Tinggal di gang sempit itu seru, tapi kadang bikin capek hati juga, apalagi kalau tetangga mulai jadi detektif dadakan. Bayangin aja, rumah-rumah saling berdekatan, jadi apa pun yang kita lakukan pasti ada yang ‘mengawasi’. Mulai dari siapa yang keluar masuk rumah sampai suara TV yang terlalu kencang, semuanya bisa jadi bahan obrolan. Bagi sebagian orang, ngobrolin urusan orang lain jadi hiburan gratis, tapi bagi yang jadi "bintang utamanya," rasanya seperti hidup di reality show tanpa skrip dan tanpa izin.
Fenomena tetangga julid ini mungkin udah akrab banget buat yang tinggal di kawasan padat penduduk. Di satu sisi, kebiasaan saling mengamati dan ‘menilai’ bisa jadi bentuk kepedulian sosial. Misalnya, kalau ada tamu tak dikenal yang sering datang, tetangga bakal waspada. Tapi, ketika kepedulian itu berubah jadi gosip yang nggak penting, seperti siapa yang baru beli motor atau siapa yang sering nongkrong sampai larut malam, hal itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Apalagi kalau obrolan-obrolan itu sampai beredar ke mana-mana dan membentuk opini publik. Tetangga bisa mendadak jadi ahli dalam kehidupan orang lain, memberikan penilaian seakan-akan mereka tahu segalanya. Padahal, yang dilihat cuma sepintas. Misalnya, ada yang sering pulang malam karena kerja shift, tapi yang terdengar malah cerita dia dianggap "nggak bener." Jadi, stigma ini nggak cuma bikin malu, tapi bisa juga bikin orang jadi minder atau merasa tertekan.
Di gang sempit tempatku tinggal, beberapa tetangga memang suka jadi ‘komentator sosial’. Pernah suatu waktu, ada yang jadi bahan omongan gara-gara sering beli makanan di luar, sampai ada yang bilang, “Nggak pernah masak ya, kayaknya boros banget.” Padahal, dia sebenarnya sibuk kerja dan nggak sempat masak. Dari sini kelihatan, kalau kebiasaan julid itu kadang asal komentar tanpa tahu latar belakang cerita yang sebenarnya.
Tentu, nggak semua tetangga seperti itu. Ada juga yang lebih memilih untuk saling mendukung dan menguatkan, daripada sekadar jadi penonton yang menilai kehidupan orang lain. Mungkin kalau kita semua lebih banyak memahami daripada menghakimi, gang sempit bisa jadi tempat yang lebih nyaman buat ditinggali. Pada akhirnya, kita semua hidup di lingkungan yang sama, menghadapi tantangan yang serupa, jadi kenapa nggak saling bantu aja?
Memang susah menghindari tetangga julid, tapi kita bisa memilih untuk tidak terlibat dalam drama yang tidak perlu. Kalau ada yang komentar julid, cukup tersenyum dan anggap itu sebagai hiburan tambahan. Toh, yang lebih penting adalah tetap fokus menjalani hidup sesuai dengan versi terbaik diri kita sendiri, tanpa perlu pusing dengan penilaian orang lain. Siapa tahu, lama-lama tetangga yang tadinya julid malah jadi sahabat kita, karena mungkin mereka cuma butuh perhatian. Gimana, setuju, nggak?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.