Mungkin masih banyak yang belum familiar dengan istilah militerisasi pendidikan. Meskipun jika dinalar secara akal, substansi dari kalimat tersebut sudah bisa ditebak. Ya, penyakit berkepanjangan dalam dunia pendidikan yang terus bergulir sampai sekarang, sepertinya bakal bisa hilang dari terwujudnya militerisasi pendidikan.
Sebagaimana yang ramai diberitakan di banyak media, bahwa presiden baru Prabowo Subianto melaksanakan agenda retret kabinet merah putih yang berisi para menteri, wakil menteri, dan kepala badan di Akmil Magelang. Sepertinya, Prabowo yang memiliki latar belakang militer hendak memberikan edukasi pada seluruh jajarannya melalui jalur anti mainstream.
Tapi jangan salah, sebagaimana yang diungkapkan Prabowo bahwa retret kabinet merah putih bertujuan untuk menyamakan frekuensi dan memperkuat semangat kerja di jajaran pemerintahan. Hal tersebut sangat penting sebagai pondasi awal seluruh jajaran dalam menjalankan tugas kenegaraan ke depannya. Sebab, jika tidak ada kesamaan persepsi yang diimbangi semangat perjuangan, dikhawatirkan roda pemerintahan berjalan tersendat-sendat.
Perlu dipahami, bahwa militersisasi pendidikan bukan berarti mengganti seluruh atribut sekolah dan kuliah bernada seperti seragam para militer. Bukan pula untuk semakin menunjukkan keangkuhan pemerintah dalam mengatur beragam urusan pendidikan hingga akar rumput. Tapi, militerisasi pendidikan adalah upaya penguatan sektor-sektor pendidikan yang dianggap masih lemah atau kurang maksimal.
Lebih jauh lagi, militer yang identik dengan sikap disiplin, kuat, tangguh, dan tegas adalah representasi kabinet merah putih yang diinginkan oleh Pak Presiden. Mengingat semakin banyak tantangan yang harus dihadapi sekaligus harapan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang. Maka, bekerja versi biasa-biasa saja seperti yang telah lalu sepertinya tidak cukup. Harus ada perubahan. Harus ada koreksi secara total, utamanya dalam konteks pendidikan.
Mengawal Ketat Jalannya Sistem Pendidikan
Dalam hal ini, sudah banyak kebijakan dan aturan pendidikan yang dibuat oleh pemerintahan di masa Jokowi. Namun, masih banyak pula kebijakan yang masih belum berjalan maksimal. Contoh kecilnya adalah konsep Kurikulum Merdeka.
Mengutip dari Koran Jawa Pos Edisi Sabtu, 19 Oktober 2024, satu hari sebelum presiden baru dilantik, terdapat 10 koreksai terhadap kebijakan Jokowi di lintas sektor. Salah satunya ialah penerapan kurikulum merdeka yang dinilai belum disiapkan secara matang. Guru belum sepenuhnya memahami dan menginterpretasikan kurikulum baru tersebut.
Akibatnya, kurikulum merdeka berfungsi sebatas pembaharuan jargon yang gagal membuahkan hasil signifikan. Pendidikan yang terlaksana ya begitu-begitu saja, tidak jauh berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Padahal, kalau kita membaca dan mendengar dengan seksama tentang goal kurikulum merdeka, jelas isinya begitu membius.
Oleh sebab itu, militerisasi pendidikan hadir sebagai senjata untuk benar-benar tegas menyikapi perkara yang tidak substansial atau program yang belum maksimal. Jangan ada lagi jargon atau istilah baru yang tidak bergiuna, yang katanya adalah bagian dari inovasi. Padahal tidak!
Berkenaan dengan fenomena di atas, selaras dengan sebuah opini yang terbit di Jawa Pos edisi 1 April 2024. Sebuah tulisan berjudul “Berpikir (Tidak) Merdeka di Kurikulum Merdeka” yang ditulis oleh Agus Ainur Rozikin. Seorang Guru SMP Negeri 1 Merakurak Tuban.
Dalam opininya, Agus menjelaskan bahwa kurikulum Merdeka "dikenalkan" pada perubahan nama, bukan substansi. Akhirnya, para pendidik ribut dan sibuk dengan pergantian nama-nama. Dari silabus menjadi ATP (alur tujuan pembelajaran), RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) menjadi modul ajar, KKM (kriteria ketuntasan minimal) menjadi KTTP (kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran), dari sekian banyak istilah yang menjadi ciri Kurikulum Merdeka "yang membedakan" dengan kurikulum sebelumnya. Walaupun sesungguhnya perbedaan itu bukanlah substansi, itulah yang diutamakan dalam setiap bimbingan mengenai Kurikulum Merdeka.
Memperhatikan Kesejahteraan Tenaga Pendidik
Waktunya tenaga pendidik mendapatkan perhatian yang lebih. Sebab, eksistensi mereka adalah bagian dari maju-tidaknya sebuah Negara. Masih ingat cerita tentang sejarah Jepang yang dibombardir sekutu tanpa ampun? Ya, itu peritiwa tersebut terjadi di kawasan Hirosima dan Nagasaki. Selepas tragedi itu, dengan tegas Kaisar Hirohito memberikan perhatian lebih kepada guru sekaligus sikap optimis majunya Negara Jepang berkat optimalisasi peran guru ke depan. Dan benar, Jepang dapat bangkit dari keterpurukan berkat peran guru.
Setelah mengawal ketat sistem dan regulasi yang berlaku, maka militerisasi pendidikan yang selanjutnya adalah seputar tenaga pendidik, baik guru di tingkat sekolah atau dosen di tingkat perguruan tinggi. Sehingga, tidak ada lagi kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Serta yang tak kalah penting adalah mempermudah jenjang karier tenaga pendidik, misalnya dosen dengan adanya Permendikbudristek 44 tahun 2024.
Namun perlu diingat, jangan sampai Permendikbudristek 44 tahun 2024 malah melalaikan dan meninabobokkan para dosen dari kerja keras akademik yang seharusnya bisa maksimal sesuai bidang masing-masing. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Anik Sajawi di paragraf terakhir tulisannya yang berjudul “Surat Terbuka untuk Prabowo: Tolong Kawal Permendikbudristek No. 44 tahun 2024.”
Selain itu, jangan ada lagi pelacuran akademik yang sepertinya, sampai saat ini terus bergulir dan dimaafkan begitu saja dengan beragam alasan yang dibuat-buat. Sudah saatnya pendidikan Indonesia kembali ke khittah sebagai wadah edukasi dan persiapan generasi masa depan yang gemilang. Bukan ladang mencari keuntungan semata dengan mengabaikan orientasi keilmuan di lembaga pendidikan.
Selain bertobat dari beragam pelacuran akademik seperti plagiasi karya, aksi contek-mencontek yang dimaafkan begitu saja, tentu yang tak kalah penting adalah memberikan kesejahreraan yang sepadan kepada para tenaga pendidik, baik guru atau dosen. Mereka harus diberikan penghargaan setinggi-tingginya sebagai mentor yang menemani dan membersamai tumbuh-kembang murid atau mahasiswa. Sehingga, tidak cukup kinerja guru hanya diiming-imingi rasa ikhlas semata dan ditukar dengan pahala. Pengawasan terhadap jaminan kesejahteraan tenaga pendidik yang sepadan ini yang dimaksud penulis sebagai militerisasi pendidikan.
Sebab, jika tenaga pendidik sudah diberikan kesejahteraan yang sepadan, maka fokus mereka untuk memberikan pendidikan versi terbaik pada murid tidak akan terganggu. Mereka tidak akan lagi memikirkan tagihan hutang saat mengajar, atau sibuk mencari pekerjaan sampingan karena harga kebutuhan sehari-hari semakin melonjak tinggi. Juga terhindar dari praktik kejahatan akademik yang kerap terjadi hanya demi mencukupi kebutuhan finansial.
Kesimpulannya, militerisasi pendidikan adalah upaya untuk memperkuat dan menegakkan aturan serta kebijakan yang telah ditetapkan. Termasuk berani memberikan hukuman bagi yang melanggar aturan, dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi yang berhasil menggapai sebuah pencapaian. Sehingga, seluruh proses pendidikan dapat berjalan maksimal.
Di sisi lain, militerisasi pendidikan juga merupakan bagian dari pengamalan kaidah fiqh yang berbunyi Dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (Mencegah keburukan lebih baik daripada mendatangkan kemaslahatan). Dalam konteks ini, dapat diartikan lebih baik melakukan evaluasi secara total dan sungguh-sungguh, daripada sibuk menghadirkan ide baru sekaligus tetap terjebak di kesalahan yang sama.
Pada akhirnya, militersisasi pendidikan adalah jawaban utama yang mampu mengakomodir beragam opsi terobosan untuk membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih jelas guna melahirkan generasi cerdas.
Terakhir, jika konsep ini bisa terealisasi, maka statement bahwa Prabowo tidak lebih dari perpanjangan rezim Jokowi yang diklaim negatif dapat terbantahkan. Ternyata, Prabowo memiliki keberanian untuk mengentaskan pendidikan Indonesia dari kubangan lumpur yang telah sekian lama menjebak kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.