Sebagai mahasiswa di tanah rantau, aku harus menanggung banyak konsekuensi. Mulai dari hidup mandiri, kerja keras, giat belajar, dan tentu memaksimalkan waktu untuk bisa menepati janjiku pada ibu; mengangkat derajat keluarga.
Namun rupanya, perjuanganku tak semudah yang dibayangkan saat berada di rumah dulu. Selain menyelesaikan kewajiban akademik, aku juga harus memenuhi kebutuhan perutku selama berada di sini, di Kota Malang.
Setiap minggu pagi, Ibu rutin menelponku dan bercerita tentang banyak hal. Cerita tentang perubahan kampung halaman yang semakin modern, renovasi masjid, meninggalnya salah satu tetangga, hingga apapun yang terjadi di rumah, semua pasti ibu ceritakan.
Tentu, "Ibu adalah gua pertapaanku". Begitulah kira-kira penggalan puisi D Zawawi Imron. Di telapak kakinya surgaku berada. Doa-doanya menembus langit. Kata-katanya menguatkanku di mana kaki berpijak, langit dijunjung. Senyum dan bahagianya adalah muara dari setiap tindak-tandukku di sini. Ya, bukankah ridho Tuhan berbarengan dengan ridho kedua orang tua?
"Di sepertiga malam, setelah salat tahajjud, Ibu selalu mendoakan kesuksesanmu, dimana pun kamu berada," ucapnya setiap kali hendak menutup telpon.
Lalu aku menjawabnya dengan kalimat, "Nggih, Bu. Mohon doa restu panjenengan," balasku dengan nada se-ta'dzim mungkin. Seiring dengan itu, tanpa sepengetahuan ibu, hatiku terasa teriris.
Beberapa kali, ingatanku kembali pada masa-masa saat masih ada di rumah. Masa dimana ibu selalu menjadi teladan perihal ibadah pada Tuhan. Terutama salat lima waktu. Selain selalu dilakukan di awal waktu, ibu hampir tak pernah absen melaksanakan salat berjamaah, khususnya di waktu maghrib, isya' dan subuh.
Tak heran jika setiap kali Ibu menelpon, beliau tak pernah bosan mengingatkanku tentang keutamaan salat. Bagaimana suatu saat nanti, salat akan menjadi alat ukur utama, apakah manusia layak masuk ke ruang kebahagiaan atau sebaliknya.
Setiap Ibu membahas salat, setiap itu pula kuteringat keadaan mukenah ibu yang sudah mulai kumuh. Mukenah yang ibu pertahankan sejak usia pernikahan beliau. Mukenah yang tak pernah membuat Ibu malu saat melihat tetangga sekitar memperlihatkan mukenah motif baru.
Sudah beberapa kali, aku menawarkan diri untuk membelikan ibu mukenah baru. Tapi sayang, ibu selalu menolak. Mungkin beliau juga paham, bahwa keadaan uangku di sini terbilang selalu pas-pasan.
"Sudahlah, mukenah ibu masih layak dipakai. Mending uangmu untuk kebutuhan masa depanmu nanti," ucap Ibu.
Meski begitu, aku tak pernah patah semangat untuk membelikan ibu sesuatu, mungkin mukenah baru di hari raya idul fitri.
***
Sampai saat ini, memasuki semester 4, aku masih menjadi mahasiswa serabutan. Serabutan dalam arti bekerja apa saja asal bisa mendapatkan uang. Tak peduli pada gengsi. Karena ada yang lebih penting dari gengsi, yakni kecukupan ekonomi.
Namun sayangnya, semua yang kuhasilkan dari kerja keras selalu kandas di hadapan serba-serbi kehidupan Kota. Belum lagi kebutuhan sehari-hari yang tak bisa kutinggalkan; makan, bensin, paket data, perlengkapan mandi, dan sejenisnya. Tak terkecuali di bulan Ramadan.
Sebagai pekerja serabutan, aku sudah pernah bekerja di banyak tempat; cafe, restoran, bengkel, sampai jadi reseller makanan ringan milik temanku sendiri. Tentu, selalu ada suka-duka di dalamnya. Dan dari kesibukan itu, semua jenis kebutuhan hidupku di Kota Malang tercukupi. Tak pernah aku mengeluh perihal uang pada orang tua. Karena aku sadar, aku adalah seorang laki-laki yang kelak harus kuat menanggung beban hidup keluarga.
***
Bulan Ramadan hampir usai. Sebentar lagi usia ibu memasuki angka 60. Dan tentu, bayang-bayang mukenah baru untuk ibu kembali muncul.
Mungkin lebih baik, langsung kubelikan saja mukenah baru untuk ibu tanpa sepengetahuannya. Anggap saja ini adalah surprise dari anak untuk orang tua. Meski tetap saja, sebanyak apapun barang dan materi yang kuberikan nanti, takkan pernah sepadan dengan perjuangan seorang ibu.
Kubuka isi dompet, kuintip saldo rekening. Kuhitung kisaran uang yang harus dikeluarkan menjelang pulang. Kemudian kusandingkan dengan harga mukenah yang hendak dibeli. Sial! Uangnya tidak cukup.
Lantas apa yang bisa diharapkan? Tunjangan Hari Raya? Oh tidak! Aku bukanlah pekerja pada umumnya yang biasa menerima THR menjelang hari raya. Perihal sebab dari semua itu, sepertinya tak bisa dijelaskan di sini.
Sampai akhirnya, kutemukan event menulis dari Yoursay bertema "Andai Aku Dapat THR". Spontan kupersiapkan niat, berkas, dan tulisan untuk mengikuti event itu.
Jika seandainya aku berkesempatan memenangkan lomba itu, maka akan kugunakan hadiahnya untuk membelikan mukenah. Mukenah baru untuk ibu. Mukenah yang akan mengantarkan ibu dan aku menuju surga.