Kuliner kambing di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat berkembang pesat. Warung-warung atau tempat yang menjajakan olahan daging kambing berjumlah ratusan bahkan ribuan dengan penikmat oahan daging kambing yang sangat banyak. Padahal di Yogyakarta tidak memiliki komunitas Arab atau Timur Tengah layaknya Solo atau Surakarta.
Meskipun begitu layaknya Solo, Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki identitas tersendiri terkait olahan daging kambing, kalau Solo punya tengkleng, krengseng, tongseng, serta sate buntal, Yogyakarta mempunyai olahan daging kambing yang khas seperti sate klathak, kronyos, hinga baceman kepala kambing.
Sejarah
Sebenarnya bicara kultur santap olahan daging kambing, Solo memang dikenal juaranya, keberadaan penggemar kambing di Solo sejalan dengan kehadiran komunitas Timur Tengah yang kuat. Sentra kuliner olahan daging kambing di Pasar Kliwontidak lepas dari peran para pendatang dari Hadramaut Yaman beberapa abad yang lalu.
Kini di sekitar tempat tersebut, tepatnya dari perempatan Baturono, Sampangan, hingga Sangkrah akan mudah dijumpai para penjaja kuliner olahan daging kambing.
Sedangkan kesukaan masyarakat Yogyakarta terhadap olahan daging kambing dapat ditarik mundur pada sejarah zaman Sultan Agung Hanykrokusumo, pada masa itu duta VOC, Van de Haan datang ke ibu kota kerajaan yang berada di Kerta, yang saatini bekas keraton berada di kawasan Pleret, Bantul.
Van den Haan menyebutkan jika setiap hari ada 4.000 ternak yang disembelih untuk keperluan makanan penduduk di ibu kota kerajaan tersebut, salah satu hewan yang paling banyak disembelih saat itu adalah kambing.
Perlu diketahui bahwa kawasan Jejeran sebagai pusat kuliner kambing di Yogyakarta berada di kawasan Pleret yang dulunya pernah dua kali menjadi ibu kota Kesultanan Mataram yatu pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Susuhunan Amangkurat I.
BACA JUGA: 5 Alasan Penting Bersikap Kritis dalam Menanggapi Banyak Hal, Siap Lakukan?
Terdapat dua filosofi
Ketika Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, maka filosofi kuliner yang berkembang di dua wilayah yang berbeda tersebut tentu saja juga akan berbeda. Solo soal menikmati olahan daging kambing ini mempunyai filosofi yang dikenal dengan Keplek Ilat, yang artinya memanjakan lidah, orang Solo terbiasa jajan di luar, menikmati kuliner-kuliner lezat yang ada di sudut-sudut kota.
Sementara di Yogyakarta menganut filosofi Pawon Anget, yang mempunyai arti atau penjelasan menghidupkan dapur rumah sendiri, sehingga budaya makan di rumah terbentuk sejak dulu.
Geliat konsumsi daging kambing di Yogyakarta
Secara umum variasi kuliner olahan daging kambing di Yogyakarta memang tidak sebanyak di Solo, namun konsumsi daging kambing di Yogyakarta tidak kalah dengan Solo, salah satu yang memicu hal ini adalah keberadaan wisatawan.
Yogyakarta memang masuk 10 besar provinsi penghasil daging kambing terbanyak di Indonesia. Menurut data BPS 2021, Daerah Istimewa Yogyakarta berada di peringkat kedelapan dengan jumlah produksi 1,89 ton daging kambing dalam setahun, walaupun begitu dengan jumlah tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan pasar wilayahnya.
Dinas Pertanian DIY juga mencatat bahwa konsumsi daging kambing di Yogyakarta mencapai 1.700 ekor per hari, ini berdasarkan data pada tahun 2018. Jumlah tersebut sebanyak 900 terserap di Kabupaten Bantul yang merupakan sentra kuliner kambing.
Faktor lain yang membuat geliat konsumsi daging kambing di Yogyakarta adalah harga kuliner daging kambing di Yogyakarta relatif mempunyai harga yang terjangkau, di Yogyakarta orang masih bisa menyantap kuliner olahan daging kambing dengan harga yang terjangkau adalah keunggulan dari faktor lain yang mempengaruhi geliat konsumsi daging kambing di Yogyakarta.
Maka dari itu walaupun secara historis tidak sekuat Solo mengenai olahan daging kambing, tetapi Yogyakarta tidak kalah dalam hal potensi olahan daging kambing, hal ini dapat dibuktikan dengan geliat konsumsi daging kambing di Daerah Istimewa Yogyakarta, hal ini bisa dijadikan keuntungan dan manfaat untuk warga atau masyarakat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS