenarnya apa itu korupsi? Apa yang melatarbelakangi-nya? Dan bagaimana perilaku korupsi dipahami dalam perspektif kriminologi?
Secara umum, korupsi merupakan suatu tindakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat demi mendapatkan keuntungan pribadi. Korupsi juga bisa didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak jujur atau curang demi keuntungan pribadi oleh mereka yang berkuasa, dan biasanya melibatkan suap. Korupsi dapat juga didefinisikan sebagai suatu tindakan penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan seseorang terhadap suatu masalah atau organisasi demi untuk mendapatkan keuntungan.
Ramirez Torrez dalam (Waluyo, 2014) menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dan lebih besar dari hukuman yang didapatkan, serta kemungkinan tertangkapnya yang relatif kecil.
Teori GONE dari Jack Bologne (Waluyo, 2014) menjelaskan bahwa akar penyebab korupsi ada 4 (empat), yaitu:
- Greedy (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada pada diri setiap orang.
- Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
- Need (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya.
- Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan-tindakan atau hukuman yang tidak memberi efek jera pelaku maupun masyarakat pada umumnya.
Dalam kajian kriminologi, Edwin H. Sutherland mengemukakan teori asosiasi diferensial yang menjelaskan bahwa perilaku kejahatan tidak diturunkan secara biologis, melainkan melalui pembelajaran yang didapatkan dari proses interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sutherland juga menegaskan bahwa perilaku kejahatan yang dipelajari melalui interaksi dan komunikasi dalam kelompok adalah teknik atau cara untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan atau rasionalisasi dari kesempatan yang mendukung perbuatan jahat tersebut.
Pendapat Sutherland sejalan dengan bagaimana perilaku korupsi bisa terjadi. Seperti yang kita ketahui, meskipun pelaku korupsi hanya dilakukan oleh satu individu, tapi tetap saja banyak pihak yang terlibat dan berkaitan dengan bagaimana kasus itu bisa terjadi. Hal ini menggambarkan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan individu terlahir dari proses interaksi sosial yang melibatkan banyak pihak.
Selain itu sejalan dengan pendapat Torrez yang menyatakan korupsi merupakan kejahatan yang terkalkulasi, dan Bologne yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena kesempatan yang sangat terbuka. Dapat disimpulkan bahwa perilaku korupsi dapat terjadi apabila kesempatan yang tersedia memberikan keuntungan yang sepadan, hal ini juga sejalan dengan pernyataan Sutherland, bahwa tindak kejahatan terjadi karena adanya rasionalisasi dari kesempatan yang ada, yakni berarti seseorang melakukan tindak kejahatan korupsi karena keuntungan yang akan dia dapatkan sepadan atau lebih besar dari kesempatan yang tersedia. Sebaliknya apabila keuntungan dari kesempatan yang dia miliki, kecenderungan untuk melakukannya pun tidak ada.
Referensi:
Priyanto, A. (n.d.). Landasan Teori-teori Kriminologi. In Kriminologi dan Kenakalan Remaja (pp. 21-22).
Waluyo, B. (2014). OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA. Jurnal Yuridis, 169-182.