Keadaan paradoksial yang dialami Indonesia telah berlangsung lama, bukan lagi menjadi topik hangat yang baru menjadi pembahasan publik. Paradoks adalah kondisi di mana kenyataan tidak sejalan semestinya. Di negara kita ini, paradoks telah menjangkiti berbagai aspek kehidupan.
Dalam ekonomi misalnya, Indonesia kaya tapi miskin. Indonesia memiliki banyak harta karun yang didapat dari sumber daya alamnya (SDA), sumber daya manusianya (SDM) juga melimpah. Namun itu hanya casing belaka. Nyatanya rakyat Indonesia masih banyak yang berada di garis kemiskinan. Walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim bahwa angka kemiskinan tahun lalu menurun sebesar 0,43 persen poin, rakyat kita belum merasakan perubahan signifikan pada nasib mereka.
Hal ini juga berdampak pada produktivitas dan daya saing negeri. Berdasarkan hasil riset Statista pada tahun 2019, di tingkat ASEAN Indonesia masih tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Tingginya angka pengangguran akibat daya saing yang lemah menjadikan Indonesia belum juga bangkit dari belenggu kemiskinan.
Selanjutnya dalam hal kestabilan politik. Indonesia memang sudah merdeka, tapi nyatanya masih terjajah. Bukan dari luar, namun penjajahan “tak kasat mata” justru datang dari bangsa sendiri. Korupsi masih saja menjadi masalah terbesar saat ini, yang bahkan kerap kali dilakukan oleh pejabat yang memiliki otoritas untuk menghentaskan korupsi. Berdasarkan penilaian International Global Corruption Barometer for Asia, Indonesia masuk dalam daftar negara terkorup dengan indeks korupsi mencapai 30%, setelah India dan Kamboja.
Selain itu penegakan hukum yang bersih juga belum dikategorikan sempurna. Masih banyak yang “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Di Arab Saudi, pencuri dipotong tangannya. Di Indonesia, pencuri uang rakyat dipotong masa tahanannya. Di Jepang, pelaku kejahatan digantung kepalanya. Di Indonesia, pejabat nakal digantung kasusnya.
Masih banyak lagi problem yang muncul dari keadaan paradoksial ini. Apabila kita amati dengan seksama, paradoks yang terjadi di Indonesia rupanya juga berdampak pada perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Komponen-komponen penting yang seharusnya menjadi mesin penggerak kesejahteraan malah menjadikan hak-hak warga negara kurang terpenuhi.
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa keadaan paradoks yang secara tidak langsung menghambat penegakan HAM di Indonesia.
Pertama, kemiskinan. Kemiskinan menjadi salah satu hambatan yang tengah kita hadapi dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Rakyat yang hidup miskin tidak hanya terputus dari hak mereka untuk menikmati kehidupan yang layak, tetapi juga membuat mereka rentan mengalami hambatan dalam hal lainnya seperti minimnya akses kepada pendidikan maupun kesehatan.
Rakyat miskin juga mudah terabaikan dalam proses partisipasi politik dan juga tiket memperoleh keadilan. Hal ini membuat mereka kerap kali menjadi korban kekerasan, penyiksaan, dan pelanggaran berbagai dimensi hak asasi manusia.
Kedua, rendahnya produktivitas dan daya saing. Jelas bahwa apabila produksi rendah, daya saing dengan negara lain juga rendah, penegakan hak asasi manusia akan terhambat. Mengapa demikian? Karena kebutuhan masyarakat otomatis sulit terpenuhi. Apa yang akan dikonsumsi apabila tidak ada produksi? Bagaimana Indonesia menjadi lebih baik dari negara lain apabila tidak memiliki kompetensi? Tentu yang hidup sengsara akan semakin sengsara.
Ketiga, penjajahan dari dalam. Hal ini sangat mungkin terjadi di setiap negara, tak terkecuali Indonesia. Tak sedikit keputusan para penguasa yang kadang mengundang kontroversi. Ketidaksesuaian antara janji dan aksi, kebijakan dan intruksi yang memberatkan, kekuasaan yang disalahgunanakan, menjadikan masyarakat kita sulit untuk menikmati hidup mereka sebagai manusia.
Hak asasi mereka lagi-lagi dibatasi. Untuk beroposisi saja kadang dipersulit, bahkan diancam. Bagaimana para pejabat mengetahui keluh kesah masyarakat yang memilihnya bila mereka dibungkam? Apalagi saat ini masyarakat dihadapkan pada RUU KUHP yang mengancam kebebasan berpendapat. Negara dengan resonansi demokrasi, kini membatasi warga negaranya yang ingin berorasi.
Keempat, lemahnya penegakan hukum. Ini berakibat pada kesulitan warga negara Indonesia untuk mengakses kembali suatu keadilan yang notabenenya merupakan hak asasi mereka. Rakyat golongan bawah rentan mengalami sikap yang tidak semestinya, hukumannya cenderung berat apabila dibandingkan dengan hukuman yang diterima oleh masyarakat golongan atas, terutama yang memiliki kuasa. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan asas equality before the law, persamaan di depan hukum.
Kelima, tingginya tingkat korupsi. Tentu ini korupsi menjadi momok yang menakutkan sekaligus menyengsarakan. Para “pencuri” uang rakyat itu seakan-akan tidak peduli pada siapa yang sebenanrnya memiliki hak. Hak masyarakat untuk mendapatkan bantuan ekonomi, hak untuk hidup nyaman, diam-diam diambil alih oleh mereka yang sebenarnya hidup berkecukupan dan bahkan mewah. Hak asasi manusia dan hak warga negara hilang, dihabiskan oleh orang tidak bertanggung jawab tanpa belas kasih dan sayang.
Itulah hal-hal yang akan terjadi akibat keadaan paradoksial yang masih bersemayam di bumi pertiwi ini. Masih banyak yang harus dibenahi dari negara kita ini. Para wakil rakyat, yang dipilih untuk duduk di kursi kekuasaan telah mendapat kepercayaan dari masyarakat. Mereka yakin bahwa para pejabat akan mewakili suara mereka. Sayangnya masih ada yang abai dan tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diberikan masyarakat kepadanya.