Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau: Bersikap Dewasa dan Bertahan di Situasi Serba Tidak Nyaman

Hernawan | Kholil Rohman
Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau: Bersikap Dewasa dan Bertahan di Situasi Serba Tidak Nyaman
Novel Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau (doc/M. Kholilur Rohman)

Kami yang Tersesat pada Seribu Pulau, novel bergenre romance ini cocok dikonsumsi siapa saja, khususnya kalangan remaja yang sedang dilanda asmara. Pasalnya, banyak adegan yang bisa dijadikan pelajaran hidup bagi kita yang berada di fase mencintai dan dicintai. 

Novel karangan Andaru Intan ini membawa pesan hidup yang cukup kompleks. Mulai dari bertahan dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman. Kesadaran dan kesabaran tingkat tinggi seorang anak dalam merawat orang tua.

Pentingnya menghidupkan budaya literasi demi generasi cerdas di masa depan. Sampai pada tahap tak perlu menyakiti diri sendiri saat dia yang kita cintai, ditakdirkan hidup bersama dengan orang lain. 

Secara menyeluruh, novel terbitan basabasi itu bercerita tentang beragam situasi tidak nyaman yang dialami Tia sebagai tokoh utama. Dari keadaan tersebut, sang tokoh dipaksa untuk bersikap dewasa sebagai bentuk pelajaran terhadap pembaca. 

Ketidaknyamanan yang dialami Tia tampak di beberapa adegan dengan tokoh-tokoh lainnya, sebut saja sang nenek, Ayah, Dio, Alang, dan Ita. Masing-masing ketidaknyamanan memiliki alurnya sendiri yang saling berkaitan satu sama lain. 

Bagusnya, ketidaknyamanan itu berhasil Tia hadapi secara dewasa. Mulai dari hidup bersama nenek yang diperlakukan seolah-olah seperti ibunya, sampai Tia merasa tidak menjadi dirinya sendiri.

Lalu di lain waktu, Tia tinggal satu rumah bersama Ayah yang tegas dan keras. Meski momen hangat antara anak dan Ayah itu masih tersisa saat keduanya melaksanakan lari pagi.

Selain itu, ketidaknyaman Tia juga terjadi saat menjalin asmara dengan Ido yang ternyata malah hampir melecehkannya. Sedih atas perpisahan dengan Alang saat keduanya sudah sama-sama merasakan cinta.

Sementara bersama Ita, Tia merasa menjadi sahabat yang gagal karena tidak mampu memahami perasaan sahabatnya. 

Dari berbagai adegan di atas, aku dibuat hanyut dalam kalimat-kalimat penulis yang begitu renyah dan sederhana. Alur maju yang asik dan menyenangkan. Setiap peristiwa menyimpan pesan mendalam bagi siapa saja untuk bersikap dewasa tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. 

Tentu, salah satu momen yang paling kusuka ialah saat perpisahan Tia dan Alang harus terjadi demi mengobati orang tua masing-masing. Tia menemani dan mengobati Ayahnya yang sakit demensia, dan Alang mengobati sang Ibu yang sakit komplikasi; darah tinggi, kencing manis, dan luka di kaki.

Sikap Tia dan Alang menunjukkan ketidakegoisan dua insan yang sedang dilanda asmara. Keduanya tidak mengedepankan perasaan pada lawan jenis, tapi lebih memilih berbakti pada orang tua masing-masing. Luar biasa!

Selain itu, sikap dewasa Tia atas ketidaknyamanan perlakuan Ayah tertuang pada narasi halaman 23 yang berbunyi begini: 

"Bertahun-tahun tinggal dengannya, aku memang tidak pernah bersikap hangat. Aku tak pernah bilang bahwa aku menyayangi dan merindukannya. Aku menyesali hal itu. Namun, ada satu hal yang membantuku untuk menahan perasaan bersalah itu padanya: aku tidak pernah bilang aku membencinya - bahkan ketika Ayah betul-betul membuatku marah dan menangis keras. Karena memang sesakit apapun hatiku padanya, aku tidak pernah benar-benar membencinya,"

Kesalahan-kesalahan yang akhirnya disadari oleh Tia, sejatinya adalah peringatan sekaligus pelajaran yang hendak disampakan penulis pada pembaca. 

Terakhir, buku ini disusun dengan kalimat yang mudah dipahami, tidak jelimet, namun sedap untuk terus dibaca. Layaknya sungai yang mengalir deras menuju muaranya. Ya, novel ini layak untuk teman-teman baca!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak